Rabu, 17 Agustus 2016

Bailoch chapter 2: 5

Bailoch

Chapter 2

Sarah || Arthur || Edrick || Others
Mystery || Romance
Pg 17


....


“Arthur !”

        Pria itu menghentikan langkahnya dan menoleh kearahku. Baru kali ini aku melihat ekspresi itu dari wajahnya. Raut kekecewaan. Matanya tak sebening biasanya. Dia seperti mau tidak mau melihat kearahku, terlihat cuek kali ini. Aku menghampirinya, menuruni bukit kecil yang menjadi dinding antara wilayah desa dan pemakaman. Dari atas sini pemandangan seluruh desa bisa nampak jelas sekali, rumah-rumah penduduk nampak kecil apalagi ternak mereka, semuanya seperti semut.


“Kau bilang kau mau menemaniku. Ayolah, jangan marah, kau seperti anak kecil.”

“Aku tidak marah.”

“Aku bisa melihatnya jelas dari wajahmu...

Um.. maaf ya, Arthur.”

“Sudah kubilang aku tidak marah.”

        Pria ini tersenyum lebar. Aku sangat lega melihatnya seperti itu. Suasana antara kami jadi lebih tenang sekarang, aku senang melihatnya. Kupikir dia benar-benar marah.

“Maafkan sikapku yang terlalu cuek padamu.”

        Kami berjalan berdampingan menuruni bukit. Arthur bilang, ini adalah jalan pintas menuju desa daripada harus lewat jalan besar. Dulu, jauh sebelum dia tinggal di desa ini, mobil bisa lewat sini tapi karena sudah sangat jarang dilewati, jalan yang sengaja dibuat perlahan mulai menghilang. Yang tersisa hanya jalan setapak yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki. Tapi sekarang tidak ada yang berani lewat jalan pintas ini karena harus melewati pemakaman. Orang-orang percaya bahwa pemakaman itu adalah tempat angker yang pernah dijadikan tempat untuk melakukan ritual penguncian makhluk buas yang mengerikan. Sejak kabar itu terdengar oleh seluruh penduduk, mereka tidak berani untuk melewati jalan ini. Jadi sampai saat ini, pemakaman itu sangat dihindari oleh masyarakat. Jika ada warga desa yang meninggal, mereka akan memilih pemakaman di seberang desa yang tempatnya lebih luas dan lebih terang, karena disana tidak terlalu banyak pepohonan yang membuat suasana jadi seram dan lembab.

“Kau tahu, hantu akan mendatangi orang yang percaya pada hantu. Kalau kau percaya pada mitos itu berarti hal aneh akan terjadi padamu saat kau melintasinya. Dan buktinya itu tidak terjadi padaku.”

“Aku tidak bilang kalau aku percaya. Aku hanya mencoba memperingatimu agar berhati-hati.”

“Bukankah tadi kau ketakutan? Akui saja.”

        Aku mencoba menggoda dan mencolek pinggangnya agar hubungan kami tidak terlalu kaku. Hanya agar dia tahu bahwa aku bukan orang yang tidak bisa diajak bercanda. Mungkin ini usahaku untuk mempertahankan teman. Kita hanya perlu saling memahami, bukankah itu yang harus dilakukan dalam sebuah pertemanan? Seharusnya aku tak perlu membatasi diri dan mencoba untuk lebih terbuka.

“Jadi, darimana kau berasal?”

“Indonesia.”

“Huh, dimana itu? Aku belum pernah mendengarnya.”

“Yang benar? Itu, hmm.. Ibukotanya Jakarta.”

        Arthur menggeleng sambil mengangkat bahunya.

“Kau tidak tahu Jakarta? Itu kota dengan mal terbanyak di dunia.”

         Arthur masih menggeleng. Aku heran. Kukira semua orang tahu Kota Jakarta karena salah satu kota penyumbang pencemaran udara terbesar di dunia. Tingkat korupsi dan bencana banjirnya juga sudah terkenal mendunia. Apa dia benar-benar anak desa yang kurang informasi?

“Apa kau pernah mendengar sesuatu tentang Bali?”

“Iya, aku tahu. Bali adalah pulau terindah keempat di dunia. Keluargaku pernah berencana berlibur ke sana. Sebelum aku pindah kesini tentu saja.”

“Aku tinggal di Denpasar, di bagian Timur pulau Bali. Apa kau tidak tahu kalau Bali adalah bagian dari Negara Indonesia?”

        Arthur menggeleng, lalu tertawa dengan polosnya seperti anak-anak. Dasar, ingin sekali aku mengacak-ngacak rambutnya. Tapi aku sadar itu akan membutuhkan usaha yang lebih karena tubuhnya terlampau tinggi. Sebahunya saja tinggiku tak sampai. 

“Dan kau, kenapa bisa ada di desa ini?”

          Arthur mulai menjelaskan kedatangannya ke desa ini, Bailoch. Dia berasal dari London, tepatnya di Fulham. Anak kedua dari tiga bersaudara, semuanya laki-laki. Alasannya datang ke sini hanyalah sederhana. Dia suka tempat seperti ini, pedesaan. Dia suka rumput, suka membaur dengan alam dan bicara dengan hewan ternak. Itu sebabnya, kematian Mr Rudolf adalah alasan paling kuat yang bisa dia katakan pada orang tuanya untuk bisa tinggal disini, menemani Mrs Rudolf. Seluruh waktunya disini dia gunakan untuk bekerja, itu sebabnya dia putus sekolah selama setahun ini. Dan Arthur bisa kembali bersekolah adalah berkat papa. 

        Saat kami pergi ke rumah Mrs Rudolf dua minggu lalu saat Arthur terluka, Arthur bilang papa telah membiayai semua kebutuhannya. Termasuk motor sport  hijau yang papa beli untuk Arthur agar dia bisa pergi ke sekolah tanpa terlambat. Aku bisa melihatnya, karena sekarang kami telah berada di rumah Mrs Rudolf. Itu adalah sebagai pengganti sepedanya yang rusak karena tertabrak mobil kami. Arthur memang pantas mendapatkannya. Ya, aku cukup terkejut. Papa begitu baik telah menolong Arthur sampai dia bisa bersekolah kembali, tapi kurasa mengganti sepeda dengan motor terlalu berlebihan. Tidak sebanding. Tapi dia pantas mendapatkannya.

        Aku senang mendengar Arthur bercerita. Berbagai ekspresi keluar dari wajahnya. Dia bercerita banyak hal tentang dirinya. Tentang makanan kesukaannya, film favoritnya, dan lagu yang sering dia putar tiap malam. Aku hanya senang mendengarnya bercerita, dan tidak berniat menceritakan hal serupa tentang diriku padanya. Kurasa Arthur sudah berlebihan menceritakan semua kehidupannya. Maksudku, dia terlalu terbuka, dia bahkan belum mengenal diriku dengan baik. Jika aku jadi dirinya, aku pasti akan lebih mempertimbangkan ucapan yang akan aku katakan pada orang lain. Dan jika aku adalah orang lain, bagaimana jika aku adalah orang yang suatu saat akan membocorkan semua rahasianya? Bagaimana jika aku menyakitinya suatu saat nanti? Kenapa aku merasa Arthur begitu percaya pada orang asing sepertiku.

        Ternyata Mrs Rudolf sedang tidak ada di rumah, kata Arthur tiga puluh menit lalu dia pergi ke pasar membeli kebutuhan dapur. Sebentar lagi Arthur akan menjemputnya ke pasar. Jadi dia memintaku untuk menunggu disini. Aku hanya mengangguk. Kurasa tidak masalah karena aku juga sering datang kesini dulu, meminta makanan bahkan menginap. 

          Aku menyenderkan punggungku di sofa. Sofa baru yang sangat empuk. Enak sekali rasanya sejenak melepas penat. Arthur pergi ke dapur menyiapkan segelas minuman untukku. Selagi dia disana, aku mengamati setiap sudut di ruangan ini. Sedikit ada perasaan rindu bila mengenang masa lalu. Saat aku begitu bodohnya percaya pada semua ucapan pak tua itu. Lalu seiris perasaan sesak terasa di dalam dadaku. Semua ini masih sama.

“Kau tidak keberatan menunggu disini sendirian?”

“Tidak masalah. Aku akan menunggu.”

“Minumlah dulu.”

“Terimakasih. Tapi, kau tidak akan lama, kan?”

           Arthur hanya tersenyum, sepertinya dia juga tidak bisa memastikan. Bukannya aku takut, tapi perasaanku tidak enak jika berlama-lama disini. Aura yang dingin menyelimutiku setiap saat. Aku selalu teringat pada Mr Rudolf, pada wajahnya. Aku tahu jarak pasar cukup jauh. Aku hanya khawatir.

            Arthur sudah berada di depan pintu dengan motor sportnya yang keren. Jaket tebal ikut membalut tubuhnya. Terlihat seperti sosok pria dewasa, tapi sangat berlawanan dengan sikapnya. Aku hanya memperhatikan kepergiannya dari dalam. Semoga dia cepat kembali.

          Aku kembali meneguk teh yang ada di meja. Sepi. Jika sudah sampai ke apartemen, aku tidak akan bicara pada papa. Dia lebih mementingkan pekerjaannya daripada menghabiskan hari libur bersamaku. Ini menyebalkan. Baru saja tadi malam dia bersikap berbeda padaku sekarang berubah lagi.

               Hmm, apa yang harus aku lakukan disini? Ah, aku akan melihat sapi-sapiku. Sapi Arthur maksudnya. Aku berlari menuju pintu belakang dengan tergesa, tak pernah merasa sesenang ini saat aku akan bertemu sapi. Tapi karena kecerobohanku, bahuku menyenggol rak buku dan membuat sesuatu terjatuh. Sebuah album foto. Aku mengambil dan menyimpannya kembali ke atas rak, sedikit sulit mencapainya sehingga sesuatu dari dalam album ini berjatuhan keluar. Bodohnya aku. Salahkan tubuh pendek ini.  Aku segera membereskannya kembali. Awalnya aku sama sekali tidak tertarik dengan gambar yang saat ini tergeletak di lantai. Tapi setelah kuperhatikan dari dekat, aku mengenali salah satu dari beberapa orang yang ada didalam foto. Pamanku. Dari beberapa foto ini, pakaian mereka sama. Sepertinya profesi mereka juga sama. Salah satu foto adalah foto pamanku, Mr Rudolf, dan seorang yang tidak kukenal. Wajahnya terlihat lebih muda dari kedua orang ini. Di foto yang lain, mereka sepertinya sedang melakukan sebuah operasi kecil. Di foto yang lain lagi, mereka terlihat sedang mereaksikan sesuatu. Banyak tabung-tabung reaksi dan cairan warna-warni juga peralatan kimia lain. Kelihatannya mereka memang sedang berada di dalam sebuah laboratorium. 

          Sangat lama kusadari, ternyata ?! Inikah yang dimaksud Edrick dulu? Benarkah ini? Kalau begitu orang ini adalah James Garland, ayah Edrick. Jadi, ternyata benar, mereka adalah peneliti. Foto-foto ini sudah sangat menjelaskan bahwa mereka sedang melakukan pekerjaan itu. Tapi apakah manusia buatan yang mereka ciptakan itu benar-benar ada? Maksudku apakah Edrick benar-benar seorang mutan? Ah, kepalaku benar-benar pusing. Aku sudah tahu, Edrick pernah mengatakannya bahwa dia adalah seorang mutan. Aku tahu, dia sering menghisap darah. Tapi, aku tidak bisa menerimanya, aku tidak mau mengakuinya. Bukti apa lagi yang harus kulihat untuk meyakinkan bahwa Edrick bukanlah manusia normal. Sampai aku selalu berpikir dia memang manusia biasa seperti yang lain. Dia mutan, benar. Dan sampai saat inipun aku tahu dia hanya berpura-pura menjadi manusia.

          Hal yang aku ingat dari Edrick saat dia menjadi mutan adalah, dia menginginkan darahku agar dia bisa tetap hidup. Dan hal terjahat yang pernah dia lakukan adalah, niatnya untuk membunuhku. Tapi kenyataannya dia tidak bisa melakukan itu karena air liurnya menyembuhkan setiap luka dari tubuhku dengan cepat, termasuk dari gigitannya. Makhluk itu jahat, Edrick adalah manusia paling mengerikan yang pernah kutemui. Kuharap, ada obat untuk menyembuhkannya, mengembalikan dirinya menjadi manusia normal, sehingga dia takkan pernah lagi membuatku cemas. Itu dia, obat ! Aku harus mencari tahu tentang hal itu. Mereka bertiga adalah peneliti. Saat mereka berniat menciptakan seorang mutan, artinya mereka juga pasti membuat obat untuk menghentikannya. Kuharap. Setidaknya mereka pasti pernah memikirkan tentang hal itu. 

        Aku membereskan kembali foto-foto itu. Setelah melihat mereka, muncul keinginan untuk mengubah Edrick menjadi manusia biasa. Aku ingin dia menjadi manusia, aku ingin membuatnya terlepas dari penderitaan itu. Menjadi sosok mutan yang mengerikan pasti menyedihkan. Aku ingin mengetahui sesuatu tentangnya lebih dalam lagi. Aku juga berpikir, dirumah ini pasti banyak tersimpan catatan-catatan milik Mr Rudolf yang akan sangat membantuku mencari jawabannya.

           Baru saja daun pintu kudorong, aku melihat Marshie melintas di kebun sayur. Ya, Mrs Rudolf memang menanam beberapa jenis sayuran di sebuah lahan petak, seperti kol dan lobak putih. Aku memanggilnya, dan Marshie menoleh sekilas lalu berlari. Larinya sangat cepat, tapi untungnya tidak ada pepohonan yang menghalangi pandanganku. Meski tertinggal cukup jauh, aku masih bisa melihat kucing itu. Marshie melompat masuk ke lubang tembok pagar yang besarnya seukuran dengan tubuhnya. Aku memilih jalan memutar untuk mencari pintu gerbang. Tapi ternyata, saat aku melihat rumah ini dari arah depan, ini adalah sebuah kastil tempat tinggalku dulu. Rumah milik pamanku. Wujudnya yang tinggi besar menjulang sampai ke langit. Aku terpaku melihat bangunan didepanku yang tiba-tiba memunculkan kenangan lama yang terasa nyeri. Takut. Hanya itu perasaanku sekarang. 

           Pikiranku kembali mengulang hari-hari yang berlalu di tempat ini, di bangunan tua ini. Aku ingat di hari pertama saat menginjakkan kaki disini dan seperti apa perasaanku saat itu. Semuanya terasa masih hangat, terasa tidak nyata. Kenyataannya aku masih kembali ke tempat yang menyimpan segala rahasiaku ini. Segala yang kuingat hanya tentang kesedihan.

           Marshie mengeong lagi, suaranya terdengar dari dalam sana. Aku ragu, takut untuk pergi kesana mengambil Marshie sendirian. Aku tidak mau lagi. Cukup. Aku tidak akan pernah masuk kesana lagi. Hari itu adalah yang terakhir. Marshie mengeong lebih keras, lebih nyaring, tidak seperti suaranya yang biasa, sepertinya Marshie dalam bahaya dan membutuhkan pertolongan. Bagaimana ini? Adakah seseorang disini yang mau menolongku? Jika tidak ada, maukah Tuhan menolongku dan mengambilkan Marshie untukku? Atau setidaknya datangkanlah seseorang untuk membantuku.

“Sarah?”

        Aku terperanjat begitu  mendapati sebuah tangan menyentuh bahuku. Ah, Arthur. Syukurlah. Aku sangat lega, Tuhan telah mendengar doaku dan mengabulkannya dengan cepat. Aku menjelaskan pada Arthur bahwa Marshie masuk kedalam dan sedang dalam bahaya. Kupikir Arthur akan segera masuk dan mengambilkan Marshie, tapi ternyata dia menolak. Sudah kuduga dia takut, dia seorang penakut. Ternyata Tuhan salah mengirimkan orang padaku. 

“Kenapa harus aku sendiri? Setidaknya berdua kita bisa saling melindungi.”

“Aku tidak mau Arthur. Masuklah dan dapatkan Marshie untukku secepatnya.”

          Arthur tertunduk ragu. Aku bisa melihat raut kekhawatiran di wajahnya. Aku juga sebenarnya tidak tega tapi mau bagaimana lagi, aku tetap tidak mau masuk. Arthur harus melakukannya sendirian sebelum terjadi apa-apa pada Marshie. Setelah berdebat cukup lama, akhirnya Arthur menghembuskan nafas berat. Dengan terpaksa tentu saja, dia masuk kedalam dengan wajah kusut bercampur takut dan benci. Maaf Arthur, aku janji akan membalas pengorbananmu. Aku akan mengingat kebaikanmu. Terimakasih.

          Perlahan-lahan Arthur mulai membuka pintu gerbang utama yang besar ini. Bagian yang menjulang paling tinggi bermotif bunga-bunga dan burung gereja, memanjang dari ujung ke ujung pagar ini. Pagar berkarat yang menghasilkan bau besi. Suara berderit timbul saat pagar mulai bergerak perlahan. Arthur berjalan lebih dalam lagi. Saat ini dia tengah berada di halaman. Seingatku dulu, halaman ini berumput hijau dan sangat segar. Kini, semuanya berwarna coklat, rumput-rumput itu sudah mati. Aku hanya mengamatinya dari sini. Sama sekali tidak berani bergerak maju. Arthur sudah sampai di depan pintu. Dia menoleh kearahku, jelas sekali bahwa dia ketakutan. Tangannya menunjuk ke pintu itu, memberi isyarat. Aku mengangguk, bahwa dia harus mendorong pintu itu dan masuk kedalam. Tangannya gemetar, lalu perlahan mendorong pintunya. Terkunci. Arthur menoleh kearahku sekali lagi. Aku memberi isyarat padanya dengan menunjuk ke arah jendela. Dia harus masuk lewat jendela. Lalu Arthur mencoba membuka jendela itu perlahan. Terbuka. Dia menoleh lagi sebelum menghilang ke dalam rumah. Dari sini aku hanya bisa mendoakannya agar pria itu selamat. Selamat, dari hal-hal yang menakutkan. Semoga tidak terjadi apa-apa.

        Marshie terus mengeong dari dalam sana. Suaranya terdengar dari ketinggian. Aku mengedarkan pandangan mencari sumber suara itu. Dan aku melihatnya, diatas sana, dilantai dua. Tapi aku benar-benar terkejut dengan apa yang aku lihat saat itu. Bercampur antara rasa takut dan penasaran. Di ruangan itu ada sesosok anak perempuan, memakai dress putih dan rambut panjang sebahu. Dan bersamaan dengan itu, Marshie tengah berada dalam dekapannya. Perempuan itu terlihat pucat, dia menatap kearahku dengan tajam. Salah satu tangannya mendekap Marshie dan tangan satunya melambai kearahku. Seketika bulu kudukku meremang. Rumah ini kosong, lalu siapa dia? Dan Marshieku ada disana bersama anak itu.  Marshie menoleh lalu dia mendesis padaku. Aku tidak melihatnya seperti Marshie yang dulu, yang terlihat lucu dan menggemaskan. Sekarang dia sangat menyeramkan. Matanya bersinar membulat. Lalu perempuan yang menggendong Marshie itu mengelusnya. Mereka masih menatap kearahku. Tiba-tiba aku teringat pada Arthur, jangan sampai dia bertemu dengan anak perempuan itu atau dia akan pingsan setelah melihatnya. Aku bingung, aku juga takut untuk masuk kedalam, tapi memanggilnya dari sini mustahil suaraku bisa masuk kedalam gendang telinganya. Dengan cepat aku berlari masuk. Jantungku terpompa dengan kuat, nafasku memburu. Pikiranku saat ini hanya tertuju pada Arthur, aku takut terjadi apa-apa padanya. 

             Setelah berada di dalam ruangan, perasaan sesak mulai memasuki dadaku. Pengap, gelap, dan bau yang aneh bertumbukan di dalam hidungku. Mataku mencari-cari sosok Arthur, kuharap aku segera mendapati dirinya sebelum melihat makhluk lain. Pikiranku masih bertanya-tanya siapa anak perempuan tadi. Aku tidak tahu dia manusia atau bukan. Yang pasti aku tidak mau Arthur bertemu dengannya. Aku harus menemukan Arthur secepatnya dan keluar dari sini.

“Arthur ! Arthur !  Kau dimana?”

        Hening, tidak ada jawaban. Kakiku melangkah lebih dalam lagi. Setengah terseok-seok agar tidak menabrak sesuatu di depanku.

“Arthur...”

              Aku terus memanggilnya, tapi tak kunjung mendapat jawaban. Dimana dia? Suara barang-barang terdengar berjatuhan cukup keras. Aku melonjak kaget, membulatkan pupil mataku agar semua yang ada diruangan ini bisa terlihat dengan jelas. Tidak yakin apakah itu Arthur atau bukan. Dengan memberanikan diri akhirnya aku melangkah menuju suara itu, asalnya dari dapur. Suara seperti tadi sering sekali aku dengar. Jika alasan suara itu adalah karena tikus, seharusnya tikus juga mencoba untuk menjatuhkan barang lain di rumah ini, tidak hanya di dapur. Apa mereka tidak tau bahwa di dapur tidak ada makanan sama sekali? Rumah ini kosong setelah kami pergi. Tidak ada yang menjaga rumah ini. Lagipula memang tidak ada barang berharga disini, kecuali lukisan besar Rembrant Van Rijn itu, yang sepertinya satu-satunya barang berharga disini.

                Kakiku gemetar, tapi aku berusaha untuk tenang, aku hanya mencoba untuk berpikir positif dan fokus. Mataku akhirnya melihat sesuatu. Sesosok tinggi besar yang tengah membelakangiku, dia sedang menatap kearah sebuah pintu dibawah tangga yang mengarah ke ruang basement. 

“Arthur?”

        Orang itu hanya diam, tidak menjawab dan tidak menoleh. Aku memicingkan mata, mencoba melangkah lebih dekat lagi. Memastikan bahwa dia benar-benar Arthur, bukan orang lain. Lalu aku menyentuh bahunya, hangat. Sosok itu melonjak kaget dan memutar tubuhnya kearahku. Perasaanku menjadi sedikit lega. Dia benar-benar Arthur.

“S..Sarah, kupikir...”

“Kau tidak apa-apa, kan?”

           Dia mengangguk. Aku segera tersadar bahwa kami harus cepat-cepat pergi dari sini. Aku meraih tangannya dan menariknya keluar dari ini. Tangannya dingin, bisa kurasakan bulu romanya berdiri. Sungguh kejam aku menyuruh pria ini masuk sendirian untuk mengambil Marshie. Pasti perasaannya sangat tertekan gara-gara aku. Oh, maaf Arthur, aku sama sekali tidak memikirkan dirimu.

         Untungnya, kami bisa keluar dengan selamat. Tidak terjadi apapun padaku dan Arthur. Aku tidak bertemu makhluk mengerikan, hantu, atau anak perempuan itu, Arthur juga mengatakan hal yang sama. Meski dia tidak kuberitahu soal yang terakhir tadi.

          Arthur mempertanyakan banyak hal padaku. Tapi sekalipun aku tidak menjawabnya. Kepalaku rasanya berputar-putar. Dia tidak akan mengerti meski aku menceritakan semuanya. Aku tidak akan mengatakan apapun.

                   Tidak terasa hari sudah menjelang sore. Aku selalu lupa dengan semua hal yang terjadi padaku sebelumnya setelah melihat pemandangan ini. Terlalu indah untuk dilewatkan. Terlalu indah juga untuk memikirkan hal lain. Aku tidak mengerti, pesona Bailoch selalu membuai perasaanku. Senja ini, dimana angin berhembus lembut, bau rerumputan yang hangat begitu tercium manis. Suara burung yang mulai kembali ke sarang, dan matahari yang selalu malu-malu sembunyi dibalik awan sebelum melambai masuk ke peraduannya. Aku menyukainya, perasaan hangat yang merangkak masuk kedalam dadaku. Mengaguminya. 

“Jika ayahmu belum menjemputmu juga, menginaplah disini. Beritahu ayahmu kalau kau bisa pulang besok.”

        Arthur menghampiriku dan membuyarkan lamunanku. Sungguh tidak tepat membicarakan papa disaat seperti ini. Selalu diwaktu yang sama perasaan ini muncul, aku tidak mengerti. Terlalu sulit untuk dipahami. Apartemen itu adalah tempat terbaik yang pernah kutinggali selama ini. Aku selalu merasa nyaman dan aman disana. Meski disini indah, tapi entah kenapa aku selalu takut. Kupikir semua itu memang sudah berakhir. Tapi siapa yang tahu bahwa awal baru sedang dimulai dengan kembalinya aku ke tempat ini. Itulah yang aku takutkan.

“Kau punya handphone, bukan? Pinjamkanlah padaku.”

            Arthur mengangguk, lalu kami berdua masuk kedalam rumah. Disana Mrs Rudolf sedang memasak untuk makan malam. Aku tidak akan menginap, aku tidak mau menghabiskan satu malampun disini. Besok hari senin, biasanya segala masalah akan muncul pada hari itu. Dan aku tidak mau masalah itu dimulai dari tempat ini. Aku bertanya pada Mrs Rudolf kenapa dia memasak begitu banyak malam ini, padahal mereka hanya tinggal berdua. Lalu dia bilang, dengan sedikit memaksa bahwa aku harus makan malam di sini. Aku menolaknya. Aku tahu papa tidak akan terlambat datang menjemputku, jadi aku pasti tidak akan bisa memakan hidangan lezat itu. Aku tidak ingin merepotkannya. 

          Berkali-kali aku mencoba menghubungi papa, tapi tak mendapat jawaban. Dia tak kunjung mengangkat teleponnya. Mungkin aku harus menunggu. Papa tidak akan sekejam itu meninggalkanku disini sendiri. Dia harus minta maaf padaku atas perbuatannya tadi, juga perbuatannya yang ini. Sikap papa yang terlalu cuek membuatku merasa kesepian. Meski aku tidak menyukai keadaaan ini, tapi nyatanya aku sudah terbiasa dan mulai menyukainya. Terdengar aneh bila menyukai kesendirian, padahal tak seorangpun di dunia ini mau ditinggal sendirian. Mungkin itu tidak berlaku lagi padaku.

“Papa tidak kunjung mengangkat teleponnya.”

“Siapa tahu ayahmu sedang sibuk, Sarah. Mandilah dulu, Arthur akan menyiapkan air hangat untukmu.” 

“Dia melupakanku. Dia tidak mempedulikanku.”

“Ssst..jangan bicara seperti itu. Dia pasti akan mengabarimu secepatnya.”

         Setelah mandi badan dan pikiranku jadi lebih segar. Ini sudah sangat sore dan papa masih belum datang juga. Kali ini akan kubuat papa minta maaf padaku lebih dari seratus kali. Papa seharusnya tidak membiarkanku berada disini. Dia tahu apa yang terjadi padaku dulu. Seharusnya papa bisa lebih melindungiku, bukan membiarkanku terjebak dalam masa lalu lagi. 

“Sarah, tadi ayahmu menelpon.”

“Apa katanya?”

              Firasatku mulai tidak enak.

“Dia tidak akan menjemputmu malam ini. Katanya ada urusan penting. Dia akan membicarakannya denganmu nanti.”

“Tapi, Mrs Rudolf aku tidak mau menginap. Arthur, maukah kau mengantarku pulang?”

“Hmm, bagaimana ya?”

             Arthur menoleh kearah Mrs Rudolf, jangan bilang mereka bersekongkol untuk mempertahankan keberadaanku disini? Oh, ini tidak adil untukku.

“Sarah, kau tahu peraturannya, bukan?”

         Aku terdiam. Tidak boleh bepergian di malam hari lebih dari pukul tujuh. Iya, aku ingat. Siapa yang sudah membuat peraturan bodoh itu? Menyebalkan. Jadi, aku harus menginap disini? Benarkah? 

“Ayo, kita makan dulu !”

          Setidaknya aku harus tetap menghormati Mrs Rudolf. Dia telah berbaik hati menyiapkan makanan untukku. Jadi, mungkin aku tidak harus mengeluh dengan keadaan ini karena bisa jadi aku menyinggung perasaannya. Bagaimanapun perasaanku selalu seperti ini, panik, takut, gelisah, kuharap semuanya akan baik-baik saja. Menginap disini sebenarnya bukan keputusan yang buruk, hanya saja aku selalu terjebak dalam bayang-bayang masa itu.

“Terimakasih, Mrs Rudolf, kau sangat baik padaku.”

“Sama-sama, Sarah. Kau selalu kuanggap seperti anakku sendiri.”

       Aku tersenyum. Ya, tak seorangpun bisa menandingi kebaikan Mrs Rudolf. Sikap wanita paru baya itu sangat hangat, bisa kulihat dari raut wajahnya yang penuh kasih sayang. Dia sangat tangguh menghadapi semua cobaan dalam hidupnya. Andai mama seperti itu.

“Setelah ini kau mau apa?”

“Huh?”

          Aku tersadar dari lamunan. Arthur yang melakukannya, membuyarkan diriku yang sedang asyik dengan pikiranku.

“Kau mau apa setelah ini?”

“Maksudnya?”

“Apa ada hal yang ingin kau lakukan?”

“Malam-malam begini?”

“Maksudku, orang sepertimu pasti selalu membaca sesuatu sebelum tidur. Dan kau tidak bawa buku pelajaran malam ini.”

“Hmm, aku bisa membaca apapun.”

“Kalian bisa belajar bersama, bukan. Sarah anak yang rajin dan pintar. Dia bisa mengajarimu, Arthur.”

         Kami hanya tersenyum. Setelah itu kami tidak bicara apa-apa lagi sampai selesai. Aku membantu Mrs Rudolf membereskan meja. Dia bersikeras melarangku mencuci piring, jadi aku hanya bisa mengelap meja. Arthur masuk ke kamar dan kembali dengan membawa bantal dan selimut lalu menaruhnya di sofa. Mungkin itu untukku. Rumah ini hanya ada satu kamar utama. Dan kupikir Arthur tidur bersama Mrs Rudolf dalam satu ruangan. Sedangkan ada satu ruangan lain yang pintunya selalu tertutup rapat. Ya, rumah Mrs Rudolf cukup kecil dan sangat sederhana tapi semuanya tertata rapi dan bersih.

“Kau pasti lelah, Sarah. Tidurlah, besok pagi-pagi sekali aku akan mengantarmu pulang.”

         Arthur menata bantal dan menggelar selimut, setelah itu dia berbaring disana.

“Hei, kupikir kau menyiapkan itu untukku.”

“Apa maksudmu? Mana mungkin kau tidur disini.”

“Katamu kau mau belajar.”

“Aku malas.”

“Dia memang seperti itu, Sarah. Dia tidak suka belajar, katanya belajar itu membosankan.”

        Mrs Rudolf kembali dari dapur. Dia membawa dua gelas teh hangat dan kue yang tidak kuketahui namanya. Lalu meletakannya di meja didepan sofa. Setelah aku bertanya tentang makanan itu, dia menjawab namanya adalah scones, berbentuk bulat kecil berisi kismis, tapi ada juga yang tidak memakai campuran kismis. Teksturnya keras dari luar namun lembut dan gurih di bagian dalamnya. Dia bilang, scones akan sangat enak bila dimakan bersama clotted cream dan selai stroberi. Kemudian Mrs Rudolf duduk disana dan menyibak selimut yang menutupi wajah Arthur sambil tersenyum kecil. Wajah Arthur memerah, entah karena malu atau sedang menahan marah. Lalu dia menarik selimut dan menutupi wajahnya kembali. Aku hanya menggeleng. Kupikir semua laki-laki memang selalu malas belajar. Aku beranjak dari tempatku mendekati sebuah rak berwarna hitam pudar tempat berjejernya buku-buku. Rak itu berada tepat di sebelah perapian yang letaknya agak menyudut. Dan persis di depan perapian ada sebuah sofa kusam yang usang. Aku pernah memperhatikan Mr Rudolf membaca disitu, terlihat tenang dan bersahaja. Aku sangat tertarik dengan buku-buku ini, apalagi baunya yang khas dan sangat kusukai. Semakin tua dan usang sebuah buku, baunya akan semakin unik. Semakin tebal sebuah buku, semakin menarik untuk kuintip lembar demi lembar setiap katanya. Aku berniat mengambil salah satu dari beberapa buku yang sangat menarik perhatianku. Letaknya cukup tinggi untuk kujangkau. Saat aku bisa menyentuhnya, Mrs Rudolf tiba-tiba berdiri di sampingku.

“Sarah, coba kau baca yang ini. Peperangan era Napoleon. Aku rasa kau akan menyukainya.”

         Mrs Rudolf menyerahkan buku itu padaku sambil tersenyum. Aku menerimanya dan melupakan buku yang baru saja akan kuambil. Buku rekomendasi dari Mrs Rudolf mungkin akan menarik.

        Aku terus membaca buku ini sampai larut malam, ditemani Mrs Rudolf yang sedang duduk di depan perapian dan menjaga agar api itu tetap menyala. Aku tengah duduk di sofa di samping Arthur yang tertidur. Dari sini cahaya perapian bisa leluasa menerangi pandanganku. Ya, Mrs Rudolf benar buku ini sangat menarik. Peperangan Napoleon adalah serangkaian peperangan yang terjadi selama Napoleon Bonaparte memerintah Perancis tahun 1799-1815. Perang ini terjadi khususnya di benua Eropa, juga di beberapa tempat di benua lain yang merupakan kelanjutan dari perang yang dipicu oleh Revolusi Perancis pada tahun 1789. Perang ini menyebabkan perubahan besar pada sistem militer di Eropa. Peperangan Napoleon berakhir ketika dia mengalami kekalahan dalam pertempuran Waterloo pada 18 Juni 1815 dan disepakatinya pakta Paris yang kedua. 

         Membaca sebuah buku sejarah seperti ikut terbawa masuk kedalamnya. Sayang, ingatanku tidak terlalu baik dalam bidang hapalan. Setelah membacanya, sebentar kemudian aku sudah lupa. Sudah berjam-jam aku menghabiskan waktu untuk membaca buku ini, tak sedikitpun aku ingin mengakhirinya.

“Sarah, tidurlah, ini sudah malam.”

“Aku belum mengantuk, Mrs.”

“Kalau begitu aku akan tidur sekarang. Masuklah kalau kau lelah.”

“Baiklah. Mungkin sebentar lagi.”

         Mrs Rudolf masuk ke kamarnya. Dia terlihat kelelahan. Aku tidak bermaksud membuatnya menemaniku semalaman, karena kupikir dia memang tidak sedang menemaniku. Hening. Kini, suara kayu bakar yang dimakan api terdengar sangat nyaring. Aku terjaga sendirian. Tak apa, aku memang tidak ingin tidur disini. Entah apa jadinya bila mataku terpejam satu menit saja.  

     Aku memperhatikan Arthur yang sedang terlelap, nyenyak sekali sepertinya. Dia seperti kepompong, meringkuk terbalut selimut tebal dari ujung kaki sampai kepala. Apa rasanya tidur dengan menutupi kepalanya seperti itu. Apa tidak terasa pengap? Aku mencoba menarik selimut yang menutupi seluruh wajahnya. Padahal suhunya tidak begitu dingin, kalau dia tidur seperti ini dia bisa mati kehabisan nafas. Aku menariknya, wajahnya berkeringat dan memerah. Persis seperti pantat bayi.

          Ruangan ini perlahan semakin gelap, artinya kayu bakar diperapian mulai meredup. Hanya tersisa abu dan sedikit bara api. Kurasa ini sudah saatnya untuk mengakhiri kegiatanku. Ah, wangi ini muncul lagi. Tidak setiap saat aku sadar dengan kemunculan aroma ini, tapi setiap aku sadar ternyata aroma ini selalu muncul disaat yang tidak menentu. Dan aku tak bisa memastikan kapan tepatnya itu terjadi. Mengalir kedalam tenggorokanku, terasa menenangkan dan menyenangkan menghirupnya. Dan aku yakin, ini keluar dari tubuh Arthur. Sebenarnya apa yang membuatnya seperti ini? Aku menyenderkan kepalaku di bagian tepi sofa, di depan wajah Arthur yang nampak sangat aneh dilihat dari jarak sedekat ini. Kurasa dia tidak akan menyadarinya. 

           Sesuatu menepuk-nepuk bahuku pelan. Aku terusik dengan sebuah suara yang memanggil namaku. Aku mulai membuka mata, dan begitu terkejut saat mendapati sepasang mata kelabu tengah menatapku. Kami tersentak, sama-sama terkejut dengan kondisi saat ini. Tangan, leher sampai punggungku terasa nyeri saat digerakkan. Aku memutar tubuhku dan melihat Mrs Rudolf tersenyum dengan sedikit rasa heran. Aku bingung, kenapa aku ada disini? Lalu kembali melihat orang yang ada dihadapanku. Arthur menggaruk kepalanya, rambutnya acak-acakan. Dia juga sama herannya denganku. Tapi aku yakin aku tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Tanganku kesemutan, sangat kaku untuk digerakkan.

“Ah, Mrs Rudolf. Sepertinya...aku ketiduran disini.”

        Aku takut Mrs Rudolf marah dan berpikir yang tidak-tidak. Aku segera bangkit dari sana. Mrs Rudolf tidak mengatakan apa-apa setelah dia bilang bahwa dia membangunkan kami karena takut kami terlambat. Aku melirik ke arah Arthur, dia menatapku, aku membuang muka. Begitu seterusnya sampai aku lupa ini yang keberapa kalinya. Lagipula aku tidak mengerti kenapa aku melakukannya.

“Ada apa? Kenapa kau seperti itu?”

          Aku tidak menjawab, hanya menggeleng. Sial, aku tidak bisa mengingat kejadian semalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar