Rabu, 17 Agustus 2016

Bailoch chapter 2: 4

Bailoch

Chapter 2

Sarah || Arthur || Edrick || Others
Mystery || Romance
Pg 17

....

         Aku berlari menuju kamar, membuka pintu lalu menghentakkannya dengan keras. Tidak lama papa menghampiriku.

“Ada apa? Kenapa kau menangis?”

        Aku hanya menggeleng, papa tidak akan mengerti tentang masalahku. Dan aku tidak berniat untuk menceritakannya. Aku hanya ingin menangis, sendirian.


“Ayo, ceritakan pada papa, apa yang terjadi?”

         Papa duduk disamping tubuhku yang menelungkup, dia mengusap rambutku, menebuk bahuku pelan agar aku berbalik dan menceritakan hal yang baru saja kualami.

“Jadi kau tetap tidak ingin cerita? Baiklah, papa rasa ini memang kesalahan papa yang tak punya waktu luang untuk membicarakan hal-hal pribadi denganmu. Itu sebabnya kau lebih sering menulis daripada bicara pada papa. Bukan begitu?...

...Maafkan papa, Sarah. Papa seharusnya bisa lebih memperhatikanmu. Jadi kali ini saja bicaralah pada papa. Apa yang terjadi padamu sampai kau menangis begini? Papa tidak bisa membiarkanmu tersakiti.”

        Mungkin kali ini papa memang punya waktu luang untuk mendengarku. Besok hari minggu tentu saja kami punya banyak waktu untuk menghabiskan malam berdua. Papa sedang baik hari ini. Tidak, bukan hanya hari ini tapi setiap saat dia selalu berkata ramah, tapi hanya kali ini dia bersedia mendengarkan masalahku. Apa aku harus terlihat menyedihkan dulu agar papa mau membagi bahunya untukku?

        Aku memutar tubuhku, menghapus sisa-sisa air mata yang masih tak mau berhenti keluar. Lalu perlahan mulai mengatur nafas agar kata-kataku bisa masuk ke telinganya dengan baik. Tapi, tetap tidak bisa, aku masih terbawa emosi. Suaraku serak dan parau.

“Arthur...Arthur mencoba menciumku...”
    
       Mataku kembali mengeluarkan air tapi aku berusaha menutupinya dengan memeluk bantal. Menenggelamkan wajahku yang mengerikan ini. Entahlah kenapa kejadian tadi bisa membuatku begitu sesedih ini. Padahal itu bukan menjadi hal pertama bagiku. Aku rasa bukan tentang hal itu saja, tapi semua yang terjadi tadi adalah sebuah masalah. Bukan tentang Arthur, tapi semuanya.

“Hmm.. mungkin dia menyukaimu.”
“Tidak, dia mabuk. Dia memakiku sebelum melakukan itu.”

“Lihat? Inilah alasan kenapa kau tidak kuperbolehkan pergi malam-malam.”

“Jadi papa menyalahkanku?”

“Tidak, bukan salahmu. Papa hanya merasa tidak tenang. Papa tahu kau bisa menjaga diri, papa tahu kau tidak akan minum alkohol. Tapi, teman-temanmu melakukan hal itu lalu lepas kendali dan menyakitimu. Itulah yang tidak ingin papa lihat seperti sekarang.”

        Papa menarik tanganku dan membuka ikatan kainnya, sepertinya dia sadar bahwa tanganku terluka.

“Ini salahku. Aku selalu ceroboh.”

“Ada pecahan kaca yang masih tertinggal. Ayo kita pergi ke klinik.”

        Ke klinik? Dengan penampilan seperti ini? Aku bahkan tidak berani menatap wajahku sendiri di cermin, terlalu menakutkan. Tentu saja aku menolak dengan alasan bahwa aku baik-baik saja. Padahal aku sendiri takut tanganku akan infeksi. Dan pada akhirnya aku tetap pergi mengorbankan harga diriku yang berpenampilan acak-acakan ini.

       Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak. Berkali-kali terbangun karena mimpi buruk. Aku merasa sedikit demam, badanku agak panas. Mungkin aku kelelahan dan butuh banyak istirahat. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, lalu menatap jariku yang terbalut plester. Apakah Edrick tadi sempat menjilatnya sebelum aku menarik tanganku? Aku berusaha mengingat kejadian tadi. Kejadian yang seharusnya tidak aku ingat lagi, aku sudah mengatakannya. Entahlah, aku hanya tiba-tiba mengingatnya. Tapi bukankah jariku sempat masuk ke mulutnya? Aku mulai merasa tidak tenang. Edrick mulai menunjukan sikap yang tak biasa.

* * *

        Ini hari yang telah dijanjikan papa bahwa kami akan mengantar Marshie pulang ke rumahnya. Tempat yang sebenarnya tidak ingin aku datangi lagi. Keterpaksaanlah yang membuatku harus melakukannya. Demi Marshie kurasa tidak apa-apa jika aku pergi ke sana sekali ini saja. Bailoch, kenapa selalu terdengar buruk di telingaku? 

       Aku sudah terlanjur menyayangi Marshie, sudah kuduga akan semakin berat melepasnya saat dia sudah terlalu lama disini. Seharusnya aku segera memulangkannya meskipun kakinya masih terluka. Sudah kuduga, rasanya sangat berat.

       Marshie sudah berada di dalam kandang setengah jam sebelum kami berangkat. Kelihatannya dia merasa gembira karena sebentar lagi akan bertemu dengan tuannya. Kelihatannya Marshie tidak merasa sedih akan kehilanganku. Itu bagus. Ini akan jadi hari yang menyenangkan.

“Kau sedih?”

“Tidak.”

“Ayo, turunlah. Papa akan menyiapkan mobil.”

        Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam, menatap keluar jendela padahal tak ada yang benar-benar kutatap. Aku sudah berusaha untuk menyembunyikan kegelisahanku tapi tetap saja aku tidak bisa, papa mengetahuinya dengan cepat. 

“Papa tahu kau sedih. Kau tidak harus memulangkan Marshie dan kita bisa merawatnya.”

“Tidak, pa. Pemiliknya pasti merasa khawatir karena telah kehilangan kucingnya. Aku tahu Marshie juga merindukan tuannya. Aku tidak boleh egois.”

“Setelah dia pulang ke rumahnya kita bisa membeli kucing baru untukmu. Atau kalau kau ingin anjing, boleh saja.”

“Aku tidak mau. Punya peliharaan itu ternyata merepotkan.”

         Aku menundukkan kepala menggaruk jemari tanganku yang sama sekali tidak gatal.

“Bukankah selama ini kau senang bermain bersama Marshie? Kau kerepotan, ya harus membagi waktu belajarmu dan mengurus kucing itu sendirian?”

“Ya, aku jadi tidak bisa mengurus diriku dengan baik.”

“Hmm, papa mengerti. Kau harus belajar untuk ujian akhir.”

        Satu hal yang aku tahu, papa tidak bisa membaca kebohonganku. Setelah melewati lampu merah kedua, mobil yang kami tumpangi mulai berbelok ke arah Barat dimana matahari terbenam. Jalan aspal yang luas mulai berganti dengan yang lebih sempit, lalu semakin lama berubah menjadi jalan yang dibuat dari campuran pasir dan semen, semakin lama dan semakin dalam lagi jalanan akan berganti dengan tanah bercampur bebatuan kasar dan pemandangan bak lukisan mulai memanjakan penglihatan. Itu artinya kita mulai memasuki area pedesaan. Jika angin padang telah menyentuh kulitmu, artinya kau sudah mulai terbius. Jika bau rumput terasa segar di tenggorokanmu, itu artinya kau mulai teracuni. Jika sudah berada di area pedesaan ini sudah dipastikan kau tidak ingin pulang ke rumah, dan itu artinya kau mulai terjebak. Selalu ada perasaan seperti ini, mengagumi setiap kedipan dari refleksi yang dipantulkan oleh sinar mentari. Tapi didalamnya siapa yang tahu tentang keganjilan yang dihidangkan bersama keindahan ini. Tak seorang pun menerkanya. Aku menelan ludah, perasaan seperti ini muncul lagi. Ingat, aku harus bersikap tenang. Semuanya akan baik-baik saja.

        Kulihat Marshie tengah tertidur pulas di dalam kandang, sesekali dia menggeliat seperti bayi. Benar-benar polos seperti bayi. Ini akan menjadi pemandangan terakhirku, melihatnya tertidur, mendengkur, dan menguap. Tiba-tiba Marshie terbangun, pupil matanya membesar dan dia mulai panik. Marshie mengeong dan mencakar-cakar kandangnya. Papa yang menyadari hal itu hanya menatapku keheranan. Lalu dia menghentikan mobilnya.

“Papa, ada apa dengannya?”

“Entahlah. Dia mungkin ingin buang air. Cepat keluarkan dia.”

        Aku mulai turun dari mobil lalu mengambil Marshie dari kursi belakang. Dia tidak pernah sepanik ini jika ingin buang air. Mungkin Marshie merasa tidak nyaman jika harus melakukannya didalam kandang. Saat pintu kandang mulai kubuka tiba-tiba Marshie langsung menerobos dan berlari dengan cepat.

“Hei, Marshie. Kau mau kemana?”

       Aku turut berlari mengejar Marshie, kudengar papa memanggil-manggil namaku tapi tak kuhiraukan. Kuharap aku bisa mengejarnya dengan cepat dan membawanya kembali. Marshie masuk ke dalam hutan. Bulunya yang putih semakin lama menghilang dari pandanganku, aku kehilangan Marshie. Tidak. Aku terus berlari mencarinya. Marshie tidak boleh hilang.

“Sarah ! Sarah, tunggu !”

        Seseorang sepertinya memanggil namaku, kedengarannya tidak asing. Saat aku memutar tubuhku, kulihat Arthur tengah berlari menghampiriku. Disaat seperti ini haruskah bertemu dengannya? Oh, bukankah itu hanya akan menimbulkan masalah? Ingat kejadian kemarin? Aku sungguh tidak ingin bertemu dengannya lagi, kumohon. Langkah kakinya semakin mendekat, aku tidak bisa membiarkannya, aku harus menghindar. Tapi sebuah tangan menarik tanganku sebelum aku berhasil lolos dari cengkramannya. Si bodoh ini !?

“Mau kemana?”

“Diamlah !”

        Tatapannya penuh tanda tanya. Bola matanya bergerak gerik, kali ini aku tidak suka. Aku menghempaskan tangannya, kuharap dia mengerti maksudku bahwa aku benar-benar tidak ingin diganggu. 

“Kau marah padaku gara-gara kemarin malam?”

        Oh, rupanya dia ingat dengan kejadian itu. Kupikir gara-gara pengaruh alkohol ingatannya juga ikut hilang. Lalu apa dia akan menjelaskan semuanya sekarang? Ayolah, aku tidak punya waktu  untuk membahas hal itu. Lagipula lihat, tampangnya benar-benar tidak merasa bersalah. Sedangkan aku merasa bahwa kejadian itu adalah masalah besar yang membuatku tidak ingin bertemu dengannya lagi, entah sampai kapan. Tapi dia, berdiri dihadapanku dengan tatapan itu dan ekspresi seolah kejadian kemarin bukanlah hal buruk. Kurasa dia sudah hilang akal gara-gara alkohol.

“Aku tidak punya waktu untuk membahas kejadian itu.”

     Kakiku melangkah menjauh, meninggalkannya. Ternyata Arthur tidak mengejarku, ah sejak kapan aku berpikir seperti ini, berharap dia akan mengejarku dan memohon untuk menjelaskan semuanya, konyol sekali. Nyatanya dia tidak melakukan hal itu. Aku tidak boleh menoleh meski aku penasaran apakah dia masih ada disana atau tidak.

“Maafkan, aku ! Maaf, Sarah, maafkan aku !”

        Apa? Apa aku tidak salah dengar barusan? Aku menghentikan langkah. Dibelakangku mulai terdengar langkah kaki yang semakin mendekat. Aku tidak mau melihatnya.

“Jangan marah lagi, aku bersalah. Jadi maafkan aku.”

       Aku menoleh kearahnya tanpa memutar tubuhku. Sebenarnya aku merasa tidak enak bersikap seperti ini padanya, terlalu kekanak-kanakan. Tapi ini demi harga diriku. Masa bodoh jika aku dikatai orang egois lagi, nyatanya aku memang seperti itu, seperti yang dia katakan.

“Kenapa kau minta maaf? Aku memang pantas mendapat cacian darimu. Aku sama sekali tidak tersinggung. Jika itu pendapatmu, kau boleh mengatakannya.”

“Aku tidak benar-benar ingin mengatakan hal itu, sungguh. Aku tidak bisa mengontrol diriku karena terlalu mabuk.”

“Justru karena kau tidak bisa mengontrol pikiranmu kau jadi bisa berkata dengan jujur. Itu tidak masalah.”

“Tidak, Sarah. Kau tidak tahu yang sebenarnya.”

“Arthur, aku tidak punya waktu lagi.”

    Jika aku harus mendengar semua perkataannya, dia hanya akan membuang waktuku saja. Kurasa penjelasannya tidak begitu penting sekarang. Kakiku mulai membawaku melangkah kembali. Menyusuri jalan setapak yang semakin menghilang dan semak-semak yang semakin tinggi. Pohon-pohon berdiri seperti raksasa penjaga hutan. Dan yang paling tidak kusuka adalah, suara burung gagak yang terdengar nyaring seperti tengah melayang diatas kepalaku. Si bodoh itu membuatku kehilangan jejak Marshie. Aku bingung harus mencarinya kemana. Sesekali kakiku tersandung akar pohon atau batang pohon yang tumbang. Juga sesekali menginjak sesuatu yang menjijikan, serangga, hewan kecil, atau lumut yang selalu membuatku hampir terjatuh. Aroma ini seperti tidak mau hilang dari penciumanku. Dimana-mana aku mencium aromanya. Masih tidak berubah, wangi apel hijau segar dan sedikit bau gula-gula. Aroma yang manis. Darimana dia bisa mendapatkan wangi seenak ini. Aku tidak nyaman bila dia terus membuntutiku seperti ini. Aku tidak butuh pengawal, tidak butuh bantuan. Aku selalu bisa mengatasi apapun sendirian. Semuanya tidak masalah karena aku sudah terbiasa dengan kesendirian.

“Marshie... Marshie dimana kau?”

“Siapa Marshie?”

“Apa kau benar-benar ingin tahu?”

“Tidak juga.”

“Kalau begitu tutup saja mulutmu.”

        Tiba-tiba Arthur menarik tanganku, membuat langkahku seketika terhenti.

“Kau mau kemana?”

“Apa kau juga benar-benar ingin tahu kemana aku akan pergi?”

“Kali ini iya.”

“Aku sedang mencari Marshie, kucingku. Bukan, kucing orang. Aku harus segera menemukannya dan memulangkannya.”

“Oh. Tapi jangan pergi kesana, itu pemakaman.”

“Hei, itu dia. Marshie ada disana.”

        Bulu putih Marshie muncul lagi dalam penglihatanku. Dia sedang duduk dibawah batu nisan sambil menjilati bulunya. Tapi Arthur menahan tanganku saat aku akan menuju kesana. Dia mencegahku, melarangku pergi kesana. Tentu saja, aku tidak mempedulikannya. Marshie lebih penting dan harus kuselamatkan.

“Jangan, Sarah. Tempat itu angker.”

“Masa bodoh dengan ucapanmu, Arthur. Kau tidak perlu mengikutiku kalau kau takut.”

“Bukan begitu...”

“Sudahlah, aku akan pergi kesana untuk mengambil kucingku.”

          Ini hanya deretan batu-batu nisan tua yang kotor. Didalamnya hanya terbujur bangkai manusia yang sudah tak ada urusan di dunia. Mereka hanya tulang-belulang, mana mungkin akan bangkit dari kubur karena kedatangan tamu tak diundang yang sama sekali tidak mengusik waktu tenang mereka didalam sana. Ya, Arthur nyatanya tetap mengikutiku meskipun kelihatannya dia cemas berada disekitar sini.

“Marshie, kau sedang apa disini? Ayo kita pulang!”

        Aku mendekat kearah Marshie, namun saat melihatku tiba-tiba Marshie mendesis ketakutan. Dia langsung loncat dan kabur dari sana. Sifat Marshie sangat aneh. Dia jadi agresif, aku tidak tahu kenapa. Aku segera mengejarnya sebelum kehilangan jejaknya lagi. Marshie masuk lebih dalam ke pemakaman. Jalanannya semakin lama semakin lembab, mungkin karena beberapa pohon besar menghalangi cahaya matahari. Tempat ini begitu sepi, tentu saja, ini pemakaman. Di tengah area pemakaman ini tanahnya terlihat lebih landai. Teksturnya yang basah menyulitkanku untuk berlari.

“Marshmallow... Marshie.. !”

“Marshmallow... Marshie.. !”

“Kenapa kau terus mengikutiku?”

“Aku ingin membantumu.”

“Uruslah urusanmu sendiri.”

        Aku mulai memperlambat langkahku, rasanya sungguh lelah. Aku kehilangan jejak Marshie lagi. Kemana dia?

“Tadi aku bertemu ayahmu di jalan. Dia menyuruhku untuk menemanimu.”

“Ayahku?”

        Oh, iya kemana papa? Kenapa papa tidak membantuku mencari Marshie. Ah, handphoneku tertinggal di mobil.

“Iya, dia buru-buru sekali pergi setelah mendapat telepon.”

“Pasti dari kantor. Ah, menyebalkan sekali. Teganya dia membatalkan janji denganku.”

“Tenang saja, aku akan menggantikannya untukmu.”

        Aku berdecak, menatapnya dari sudut mataku. Mungkin aku sedikit keterlaluan sedari tadi terus mengabaikannya. Hanya gara-gara kejadian kemarin? Kurasa tidak lagi. Aku begitu merasa khawatir dengan Marshie dan kehadiran pria ini membuatku tidak bisa berkonsentrasi.

“Lihat, kita sudah hampir mencapai ujung pemakaman.”

        Cahaya terang mulai muncul dari ujung jalan. Begitu juga wajah Arthur yang terlihat berseri, dia senang sekali sepertinya keluar dari sini. Akhirnya kami keluar dari area pemakaman, tapi Marshie masih belum ditemukan. 

“Sebenarnya, dimana kau temukan kucing itu?”

“Di pinggir jalan.”

“Wajahnya sangat menyeramkan.”

“Apa maksudmu menyeramkan? Menurutku wajahnya sangat lucu.”

“Mungkin karena bulu hitam di bagian matanya itu, terlihat seperti kakek-kakek.”

        Seperti kakek-kakek? Apa maksudnya? Menggelikan sekali. Aku berusaha menahan tawa. Dasar, beraninya dia membandingkan kucingku dengan kakek-kakek yang wajahnya keriput.

“Huh, kau tertawa?”

“....”

“Ayo, kita istirahat dulu disini. Aku lelah sekali.”

         Aku masih tidak habis pikir, kenapa kata-kata Marshie seperti kakek-kakek terdengar begitu lucu. Ayolah, otak, kenapa selera humorku rendah sekali? 

“Kenapa kau terus tersenyum?”

“Aku tidak tahu.”

          Angin sejuk berhembus menusuk kulitku, membawa aroma tubuh Arthur kembali masuk ke tenggorokanku.

“Aku ingin bertanya satu hal. Darimana kau mendapat aroma itu?”

“Aroma apa?”

“Apel hijau. Minyak merk apa yang kau pakai?”

“Aku tidak pernah memakai minyak. Apel hijau apa yang kau maksud?”

“Aku selalu menciumnya, keluar dari tubuhmu.”

“Apa benar? Kenapa aku tidak mencium apa-apa?”

“Sudahlah, lupakan saja.”

        Sudah kuduga, tidak akan berguna bicara dengannya. Aku bingung harus mencari Marshie kemana. Apa aku biarkan saja, kurasa dia bisa pulang sendiri. Ini, kan wilayah tempat tinggalnya. Tidak, aku harus memastikan Marshie pulang dengan selamat ke rumah pemiliknya. Aku meluruskan kakiku yang mulai terasa pegal. Sepatuku sangat kotor. 

“Hmm, ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu. Tapi aku bingung harus memulainya dari mana. Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh. Mungkin dengan begitu tidak akan terjadi kesalahpahaman lagi.”

“Kesalahpahaman apa yang kau maksud?”

“Kita berbeda, itu sebabnya. Pasti banyak hal yang tidak kita pahami.”

“Tidak ada yang perlu dipahami, tak ada gunanya.”

        Keringat mulai keluar dari keningku. Aku mengibaskan tanganku berharap ada sedikit angin disini. Rasanya begitu panas.

“Apa yang kubilang tadi, seperti inilah yang kumaksud. Bicara denganmu tidak pernah sampai pada intinya.”

“Aku tidak mengerti apa maumu, Arthur. Perbedaan apa yang ingin kau satukan? Kita berbeda, aku tahu. Kau tidak harus tahu tentang kehidupanku.”

“Aku pikir aku memang bersalah sudah terlalu lancang padamu kemarin. Tapi rasanya aku tidak menyesal telah mengatakannya. Ternyata kau memang orang yang egois.”

“Terimakasih, aku cukup puas mendengarnya.”

        Aku bangkit dan kembali berjalan, terlalu lama berdiam disini hanya membuang waktuku saja. Sekarang Marshie menjadi sangat penting bagiku dari hal lain. Aku tidak ingin kehilangannya.

“Kukira kita bisa menjadi teman akrab. Kupikir karena kau berbeda dari kebanyakan orang disini kau bisa berbagi segalanya denganku. Apa kau mengerti maksudku? Kupikir karena kau tidak seperti kebanyakan wanita yang ada disini kita bisa saling mengerti satu sama lain. Sarah, aku bicara padamu. Apa kau dengar?!”

           Aku menghentikan langkahku. Barusan dia membentakku, tak pernah ada seorangpun yang melakukan itu padaku selama ini kecuali papa. Aku benar-benar tidak mengerti maksud dari perkataannya. Sebenarnya apa yang dia inginkan dariku? Aku tidak mengerti, tidak paham. Apa yang harus aku pahami darinya? Apa yang sedang dia bicarakan aku benar-benar tidak bisa menangkap isinya.

“Aku tidak mengerti, Arthur. Apa maumu? Katakan saja tanpa harus berbelit-belit.”

    Arthur menghembuskan nafas berat. Keningnya mengkerut. Dia mulai berjalan kearahku.

“Entahlah, Sarah. Aku lelah, aku akan pulang sekarang.”

       Arthur pergi meninggalkanku. Dari raut wajahnya dia terlihat kecewa. Arthur memang orang yang sulit dipahami. Sikapnya terkadang seperti anak kecil, apalagi saat ini. Aku hanya bingung harus melakukan apa. Pikiranku hanya tertuju pada satu hal, Marshie. Dan itu sebabnya aku tidak bisa berkonsentrasi pada hal lain termasuk Arthur. Mungkin tidak ada salahnya juga sejenak menyingkirkan kekhawatiranku pada Marshie dan lebih memahami pria itu. Sekarang dia semakin jauh berlalu dan mulai kusadari bahwa aku memang bersalah. Aku terlalu egois. Lihat, dia adalah satu-satunya orang yang menawari dirinya untuk menjadi temanku. Siapa lagi orang yang melakukan hal itu padaku? Tidak ada. Jadi jangan sampai aku kehilangan dirinya dan menyesali semua keegoisanku ini. Mungkin Arthur hanya ingin lebih dimengerti, meski setiap ucapannya begitu sulit dimengerti. Meski sulit menangkap setiap maksud dari ucapannya. Akulah yang seharusnya bersikap lebih terbuka.

“Arthur !”
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar