Jumat, 26 Agustus 2016

Bailoch chapter 2: 12

Bailoch

Chapter 2

Sarah || Arthur || Edrick || Others
Mystery || Romance
Pg 17





Berangsur-angsur kondisiku membaik setelah suntikan terakhir yang diberikan paman. Ya, aku memang sangat tersiksa dengan rasa gatal yang menjalar ke seluruh tubuhku ini. Bahkan, aku tidak pernah merasa separah ini sebelumnya. Ini semua gara-gara bawang putih. Selama ini aku hanya terbaring lemas di kasurku, semakin lama aku semakin merasa tidak nyaman, seperti ada sisik yang menggelitik. Aku hanya berpikir mungkin aku harus segera mandi dan membersihkan tubuhku.

Meskipun kondisiku sudah membaik, tapi kulitku nampaknya masih pucat. Aku beringsut, mengubah posisiku menjadi duduk bersandar. Aku menarik lengan kaos tidurku dan mengangkat tanganku sampai cahaya matahari meneranginya, urat-urat tangan yang terbalut kulit tipisku nampak semakin jelas. Ada sesuatu yang aneh, jika kuperhatikan dengan jeli, kulitku mengelupas, busik. Aku menggaruk-garuknya, dan kulit itu berjatuhan. Bahkan aku bisa mengupas kulitku sendiri seperti bawang. Aku menggaruknya lagi lalu pada bagian yang terkelupas aku tarik sampai menjadi serpihan kulit yang agak lebar. Cukup menggelikan. Setelah kulit mati itu terlepas, kulit bagian dalamku nampak lebih cerah.

Aku menyibak selimutku, memaksakan diri bangun dari tempatku berbaring selama ini, rasa lemas masih membuatku kesulitan untuk berdiri, lututku bergetar seolah akan tumbang. Dengan berpegang pada besi sisi ranjangku, aku mendapati sesuatu yang memenuhi kasurku, benda aneh dari balik selimutku. Serpihan-serpihan kulit mati ! Aku bergidik. Ini banyak sekali. Pantas saja aku merasa gatal dan tidak nyaman. Benarkah ini kulitku? Astaga, menjijikan. Aku berlari menuju cermin dan membuka bajuku, serpihan kulit itupun berjatuhan ke sekitar kakiku. Kini diriku nampak mengerikan ! 

Aku masih mematung di depan cermin, memandangi tubuhku yang aneh. Ada perasaan ngeri, jijik, dan bingung. Beberapa kali aku menggeleng, sulit untuk dipercaya. Tubuhku nampak belang karena pengelupasan kulitku yang belum tuntas. Aku jadi membayangkan diriku sebagaimana seekor ular yang sedang berganti kulit. Apa ini karena pengaruh obat dari paman? Aku kembali teringat saat Mrs Rudolf bicara tentang gen campuranku dan upaya menghilangkan salah satu gen dari orang tuaku. Melihat kondisiku sekarang, sepertinya aku tahu gen siapa yang mereka coba hilangkan dariku. Bahkan sekarang tak hanya kulitku yang berubah menjadi putih, tapi warna rambutku juga menjadi kecokelatan.



* * *


Untuk pertama kalinya setelah lama terbaring lemah aku makan di meja makan. Aku tahu pasti papa sudah tahu kenapa aku jadi begini, kurasa aku tidak perlu menceritakannya. Sekarang yang harus kulakukan adalah makan sebanyak-banyaknya agar kondisiku bisa pulih total. Dan juga sebentar lagi sekolah akan mulai masuk. Aku hanya bingung, sedari tadi aku memikirkan hal ini;

“Pa, kenapa kalian harus melakukan ini dan membuatku kesakitan? Padahal jika papa membiarkanku pulang, mutan itu tidak akan mengincarku lagi. Mana mungkin dia akan mengikutiku sampai ke Denpasar. Bukankah itu masuk akal?”

Papa yang sedang memasukan sup ke mangkuk untukku menghentikan pekerjaannya, lalu memandangku dengan serius.

“Sarah, kau tidak akan bisa pulang kalau tidak melakukan hal ini.”

“Kenapa?”

“Hal yang lebih buruk akan terjadi padamu. Dan papa tidak mau kehilanganmu.”

“Maksud papa aku akan mati?”

Papa menahan air matanya hingga permukaan wajahnya terlihat seperti tomat masak. Tanpa anggukan, aku tahu apa artinya. Sungguh, kulihat papa begitu muram akhir-akhir ini. Papa begitu berjuang untuk menyelamatkanku. Selama ini dia melarangku untuk pulang karena dia tahu sesuatu akan terjadi padaku. Papa bilang bahwa separuh darahku yang telah berada di tubuh mutan itu telah mengunci diriku hingga aku tak bisa lepas dari penciumannya, dari pengawasannya. Itu artinya jika aku berusaha lari ke tempat yang jauh, sekalipun itu melintasi benua, aku takkan bisa melakukannya. Karena tadi, dia telah membuatku terjebak di tempat ini. Apakah itu alasannya kenapa aku selalu kembali ke Bailoch meskipun aku membencinya? Tapi haruskah papa berbohong bahwa dia tidak mengetahui semuanya lalu membuatku begini dengan tiba-tiba?

“Pa, kenapa papa harus berbohong? Jika sejak awal papa tahu tentang semua ini dan percaya bahwa ceritaku benar, kenapa kita masih bertahan di rumah itu? Sampai akhirnya mutan itu melukaiku.”

Aku mengusap luka dibagian leherku dan membayangkan rasa nyeri yang aku rasakan saat itu. Meskipun sekarang rasa sakit ini sudah lebih baik, tapi aku heran kenapa luka ini tidak kunjung kering dan memudar. Dan luka di telapak tanganku yang terbalut perban, kenapa ini juga sama?

“Awalnya papa tidak percaya pada semua ceritamu, sampai papa bertemu dengan mutan itu secara langsung. Setelah itu papa menghubungi pamanmu, dan papa sudah menyiapkan untuk segera pindah dari sana. Sungguh, papa tidak bermaksud membohongimu. Dan tentang ular itu, andai saja papa mengetahuinya lebih awal, papa pasti akan membawamu pergi dari sana secepat mungkin.”

Suasana kini berubah semakin sendu. Aku tidak habis pikir dengan semua ini, sungguh. Dunia ini sudah gila ! Selera makanku tiba-tiba menghilang. Air mataku berjatuhan kedalam mangkuk sup yang sedari tadi hanya kuaduk. 



* * *


Apa yang terjadi padaku sebenarnya? Aku suka rambutku yang dulu, yang hitam sepunggung dan sedikit bergelombang dibagian ujungnya, seperti rambut mama. Sebenarnya cairan apa yang paman masukkan kedalam tubuhku? Separuh energikupun sepertinya ikut menghilang. Kini aku harus memotong rambutku, terlihat sangat jelek dengan warna cokelat yang makin hari kian memudar. Dan lagi, aku tidak bisa menunjukan luka di leherku ini, jadi aku harus pandai-pandai mengatur model rambutku agar bisa menutupinya dengan sempurna. Aku menarik nafas panjang dengan sebuah gunting di tangan yang siap memangkas rambut indahku. Setidaknya rambutku pernah terlihat indah.
Aku bahkan belum mempersiapkan diri dengan pandangan orang terhadap wujud baruku ini. Sudah pasti, aku akan menjadi topik hangat di sekolah. Seperti sekarang ini, slow motion mengiringi setiap langkah demi langkah kakiku saat semua mata tertuju padaku. Huh, menyebalkan. Aku telah berubah wujud, ini menggelikan. Sampai sekarangpun aku masih tak percaya kenapa aku bisa seperti ini.
Kelas suram ini, dengan suasana lama dan udara yang mencekik tenggorokanku, ternyata masih sama. Ketika aku memasukinya, tak seorangpun berpaling dariku. Beberapa diantara mereka berbisik, meski tak tahu apa yang mereka bicarakan tapi sepertinya itu bukan sesuatu yang akan terdengar ramah di telingaku. Seperti biasa, setelah memasuki ruangan aku duduk di bangkuku dan mengeluarkan sebuah buku untuk kubaca hingga bel masuk berbunyi, itulah yang biasa aku lakukan untuk mengalihkan pembicaraan mereka. Sulit ternyata untuk tidak berprasangka buruk. 
“Hei, kau mengecat rambutmu, ya?” Dena menghampiri mejaku sambil berkacak pinggang, alis dan bibir gadis itu sama-sama berkerut.
Ya, setidaknya Dena tidak mengatakan hal yang buruk padaku. Aku menatapnya lewat ujung mataku sebelum akhirnya kuturunkan buku dihadapanku dan menghadapkan wajahku padanya. Dena mencondongkan tubuhnya, matanya menyoroti setiap inci sosok baruku.

“Dan kau juga terlihat lebih putih sekarang, krim apa yang kau pakai?” Gadis itu menarik tanganku dan membandingkan dengan tangannya sendiri.

“Um, sebenarnya tidak begitu.”

Dena hanya mendengus, kulihat dia tidak terlalu peduli pada perubahanku, itu bagus. Kupikir dia akan merasa sangat penasaran sehingga membuatku harus mengarang kebohongan untuk membuatnya teralih dari rahasia yang sebenarnya.

Setelah pelajaran berakhir, seseorang menarik tanganku. Orang itu sedikit mencengkram lenganku sehingga membuatku kesakitan. Tatapannya penuh kemarahan, bercampur rasa penasaran. Dia menyeretku menjauh dari pintu kelas.

“Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau jadi seperti ini?”  

“Bukankah ini bagus?”

“Apakah seseorang melakukan sesuatu padamu?”

Kenapa? Apa kau cemas? Apa kau takut kehilangan mangsamu? Huh, sudah kubilang aku tidak akan diam saja dan merelakan diriku menjadi makanan lezatnya, itu tidak mungkin. Sekarang, setelah melihatku berubah sepertinya dia sangat takut.

“Cepat katakan !” Edrick mencengkram tanganku lebih kuat. Meski aku berusaha untuk melepasnya, ini sungguh sulit. 

Edrick memaksaku untuk bicara, tapi aku tidak mau. Biarlah semuanya menjadi kejutan setelah dia mengetahui bahwa aku bukanlah aku yang dulu. Takkan kubiarkan dia melukaiku lebih dari ini. Sudah cukup. Dia menatapku tajam. Sesuatu dari matanya mulai mengkilap, kurasa sebentar lagi semua orang akan mengetahui wujud aslinya seandainya Arthur tidak menahannya saat itu. Arthur datang dan menghempaskan tangan makhluk jahat itu, dia langsung membawaku pergi. Yang tadi itu, tatapan Edrick, ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya. Aku tak yakin apakah dia mencemaskan keadaanku atau khawatir perubahan wujudku akan membuat hidupnya terancam. Dia, terlihat menyedihkan. 

“Aku sedikit tidak mengenalimu...

...Aku tidak tahu kalau kau akan seperti ini. Kau benar-benar berbeda...

...Bagaimana keadaanmu?”

“Paman membuatku hampir mati kesakitan.” Setelah kami berada di tempat yang cukup sepi, aku membuka sarung tanganku dan menunjukan luka itu padanya.

“Aku sedikit khawatir, luka ini tidak kunjung kering dari waktu yang diperkirakan pamanku.”  

“Sepertinya cukup dalam. Kau pernah punya luka seperti ini?” Arthur menyentuh luka itu, aku meringis. Arthur juga menyentuh pipiku, dia pasti menyadari kalau aku pernah punya luka disana. Padahal ini hanya sebuah goresan, dan luka sekecil inipun begitu lama menghilang.

“Ini...”

“Luka-luka ini terjadi karena kecerobohanku, air liur mutan itulah yang telah menyembuhkannya. Dan sekarang semua ini muncul kembali setelah paman menyuntikanku sesuatu...

...Kau tahu, sebenarnya Edrick tidak pernah menyakitiku. Dia seperti penyembuh setiap lukaku. Ya, meskipun disamping itu dia juga menghisap darahku...

...Aku merasa kasihan padanya.”
Arthur melepaskan tangannya dariku, kelopak matanya sedikit turun. Aku tak tahu apa yang ada dipikirannya saat ini, dia hanya berdiri dihadapanku dan terdiam.



* * *


Sehabis mengerjakan tugas aku merasa sangat lelah, bahuku pegal, tidak, semua tulangku pegal dan sakit. Aku mengambil sebuah cermin kecil di sudut meja belajarku saat begitu penasaran ingin melihat luka di leherku ini. Rasanya panas dan cenut-cenut, sama seperti bekas luka lainnya. Hari-hari sebelumnya setiap malam menjelang tidur pasti aku merasa sedikit demam, tapi semakin kesini sepertinya demamku mulai meningkat. Jika sudah seperti ini biasanya aku akan segera tidur dan melupakan rasa sakitku.

Semalam aku bermimpi buruk lagi, tapi hal itu tidak membuatku terbangun seperti biasanya. Aku malah terbangun setelah merasa silau dengan cahaya yang masuk dari sela-sela jendela kamarku. Aku mengucek mataku, saat kulihat jam ternyata ini sudah siang.

Papa masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk pintu, padahal dia tahu aku sangat benci hal itu. Papa bahkan tidak membangunkanku untuk pergi sekolah.

“Kau demam lagi?”

“Tidak, aku hanya lemas. Badanku sakit-sakit.” Aku menarik tubuhku agar bisa bersandar.

“Coba papa lihat lukamu.” Papa menarik tanganku, dia mengamati luka itu. 

Setiap melihatnya aku selalu terbayang rasa sakit yang kutahan saat pisau itu menembus dagingku, rasa ngilunya kini semakin terasa jika aku semakin sering mengingatnya. Tapi sepertinya papa tidak begitu mempermasalahkan perubahan fisikku. Tentang rambutku, atau kulitku, papa tidak pernah membahas soal itu. Dia hanya terlihat khawatir pada luka-luka ini. Sepertinya, masalahnya memang ada disini. Aku lihat sepertinya papa sedang menyembunyikan rasa khawatirnya. Aku tahu, karena selain pada bagian sekitar pelipisnya, dibagian atas tulang pipinya selalu nampak beberapa garis kerutan. Setelah papa melihat dan memeriksa keadaanku, dia akan keluar kamar dan pergi menelepon paman. Tapi nyatanya paman tidak pernah datang lagi kesini.

Siang ini papa masuk ke kamarku sambil tersenyum, dia duduk disamping ranjangku dan mengusap rambutku. Aku tidak tahu apakah itu sebuah senyuman biasa atau senyuman putus asa. Papa menggenggam dan mencium punggung tanganku lalu menempelkannya di pipinya. Keadaanku pasti membuatnya tertekan. Papa menghembuskan nafas berat sebelum dia bicara.

“Sarah, papa rindu kau yang dulu, yang ceria dan selalu tersenyum. Melihat keadaanmu sekarang ini, papa semakin sedih. Cepatlah sembuh.”

Aku tidak mengerti apa yang papa katakan padaku. Seolah-olah itu adalah pertanda bahwa aku akan mati. Tapi itu tidak benar, bukan? Aku kuat, aku yakin bisa melewati ini semua dan kembali menjadi Sarah yang ceria. Aku kuat, pa. Aku bisa menahannya, ini tidak masalah.

“Ah, ada telepon, papa akan mengangkatnya dulu.” Dia beringsut dari tempatnya.

“Pa, kalau ada yang datang kesini, tolong jangan biarkan dia masuk. Aku tidak mau bertemu siapapun, meskipun itu paman.”

“Baiklah.” 

Setelah papa meninggalkan ruangan aku mulai bangkit dan menatap pantulan diriku di cermin. Perubahan warna rambutku semakin kentara. Kini semakin terlihat pirang dari sebelumnya. Apakah ini semacam hipopigmentasi? Cairan yang disuntikan paman kedalam tubuhku menyebabkan berkurangnya asam amino tirosin yang digunakan melanosit untuk membuat melanin, perlahan menghilang. Kulitku kehilangan pigmen warnanya. Aku tidak tampak seperti orang Asia lagi, tidak seperti mamaku. Dan aku benci, tapi aku tidak bisa apa-apa, ini sudah terlanjur terjadi. Andai aku tahu akan seperti ini, saat itu pasti aku sudah melarikan diri.

Aku mendengar suara bel, dan mulai menerka-nerka siapa yang datang, paman atau Arthur. Semoga bukan Arthur. Aku mengintipnya dari lubang kunci. Aku begitu penasaran apa yang akan dilakukan paman setelah ini.

“Mau apa kau kesini, pergilah !” Papa membentak orang itu, suaranya membuatku hampir bersuara karena begitu tersentak. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan rapat-rapat. 

Tidak, itu bukan paman. Mana mungkin papa mengusirnya, mereka bicara di depan pintu jadi aku tidak bisa melihatnya. Terdengar gebrakan pintu ketika papa mencoba menutupnya hingga membuat papa mundur beberapa langkah.

“Ayolah, setidaknya biarkan aku masuk. Beginikah pesta penyambutan untukku? Apa kau tidak merindukanku, David?...” Orang itu mulai memasuki lensa mataku hingga membuat pupilku melebar. Dia melangkah mendekati papa.

“...Aku datang dengan baik-baik, teman. Hanya sedikit penasaran dengan keadaan Sarah.”

“Dia baik-baik saja !” Mereka berdiri berhadapan.

Aku ingat papa pernah bilang bertemu dengan mutan itu sekali, dan kurasa hari disaat papa masuk rumah sakit. Tapi mereka nampak telah mengenal satu sama lain, meskipun terlihat kaku. ‘Teman’, apa artinya itu?

“Ingat, aku pernah menyelamatkanmu waktu itu, jadi kau berhutang padaku. Tapi dengan membiarkanku masuk hari ini, itu tidak dihitung.”

“Apa maumu?”

“Katakan padaku, apa yang telah kalian lakukan pada anak itu. Dia milikku !”

“Kau...jangan pernah macam-macam dengan Sarah !”

“Memangnya apa yang akan kau lakukan jika ada diposisiku, huh? Saat kau merasa sangat lapar dan haus, tentu takkan puas jika hanya mencium aromanya saja. Bukankah ini setimpal dengan perbuatan pengecutmu? Lalu apa yang salah?... 

...Tapi...ah, kau beruntung, teman.” Edrick menepuk pundak papa, satu sisi bibirnya tersungging. 

Dia membuang muka. Aku menarik tubuhku menjauh, karena matanya hampir saja menangkapku dari arah pintu kamarku ini. Semoga dia tidak melihatku.

Sebenarnya ada apa antara mereka berdua? Kenapa Edrick menyebut papa teman? Tunggu. Sepertinya aku mulai mengerti. Sial! Bodoh sekali! Aku bahkan tidak pernah menyangka ini sebelumnya. Ah, tapi...mungkinkah?

Aku ingat dengan tulisan Mr Rudolf di bukunya tentang eksperimen itu. Kejadian itu berlangsung sekitar dua puluh tujuh tahun yang lalu. Dan jika cerita itu benar, maka Edrick-lah yang telah salah. Dua puluh tujuh tahun yang lalu usia papa adalah delapan tahun. Dan itu tepat ! Seorang anak yang kabur bersama paman ternyata adalah papa ! Sebentar, paman? Kurasa aku tertipu lagi. Ah, benar-benar ! Kenapa semua orang di dunia ini begitu senang menipuku? Sialan ! Dia bukan pamanku !



* * *



Dua puluh tujuh tahun yang lalu, ketiga peneliti itu melakukan uji coba pada ketiga anak mereka untuk mengetahui reaksi dari serum yang telah mereka buat demi mendapatkan sesosok makhluk impian yang mengagumkan. Eksperimen itu berlangsung di sebuah laboratorium di basement kastil bekas tempat tinggal kakekku dulu. Mereka menyuntikan sebuah serum bernama drvX08. Aku tebak, angka di belakang nama serum itu sepertinya merupakan usia dari ketiga anak mereka; David Jonathan Arvin, Edrick William, dan anak perempuan Mr Rudolf yang tidak kuketahui namanya sampai sekarang. Tapi kenapa harus diusia mereka yang kedelapan? Dan ketiga huruf di depan angka itu aku tak tahu apakah itu adalah sebuah singkatan juga atau bukan. Yang jelas, menurutku membuat manusia menjadi bahan eksperimen adalah tindakan yang sangat konyol.

Saat serum itu disuntikan pada ketiganya, hanya pada David J. Arvin-lah yang tidak menimbulkan efek apa-apa. Dia selamat. Setelah mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh rekan mereka, Mr Rudolf dan Dr James WG merasa terguncang dan murka. Lalu akhirnya kakekku, Dr Alex McAulife Arvin melarikan diri dari desa itu dan hidup tenang di negara lain bersama papa.

Sembilan tahun kemudian, kakekku mendengar sebuah berita tentang kekacauan di Bailoch akibat terror dari makhluk ganas penghisap darah. Setelah kejadian itu berlangsung, suasana desa menjadi mencekam dan menimbulkan kepanikan setiap menjelang malam hingga pagi hari. Penduduk desa kehilangan satu persatu ternak mereka. Lalu akhirnya banyak diantara mereka yang lebih memilih meninggalkan desa dan tinggal di wilayah lain.

Kakek yang datang kembali ke desa Bailoch untuk menangani kejadian itu, bersama Mr Rudolf akhirnya berhasil menjebak mutan itu dengan memancingnya menggunakan bau darah sapi segar. Lalu menguncinya pada sebuah papan salib dan dipaku menggunakan panah di sebuah pohon keramat di pusat pemakaman tua di desa itu. Di sekelilingnya juga digantung ratusan salib untuk mencegah mutan itu melarikan diri. Hingga tujuh belas tahun berlangsung, mutan itu tertidur disana dengan tenang. Kedatanganku ke desa itu telah membuatnya terbangun dari tidur panjangnya. Kata kakek, bau darahku begitu kuat sehingga membuat penciumannya kembali aktif dan akhirnya terbangun. 



* * *



Angin segar berhembus dari celah jendela kamarku yang bisu. Aroma musim gugur. Beberapa hari ini aku bisa menyaksikan matahari terbit dari gedung apartemenku dari lantai sebelas. Disana sinar jingga keemasan mulai merangkak naik, lebih tinggi, semakin tinggi. Mataku sampai tak kuasa untuk menatapnya, mungkin akan terlalu lancang bila melakukan itu.

Udara yang sama yang selalu kuhirup mulai kasar. Hingga rasanya sulit untuk membuat penciumanku normal kembali seperti sebelumnya. Aku merindukan sesuatu. Bau rumput. Saat kupejamkan mataku, imajinasiku mulai membawaku ke suatu tempat yang penuh dengan aroma termanis yang pernah kucium. Dan suara-suara yang ingin kudengar bukanlah suara klakson mobil ataupun suara ‘ting’ dari pintu apartemenku yang tiap kali terbuka. Benda mungil itu selalu muncul didalam gelapnya pandanganku, menari-nari, memanggilku untuk kesana. Dan untuk pertama kalinya, aku ingin kembali.

Papa bilang selama kakek belum datang kesini, sebaiknya aku jangan dulu pergi ke sekolah. Ini sudah hari kelima aku berdiam diri terkurung sendirian. Aku hanya pasrah, tidak ada lagi yang bisa kulakukan.

Beberapa pesan teks kubaca satu persatu. Aku tahu aku sudah terlalu lama meninggalkan pelajaran dan harus segera menyusul ujian ketika mulai masuk nanti. Mungkin saja kakek selamanya tidak akan datang lagi. Seperti yang pernah dia lakukan dulu, kabur setelah melakukan kesalahan, lari dari tanggung jawab. Jadi kenapa aku harus menunggunya?



* * *



Kukira dengan perubahan fisikku yang seperti ini akan membuat Dena menjauh, tapi ternyata tidak. Dia benar, sampai kapan aku akan berprasangka buruk pada orang lain. Kenapa, ya, aku melakukan hal yang seharusnya tidak perlu? Kemarin, tidak kusangka aku berbicara dengan yang lain dan rasanya, umm menyenangkan. Seharusnya aku tidak perlu merasa canggung dan mencemaskan hal lain. Aku senang, bisa memiliki teman. Kami bisa saling berbagi, bercerita, dan pergi bersama. Ah, aku sungguh menyesal, aku benar-benar ingin melakukan ini sejak dulu. Apa mungkin semua ini karena perubahanku?
Siang itu aku, Dena, Audrie, dan Stery sedang berkumpul di taman sekolah. Seperti biasa, kami hanya mengobrol, meski sebenarnya aku lebih menjadi pendengar saja. Aku mengedarkan pandanganku menatap sekitar. Tanpa sengaja aku mendapati sekerumun anak lelaki yang terlihat paling gaduh diantara yang lain. Mataku menatap seorang lelaki berkulit paling pucat diantara mereka. Seorang perempuan duduk disampingnya sambil mengalungkan lengan dileher lelaki itu. Aku turut penasaran dengan topik yang mereka bicarakan, begitu menarikkah?
Mata itu tidak pernah teralih padaku sama sekali, hanya saja aku merasa sedang diawasi olehnya. Ekor matanya seperti sedang mengarah ke arahku. Entah ini hanya perkiraanku saja atau dia benar-benar melakukan itu, yang jelas aura ini seperti menyiratkannya.
“Um..Kau pernah sekelas denganku, kan, Audrie?”
“Ya, kenapa?” Gadis itu tengah asik membolak-balikan majalah fashion yang dipinjamnya dari Stery.

“Aku hanya penasaran, um...sejauh mana kau mengenal Edrick?”
        
“Uuuu...kau suka padanya, ya?” Gadis itu menatapku dengan ejekan.
“Tidak, aku hanya ingin tahu saja.”
“Kalau tidak kenapa dari tadi kau memandanginya?” Dena menyikut rusukku.

“Kalau kau suka juga tidak apa-apa, bilang saja. Sebenarnya aku tidak begitu dekat dengannya, hanya kadang-kadang kami mengobrol. Dia biasa saja, ya kadang juga jahil...”
        
“Maksudku, bagaimana awalnya kalian bisa saling mengenal?”

“Ah..Dia adalah murid pindahan, sama sepertimu. Dia baru masuk sekitar tiga hari sebelum kau masuk. Awalnya dia sangat pendiam, ya mungkin kau tahu dengan hal itu. Edrick yang sekarang sangat berbeda.”

“Berbeda seperti apa?”

“Lihat saja sekarang...” Audrie menutup majalahnya.

Ternyata dia tahu Edrick sedang berada diantara kerumunan itu. Dia mengisyaratkannya dengan ujung matanya. Aku yang tidak sadar ataukah tidak peduli, tapi Edrick masih terlihat sama seperti dulu.

“...Dia menjadi lebih berandal. Kau ingat cara berpakaiannya yang dulu? Bandingkan saja dengan sekarang. Oh, kau pasti belum tahu dengan yang satu ini.”

“Tentang apa?”

“Sebenarnya ini rahasia, ini ada hubungannya dengan Beau...”

“Hei kalau rahasia sebaiknya jangan, kau ingin jadi penusuk teman dari belakang, ya?” Dena memotong kalimat Audrie dengan cepat, dan aku setuju dengan hal itu. 

Audrie dan Beau cukup dekat, jika Audrie sampai membocorkan rahasia itu pada kami, berarti aku harus lebih berhati-hati pada setiap ucapanku.

“Aish..jadi kau berpikir ini rahasia sungguhan? Ayolah, kalian benar-benar kurang informasi. Semua orang di kelasku sudah tahu kalau Edrick adalah anak angkat keluarga Walker...”

“Apa?” Aku dan Dena bicara bersamaan, dan sepertinya Stery memang sudah tahu dengan hal itu, sikapnya biasa saja tanpa reaksi.

“Hei, kenapa kalian selalu memotong kata-kataku?”

“Baiklah lanjutkan, aku ingin tahu lebih banyak.”

“Tidak, memang sudah selesai. Kalau kau ingin tahu lebih banyak tanyakan saja langsung pada orangnya, jangan padaku.”

Jadi, Edrick adalah anak angkat? Kurasa aku perlu meluruskan beberapa hal. Kupikir, Edrick tidaklah terbangun tepat disaat kedatanganku, tapi sepertinya jauh sebelum itu. Aku penasaran, kira-kira kalau bukan karena kedatanganku, lalu apa yang membuatnya bangun dari tidur panjangnya itu? 

“Hei, kenapa kau melamun? Jangan bilang kau sedang memikirkan pria itu?” Stery mengibaskan tangannya di wajahku. 

Meski tebakannya benar tapi tidak mungkin aku mengaku, tentu saja aku berdalih. Aku akan menyimpan beberapa pertanyaan ini untuk sementara. Sampai aku bisa menjawabnya sendiri.

“Ngomong-omong, aku masih penasaran, kenapa kau mengubah dirimu seperti ini?” Seperti yang lainnya, Stery begitu intens memandangi fisikku.

“Ah...Um..ini....”

8 komentar:

  1. Kenapa kakek berpura-pura jadi paman?😰😒

    Complicated ternyata...
    Bacanya mesti jeli...
    kalau nggak. Bisa salah fokus😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biar gak ketauan kalo papanya pernah dijadiin eksperimen 😂

      Complicatednya ge rada maksa tea 😂😂

      Hapus
    2. Haha...ttep bikin penasaran ko..

      Tuh kan... makin terungkap jati dirinyaa..
      Mungkin ini bisa menjawab kenapa aku gak suka sama edrick.. dan lebih ngeklop sarah sama arthur..😂

      Hapus
  2. Edrick udah tua, tapi gara" disalib dia jadi gak numbuh..gitu deh 😂😂

    BalasHapus
  3. Haha... udah tuir eyyy....😬😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha, tuir ge gak ubanan syal XD 😝😝

      Hapus
  4. Aah aku ngeship edrick sama sarah, kabayang na muka sehun wae rasana cocok jeng sarah, tapi... Watdeheekkk. Masa edrick na seumuran si papa, walau kemustahilan harusnya diwujudkan di karya fiksi tapi maksa banget pan jadina kalo edrick sama sarah, tiba2 scene kissing sarah edrick di bailoch prequel yg manis jd bikin ilpil krna kebayang edrick udah om om. Yawlah why

    Si arthur mah bikin galau... Dasar pehape. Gak jelas suka sarah apa nggak heuuu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaaa kenyataan memang suka tak sejalan dengan harapan :')

      Hapus