Bailoch
Chapter 2
Sarah || Arthur || Edrick || Others
Mystery || Romance
Pg 17
* * *
“Hei, tunggu aku.”
Seseorang yang kupanggil akhirnya menoleh. Aku setengah berlari agar bisa lebih cepat tiba pada orang yang kutuju. Sambil membawa sebuah jinjingan yang kugenggam erat, aku langsung menyodorkannya pada pria itu.
“Kenapa, Sarah?”
“Tolong berikan ini pada Mrs Rudolf. Maaf aku baru bisa mengembalikannya sekarang. Akhir-akhir ini aku agak sibuk.”
“Baiklah. Terimakasih.”
Pria itu memutar tubuhnya dan kembali berjalan. Bukankah terlihat sedikit aneh. Kenapa dia sangat cuek?
“Hei, Arthur. Kau baik-baik saja?”
Aku mengejarnya dan menyeimbangkan langkah kaki kami.
“Iya.”
“Kenapa sikapmu seperti itu?”
“Tidak apa-apa.”
“Kupikir kita teman. Kenapa sikapmu jadi sombong begini?”
“Bukankah aku yang seharusnya bicara begitu?”
“Apa?”
“Lupakan.”
Langkahku terhenti, sedangkan Arthur masih meneruskan langkahnya. Sepertinya dia sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Jika dalam kondisi seperti ini, apa yang harus aku lakukan? Mengejarnya atau membiarkannya? Dia terlihat seperti tidak ingin diganggu. Tapi membiarkannya pergi dalam keadaan seperti itu aku takut dia tidak akan pernah menoleh lagi kearahku. Ya, aku harus mengejarnya.
“Tunggu, Arthur. Apa kau sibuk?”
“Tidak. Kenapa?”
“Mampirlah ke apartemenku. Aku...”
“Hai !”
Dena tiba-tiba saja muncul merangkul pundakku, menghentikan ucapanku yang belum selesai. Dia menyikut pinggangku sambil tersenyum. Ah, kurasa ini kode. Dena pernah bilang dia ingin dikenalkan pada Arthur, karena dia sering melihat kami bicara dan terlihat dekat. Maksudnya mungkin karena Dena tidak pernah melihatku bicara pada orang lain selain dirinya. Sebenarnya, tidak sedekat yang dia kira. Hanya sesekali saja saling menyapa, kami tidak pernah bicara banyak.
“Um, Arthur. Ini Dena, temanku. Dia bilang dia ingin berkenalan denganmu.”
“Ah, hai aku Arthur.”
“Dena.”
Mereka berjabat tangan. Saling melempar senyum. Saling menatap. Dan aku berdiri diantara mereka berdua. Sepertinya, ada yang mulai jatuh cinta disini. Firasatku tidak enak. Ah, jangan berpikir seperti itu. Mereka berdua adalah temanku. Orang yang sangat berharga dalam hidupku. Jangan kacaukan hubungan ini hanya karena sebuah firasat. Mungkin aku hanya iri. Tidak, aku hanya sedikit merasa takut, jika mereka berdua semakin dekat, perlahan aku akan mulai dilupakan. Semoga itu tidak terjadi.
“Jadi kau anak baru di kelas sebelah itu, ya?”
“Hmm, sepertinya sekarang tidak perlu disebut anak baru lagi.”
“Hahaha, meskipun kau sudah lama berada disini tapi karena kau murid pindahan itu namanya tetap anak baru.”
Aku tidak percaya, mereka langsung terlihat akrab. Mungkin karena Dena adalah orang yang menyenangkan dan asyik. Dia selalu membawa aura positif dimanapun, pada siapapun. Ini baru beberapa menit setelah mereka berkenalan, dan aku terlihat seperti patung.
“Ah, aku sekarang sedang bingung. Aku sebenarnya akan pergi ke apotek untuk beli obat, tapi ayahku bilang dia tidak jadi menjemputku karena tidak ada yang menemani ibuku. Dia sedang sakit.”
“Oh, kalau begitu kau bisa pergi bersamaku.”
“Benarkah? Tapi jika kau tidak keberatan.”
“Tidak sama sekali.”
Hmm, Dena tidak memberitahuku soal itu, bahwa ibunya sedang sakit. Keberadaanku terlihat seperti kambing congek disini. Hanya memperhatikan mereka bicara. Pandangan mereka sama sekali tidak teralih padaku. Mereka bahkan pergi begitu saja tanpa menyapaku. Jadi, aku tidak dianggap, ya. Baiklah, tidak masalah. Aku baik-baik saja.
* * *
Sudah tiga hari papa tidak pulang ke apartemen. Aku mencoba menghubunginya tapi selalu dialihkan ke pesan suara. Papa benar-benar tidak ada kabar. Bagaimana keadaan paman, apa sakitnya sangat parah? Mungkin aku harus kesana, lagipula sudah lama aku tidak mengunjunginya. Tapi, bagaimana ya? Selalu ada rasa enggan untuk pergi ke rumahnya, terlebih setelah aku tahu bahwa pamanku ternyata orang yang licik.
Setelah tak ada Marshie, aku kembali pada kegiatanku sebelumnya. Lagipula memang tak ada yang bisa kulakukan. Menonton tv, menulis, berteriak tak jelas, semua sudah kulakukan. Monoton sekali hidupku.
Aku sedang bermalas-malasan di sofa sambil memakan sebungkus keripik kentang kesukaanku. Beberapa isi pesan suara dari papa hanya itu-itu saja.
Sarah, kau baik-baik saja, kan? Jangan lupa makan, ya. Jaga kesehatanmu.
Sarah, jangan tidur terlalu malam, nanti kau sakit.
Papa akan pulang secepatnya, papa janji sudah ada disana sebelum akhir pekan.
Sarah, papa menyayangimu.
Kenapa papa tidak menghubungiku sama sekali? Kenapa papa hanya meninggalkan pesan? Dan papa juga berbohong. Ini sudah lebih dari akhir pekan, tapi papa belum pulang juga. Sudah lebih dari satu minggu, dan aku sendirian. Papa juga tidak menyebutkan kapan dia akan pulang. Hidupku sangat membosankan. Papa, aku benar-benar sendirian.
Suara bel pintu mulai memasuki indra pendengaranku. Ah, pasti itu pizzaku. Tapi saat aku membuka pintu yang datang ternyata Arthur. Wajahnya bengkak, bibirnya berdarah. Bagian sekitar matanya membiru. Dia berdiri dengan lemas dan pakaian yang lusuh.
“A..Arthur. Ada apa denganmu?”
Arthur hanya tersenyum. Aku segera membawanya masuk.
“Apa yang terjadi denganmu?”
“Ah, entahlah. Seseorang tiba-tiba saja menghajarku.”
“Siapa?”
“Aku tidak mengenalnya. Setelah dia menghajarku dia langsung membawa Dena pergi.”
“Bodoh. Itu pasti pacarnya.”
“Oh, jadi Dena sudah punya pacar? Ah, kenapa dia tidak bilang.”
“Memangnya apa yang kalian lakukan?”
“Tidak ada. Semuanya baik-baik saja sebelum kubiarkan dia merangkul tanganku.”
Merangkul tangannya? Dena sudah seberani itu merangkul tangan seorang pria yang baru dikenalnya? Dan Arthur, dia mau saja tangannya dipegang-pegang. Ah, mereka sama saja.
“Ini !”
Aku menyerahkan kotak obat padanya. Kasihan juga, belum seberapa lama pergi dengan wanita dia sudah sial. Tapi melihatnya meringis terlihat lucu juga. Dia sama sekali tidak terlihat seperti seorang lelaki yang seharusnya jago berkelahi. Dasar lemah, payah.
“Tolong, bantu aku.”
“Tidak mau. Lakukan saja sendiri.”
Dia cemberut. Aku hanya memperhatikan bagaimana dia memakai cotton bud dan mengoleskan antiseptik pada lukanya. Padahal disitu ada cermin, tapi dia malah keliru mengoleskannya pada matanya. Beberapa kali dia meringis. Pasti matanya ikut perih sekarang. Apa-apaan dia? Apa dia sebodoh itu?
“Kau masih tidak mau membantuku, dan hanya tertawa seperti itu?”
“Kau tidak lihat, aku sedang sibuk.”
“Kau hanya duduk dari tadi.”
“Aku sedang menunggu seseorang.”
Kusenderkan kembali kepalaku di sofa sambil memejamkan mata, menunggu, ternyata cukup melelahkan.
“Oh. Biar kutebak, pasti pengantar pizza.”
Arthur masih terlihat sibuk sendiri. Aku tidak habis pikir dengannya. Dia bilang dia ingin hidup mandiri, tapi untuk menjaga dan merawat dirinya sendiri saja dia butuh bantuan orang lain. Hal seperti itu seharusnya mudah. Aku beberapa kali berdecak karena tak tahan melihatnya. Aku berusaha memejamkan mata tapi ini malah membuatku tidak nyaman.
“Sini, berikan plesternya. Kau membuatku gemas. Aku tidak percaya harus melakukan ini.”
Adegan paling aku benci dalam sebuah ftv di Indonesia ataupun film-film ternyata harus aku lakukan sendiri. Adegan paling basi yang mereka pikir manis. Saat si wanita mengobati luka si pria lalu si pria memperhatikan si wanita sampai terjadilah tatap-menatap diantara mereka, dilengkapi backsound romantis dan slow motion yang menjengkelkan. Uh, dan kenapa hal itu juga dia lakukan padaku. Apakah semua orang melakukan hal yang sama jika berada diposisi seperti kami sekarang?
“Apa?”
Arthur menggeleng, mukanya memerah. Matanya membulat saat aku tahu dia sedang memperhatikanku.
“Kau sedikit terlihat seperti ibuku.”
“Dan kau, seperti anakku, begitu? Kau pikir aku sudah tua?!”
“Bukan begitu. Hanya saja setiap sentuhanmu membuatku hangat. Seperti sentuhan ibuku.”
“Ada-ada saja kau.”
Setelah selesai, aku membereskan kotak obat dan menyimpannya kembali.
“Arthur, kenapa kau tidak pernah datang ke kelasku? Bahkan kau tidak terlalu banyak bicara padaku saat di sekolah. Berbeda saat sedang di rumahmu kemarin.”
“Um, aku tidak yakin harus mengatakan ini, tapi ada seseorang yang selalu memperhatikanmu. Jadi aku merasa tidak enak jika berada di dekatmu. Kelihatannya dia tertarik padamu.”
“Siapa?”
“....Edrick.”
Huh? Jadi, dia sungguh-sungguh rupanya. Ancaman itu bukan omong kosong.
“Apa dia pernah mengatakan sesuatu padamu tentangku?”
“Iya, dia pernah bilang kau manis, seperti lollipop.”
Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Tidak, baginya aku seperti ayam. Tidak kusangka Edrick melakukan hal itu. Kalau Arthur bilang Edrick selalu memperhatikanku, aku curiga dia juga tahu tempat tinggalku.
“Bagaimana kau bisa tahu apartemenku?”
“Tadi aku bertemu dengannya. Dia menolongku dan menyarankan agar aku minta bantuanmu. Lalu dia mengantarku kesini. Tapi setelah sampai di depan pintu dia malah pergi.”
Ternyata benar dugaanku. Aku bangkit menuju jendela, siapa tahu dia masih berkeliaran didekat sini. Apa yang dia rencanakan? Ini sudah semakin kacau. Aku benar-benar tidak percaya. Sejak kapan dia tahu apartemenku? Apa dia juga tahu kalau aku sendirian disini? Apa waktunya sudah dekat? Waktu kematianku.
Aku mulai cemas. Bagaimana ini, kalau dia sampai datang kesini?
“Arthur, maukah kau melindungiku?”
“Huh? Melindungimu dari apa?”
“A...Aku takut. Papaku pergi ke rumah pamanku. Minggu ini dia benar-benar tidak pulang dan aku tidak tahu sampai kapan. Jadi, tolonglah temani aku disini. Bukankah kau temanku?”
“Um... Bagaimana mungkin aku tinggal disini.”
Arthur menggaruk kepalanya. Dia terlihat bingung, juga terlihat sedang memikirkan jawaban. Dari gerakan bola matanya kurasa akan keluar jawaban penolakan. Aku tidak mengharapkan itu. Maksudku, pada siapa lagi aku meminta pertolongan. Aku dalam bahaya. Peristiwa mengerikan itu akan terulang lagi. Aku tidak mau itu terjadi untuk yang kedua kalinya, aku sama sekali tidak menyiapkan diri untuk hal semacam ini. Bagaimana aku bisa melindungi diriku sendiri? Aku takut.
Jantungku mulai berpacu dengan cepat. Kalau Edrick melihat Arthur keluar dari sini, tamat sudah riwayatku. Dia akan datang kesini dan langsung menyerangku. Aku berlari menuju telepon untuk menghubungi papa. Lagi-lagi dialihkan ke pesan suara. Setidaknya pasti papa mendengarnya. Aku meminta papa pulang saat ini juga, sebelum malam. Aku harap papa benar-benar pulang.
Tanganku gemetar, tubuhku lemas. Aku tidak sanggup berdiri sampai Arthur menghampiriku dan menanyakan keadaanku. Haruskah aku menceritakan semuanya pada Arthur? Bisakah dia kupercaya? Bukan, tapi akankah dia mempercayai ceritaku? Ah, pasti dia akan menganggapku gila. Tubuhku rasanya kaku, tidak bisa digerakkan. Kulitku mati rasa. Bisakah aku mengakhiri semua ini sebelum memulainya? Rasanya terlalu berat. Aku juga tidak seharusnya menyeret seseorang pada masalahku. Bagaimanapun aku harus menghadapinya sendirian. Aku tidak boleh lemah. Reaksi tubuhku benar-benar tak bisa kukendalikan.
“Ada apa denganmu, Sarah? Kau sakit? Kau berkeringat, tapi tanganmu dingin sekali.”
Aku menggeleng. Tak lama aku mulai menemukan titik terang. Arthur pasti tahu banyak tentang Mr Rudolf. Aku harus menemukan cara untuk menghentikan Edrick dari situ. Mr Rudolf pasti punya catatan tentang eksperimennya. Aku harus menemukan itu, disanalah kuncinya. Bailoch. Aku harus kembali kesana.
“Arthur, kumohon jangan pergi.”
“Tidak, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan menemanimu disini. Tenang saja, Sarah.”
Aku berbaring di tempat tidur. Arthur membawakan segelas air putih. Sekarang aku merasa lebih baik. Mungkin tadi aku hanya syok. Semakin malam dan semakin gelap. Papa benar-benar tidak pulang. Tapi untungnya Arthur ada disini.
“Arthur, katakanlah. Apa saja yang kau ketahui tentang Mr Rudolf?”
“Tentu saja dia pamanku. Dia orang yang baik dan seorang pekerja keras.”
“Aku ingin kau menceritakan semuanya.”
“Huh, kenapa kau begitu ingin tahu tentang pamanku?”
“Katakanlah, Arthur. Katakan semuanya. Termasuk tentang eksperimen bodohnya itu !”
“D...Darimana kau bisa tahu tentang hal itu?”
“Dia orang yang jahat, Arthur. Dia jahat padaku. Dia pernah mencoba membunuhku. Dan kau masih berpikir bahwa dia orang yang baik?!”
“A..Apa? Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Jangan berpura-pura bodoh dihadapanku, Arthur. Aku tahu kau tahu sesuatu.”
Arthur tertunduk. Dia diam saja. Pasti benar-benar ada yang sedang dia sembunyikan. Lalu Arthur keluar dari kamarku tanpa meninggalkan jawaban.
Aku terbangun setelah merasa tersilaukan oleh cahaya yang masuk dari jendelaku. Aku membuka pintu kamar dan kulihat Arthur sedang tertidur di sofa. Aku mendekatinya, menatapnya yang kini terlihat tidak sepolos seperti sebelumnya. Sikapnya membingungkanku. Ada sesuatu di dalam dirinya yang berlawanan dengan sikap yang selalu dia tunjukkan padaku, sepertinya. Dan aku tahu dia pasti merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan Mr Rudolf. Mana mungkin dia tidak mengetahui tentang hal itu. Mustahil.
“Ah, Sarah. Kau sudah bangun?”
Arthur langsung beringsut. Dia mengucek
matanya dan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Arthur, mulai sekarang, kau tidak harus berpura-pura lagi. Bersikaplah seperti yang biasa kau lakukan.”
Kedua tangannya langsung terhenti. Kepalanya tertunduk, sedetik kemudian Arthur mengangkat kepalanya kembali dengan raut wajah yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya. Ekspresi yang tegas muncul dari kedua matanya.
“.....Baiklah.”
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar