Title: BAILOCH
Cast: Edrick || Sarah a.k.a aku || and other support cast
Genre: Mistery, romance, school life
Enjoy!!
....
Hari libur telah berakhir, seperti biasa aku melakukan aktivitas pagi hariku. Mandi, sarapan, dan berangkat sekolah. Setiap kejadian aneh yang terjadi di rumah ini akan aku rahasiakan dari papa sampai aku menunjukkan semua buktinya, agar dia bisa mempercayaiku, agar dia tidak menganggapku pembohong.
Setiap hari kami hanya membicarakan hal-hal yang sepele saja. Seperti kegiatanku di sekolah, kabar sapi-sapi Mr Rudolf dan aku rasa selain itu tidak ada lagi. Aku benci ketika papa tidak mempedulikan kejadian yang aku ceritakan tentang rumah ini dan hanya sibuk dengan miniatur proyek lapangan golfnya. Beberapa hari menjelang masuk sekolah papa pernah mengajakku pergi ke tempat dia berkerja. Sebuah tempat bermain golf yang ditujukan bagi orang-orang berkantung tebal. Tempatnya memang sangat nyaman, luas dan sejuk. Namun, masih jauh dari kata selesai. Di sana papa juga mengajariku bermain golf, tapi aku sama sekali tidak tertarik. Aku hanya menyukai bagian saat mengendarai mobil golfnya. Jika dipikir-pikir memangnya siapa yang akan bermain golf di tempat seperti ini? Tidak ada internet, akses angkutan umum, apalagi pengantar koran. Hari-hari disini sangat membosankan. Anak seusiaku semua pindah dan tinggal di kota, mereka hidup lebih baik dan nyaman disana. Pantas saja jika mereka mengataiku anak desa.
Setiap hari kami hanya membicarakan hal-hal yang sepele saja. Seperti kegiatanku di sekolah, kabar sapi-sapi Mr Rudolf dan aku rasa selain itu tidak ada lagi. Aku benci ketika papa tidak mempedulikan kejadian yang aku ceritakan tentang rumah ini dan hanya sibuk dengan miniatur proyek lapangan golfnya. Beberapa hari menjelang masuk sekolah papa pernah mengajakku pergi ke tempat dia berkerja. Sebuah tempat bermain golf yang ditujukan bagi orang-orang berkantung tebal. Tempatnya memang sangat nyaman, luas dan sejuk. Namun, masih jauh dari kata selesai. Di sana papa juga mengajariku bermain golf, tapi aku sama sekali tidak tertarik. Aku hanya menyukai bagian saat mengendarai mobil golfnya. Jika dipikir-pikir memangnya siapa yang akan bermain golf di tempat seperti ini? Tidak ada internet, akses angkutan umum, apalagi pengantar koran. Hari-hari disini sangat membosankan. Anak seusiaku semua pindah dan tinggal di kota, mereka hidup lebih baik dan nyaman disana. Pantas saja jika mereka mengataiku anak desa.
“Aku bosan.”
“Kenapa? bukankah kau suka tempat seperti ini?”
“Yang benar saja. Tempat ini terlihat mewah tapi internet saja tidak ada.”
“Siapa bilang, internet akan segera terpasang dengan akes yang cepat.”
“Kenapa tidak memasangnya juga di rumah kita?”
“Itu bukan rumah kita, Sarah. Kita hanya tinggal sementara disana. Kau harus bersabar.”
* * *
* * *
Setibanya di sekolah aku sadar, aku akan bertemu Edrick di kelas. Aku tidak boleh bersikap aneh, semuanya akan aku rahasiakan. Aku tidak akan bicara padanya, mendekatinya, ataupun tersenyum padanya seperti yang selama ini aku lakukan. Aku berjalan di sepanjang koridor menuju ke kelas. Saat aku masuk, dia tengah duduk di bangkunya dan tertawa bersama teman-temannya, dia bersikap seperti biasa seolah tidak pernah terjadi sesuatu malam itu. Aku melihatnya begitu santai tanpa terlihat menyembunyikan apa-apa. Aku langsung mengalihkan pandanganku ketika dia tahu bahwa aku sedang memperhatikannya. Tidak, aku tidak boleh menatap wajahnya lagi atau aku akan selalu terbayang pada makhluk mengerikan itu.
Salah satu teman sekelasku, Beau menghampiriku. Dia adalah salah satu anak populer di sekolah ini. Wajar saja, dia adalah anak orang kaya, semua orang kaya memang sombong dan selalu bersikap seenaknya. Dia menyodorkan sebuah kertas, sepertinya sebuah kartu pesta ulang tahun.
“Sebenarnya aku tidak bermaksud mengundangmu, tapi aku merasa tidak enak karena semuanya aku undang. Ini, terserah padamu mau datang atau tidak. Pakailah baju yang bagus. Hmm dan aku tidak menerima hadiah.”
Benar, ini sebuah kartu undangan. Aku menerimanya meskipun tidak berniat untuk datang. Dia tinggal di pinggir kota yang jaraknya sangat jauh dengan rumahku. Pasti papa tidak mengizinkanku untuk pergi.
Edrick berjalan disampingku dan aku merasakan hawa yang sangat dingin. Aku jadi merinding. Kali ini aku merasa tidak nyaman berada di kelas. Aku bisa bertahan dengan bullyan teman-temanku tapi kali ini berbeda, aku merasa takut. Aku memberanikan diri melirik kearahnya tanpa memutar kepalaku, sedari tadi aku merasa terus diawasi oleh mata merah itu. Padahal saat aku benar-benar menoleh kearahnya, dia tidak melihatku sama sekali. Aku terlalu berlebihan.
* * *
* * *
Setelah turun dari tempat pemberhentian bus aku berjalan dengan malas. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, sebenarnya apa yang Mr Rudolf maksud saat itu. Kematian Max masih menjadi misteri, aku bahkan tidak diperbolehkan lagi datang ke rumahnya. Setiap aku pergi ke sana dari jauh Mr Rudolf mengibaskan tangannya dan berteriak agar aku pulang. Ini keanehan kesekian yang aku rasakan. Bahkan waktu itu jelas sekali aku sedang menghubungi papa dan Mr Rudolf bicara padanya tapi papa mengaku tidak menerima panggilan. Waktu itu papa pulang cepat karena akan ada badai, bukan karena telepon dari Mr Rudolf. Kalau itu alasan Mr Rudolf mengusirku waktu itu, kenapa sampai sekarang dia tidak menerima kedatanganku? Sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan, tapi sesuatu yang dia anggap berbahaya itu buktinya tidak terjadi apa-apa sampai sekarang.
Aku sedang berjalan-jalan sendirian di pinggir jalan tanpa ada tujuan akan kemana. Dari kejauhan aku hanya melihat hamparan padang rumput yang luas dengan sapi dan domba-domba yang tengah asyik makan di atasnya. Matahari akan segera terbenam. Cahaya kuning keemasannya sangat indah dan menakjubkan tapi aku harus segera kembali sebelum malam. Namun, saat aku memutar tubuhku tiba-tiba saja Edrick muncul di belakangku, membuatku terkejut dan bingung kenapa dia ada disini. Dia tersenyum padaku, manis sekali. Tentu, ini Edrick dengan sosok manusianya, bukan sebagai makhluk menakutkan itu. Lalu dia menyapaku.
“Hai.”
“Edrick, apa yang kau lakukan disini?”
“Aku hanya berjalan-jalan saja. Kau pasti terkejut karena aku muncul tiba-tiba dihadapanmu.”
“Iya.”
“Rumahku di sebelah sana.”
Dia menunjuk ke suatu arah yang dia maksud dengan jari telunjuknya dan aku hanya tersenyum. Aku menyembunyikan keherananku dengan senyuman karena sebenarnya aku tidak melihat apa-apa. Tidak ada sebuah rumah atau apapun. Dia berdiri di depanku dengan mengenakan kemeja putih yang di balut dengan tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu. Gaya rambutnya tetap tidak berubah, berponi menutupi seluruh keningnya dan mengkilap seperti diolesi minyak rambut. Dan dia juga wangi. Aku sebenarnya masih merasa bingung, benarkah dia adalah makhluk itu? Rasanya seperti antara mimpi dan nyata, aku tidak bisa memastikan apapun. Aku memegang pundaknya dan dia melihat tanganku dengan heran. Hangat. Saat aku bertemu dengan makhluk itu aku yakin dia adalah Edrick. Tapi saat aku melihat sosok Edrick aku tidak percaya bahwa dia adalah makhluk yang menyeramkan. Jika dia dan makhluk itu adalah dua orang yang berbeda, aku harap semoga begitu.
“Kau mau pergi denganku?”
“Huh, kemana?”
“Ke pesta Beau.”
“Huh, apa ini nyata?”
“Ada apa?”
“Kau hampir tidak pernah bicara denganku selama satu semester ini, dan tiba-tiba kau muncul dihadapanku dan mengajakku pergi?”
“Memangnya kenapa?”
“Aneh.”
Dia terlihat agak berbeda kali ini, bersikap baik padaku. Padahal dia adalah salah satu dari sekian banyak orang yang membullyku di sekolah. Aku jadi curiga.
“Katakanlah maksudmu yang sebenarnya. Tipuan macam apa ini?”
”Tidak, tidak ada. Aku hanya ingin mengajakmu pergi, itu saja. Hmm, lalu bagaimana?”
Sepertinya dia tidak sedang bercanda kali ini. Sebenarnya aku ingin pergi tapi aku takut papa marah saat aku pulang.
“Entahlah, papaku belum memberiku izin. Dia akan pulang malam, pasti saat itu pesta sudah berakhir.”
“Kalau begitu kita harus pergi sekarang dan kembali sebelum ayahmu pulang.”
Benar juga, itu ide yang bagus. Kapan lagi aku bisa pergi ke luar bersama orang ini. Aku tersenyum dan mengangguk tanda setuju. Kami berjalan menuju rumahku, aku segera masuk ke dalam kamar dan menyiapkan semuanya. Aku akan pergi bersama Edrick, aku tidak percaya. Ternyata dia baik sekali, sopan, dan manis.
Setelah aku siap dengan penampilanku, aku menemuinya di depan gerbang. Dia memilih untuk menunggu di luar daripada masuk ke dalam. Aku merasa tidak enak karena telah membuatnya menunggu lama. Sepanjang jalan kami banyak membicarakan sesuatu tentang ini dan itu. Dia telah membuatku banyak tersenyum dan tertawa hari ini. Sungguh aku tidak merasa letih sama sekali padahal aku tahu bahwa jarak dari rumahku ke tempat kami mencari taksi sangat jauh. Kira-kira 3,6 km. Aku berharap bisa selalu sedekat ini dengannya.
Kami melaju dengan sebuah taxi dan berhenti di depan sebuah gedung besar. Di depan bangunan itu terhampar sebuah karpet merah dan dekorasi berwarna-warni dari bunga dan balon. Wah, mewah sekali. Di atas pintu masuk ada sebuah ucapan ‘Selamat Ulang Tahun Beau’ yang berkelap-kelip. Orang ini ternyata benar-benar kaya. Aku dan Edrick kemudian turun dari taxi dan berjalan masuk. Tapi aku tidak sadar bahwa ternyata aku berjalan sendirian dan Edrick hanya berdiri disana, lalu aku menghampirinya,
“Kenapa kau diam saja?”
“Aku ada urusan mendadak.”
Lalu dia berlari dengan cepat dan meninggalkanku. Aneh sekali, ada apa dengannya? Dia mengajakku kesini lalu tiba-tiba meninggalkanku begitu saja. Aku merasa ditipu. Aku kira dia benar-benar baik padaku, ternyata ini adalah salah satu tipuannya. Menyebalkan sekali. Aku benci padanya. Aku merasa sia-sia sudah datang jauh-jauh kalau tidak menikmati pesta mewah ini. Lalu aku masuk ke dalam dan bergabung bersama mereka. Sebenarnya aku sedikit tidak nyaman dengan keadaan ini, karena aku masih tabu dengan hal semacam ini. Seperti keluar malam, berpesta, dan pergi tanpa pamit. Di dalam keramaian inipun aku tetap saja sendiri, tidak ada yang mengajakku bergabung. Ya, memang sedih sekali. Ketika aku mengambil minuman di meja, baunya sangat tidak enak, minuman apa ini? Aku menaruhnya kembali. Lalu ada seseorang yang datang di sampingku, Tryton, yang akan mengambil minuman juga. Dia menyapaku.
“Hei, Yellow. Wah ternyata kau datang juga. Di desamu pasti tidak ada hiburan, ya?”
Dia tersenyum sinis padaku. Berjalan sempoyongan dan meminum apa saja yang ada di depannya, menjijikan. Beginikah gaya hidup orang kota? Aku lebih bangga menjadi orang desa. Lalu dia kehilangan keseimbangannya dan terjatuh di atas meja, diatas tumpukan gelas-gelas dan menumpahkan semuanya.
“Hei, jangan mendorongku !”
Seketika semua orang menatapku. Aku heran, kenapa? Aku tidak melakukan apa-apa. Tapi, ya seperti yang aku duga, aku yang dapat masalah. Semua orang menyalahkanku atas kejadian ini. Padahal aku sama sekali tidak menyentuhnya. Aku tidak tahan lagi dengan semua ini, lalu aku berlari keluar gedung. Aku menyesal telah datang kesini. Aku sangat bodoh telah mempercayai semua perkataan Edrick.
Aku terus berlari dan menangis sepanjang jalan. Aku tidak peduli dengan apa yang ada di hadapanku saat ini, entah itu batu, kotoran sapi, aku tidak mempedulikannya. Setibanya aku di dekat rumah, ada dua mobil polisi disana, sebuah ambulance, juga Mr dan Mrs Rudolf. Aku panik, segera aku berlari mendekat. Apa yang terjadi dengan papa? Aku melihat papa tengah di dorong ke dalam mobil ambulance. Aku menangis dengan pilu dan berlari menghampirinya, tapi Mrs Rudolf mencegahku. Dia mengusap pundakku. Aku memeluknya dengan erat dan terus menangis. Mr Rudolf sedang berbicara dengan polisi. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Aku berlari ke dalam, menerobos garis polisi dan mencari tahu ada apa dengan rumah ini. Disana ada seorang polisi yang mencegahku tapi aku bersikeras untuk melihat. Di lantai dapur ada sebuah pisau yang berlumur darah, meski hanya sedikit tapi itu pasti darah papa. Aku terus di paksa untuk keluar oleh polisi, katanya keberadaanku akan menghambat olah TKP. Akhirnya aku mengalah dan pergi keluar. Mr Rudolf masih disana, berdiri sambil berbicara dengan polisi. Aku mendekatinya, samar-samar aku mendengar Mr Rudolf bicara tentang suatu makhluk mengerikan keluar dari rumah ini.
“Makhluk itu sebesar manusia, hitam, bertaring, dan matanya menyala. Dia terbang dari arah sana.”
Mendengar hal itu aku teringat sesuatu. Pasti makhluk yang sama yang pernah aku temui. Mr Rudolf berpaling ke arahku dan aku berlari secepatnya. Dia mengejarku sambil terus berteriak, tapi aku tidak mempedulikannya dan terus berlari secepat yang aku bisa. Beberapa polisi berusaha mengejarku tapi aku tahu mereka tidak berhasil. Sekarang tujuanku adalah pergi ke tempat itu. Suatu tempat yang pernah Edrick tunjukkan padaku. Meski aku tidak melihat apapun yang berdiri disana, tapi aku akan berusaha mencarinya. Aku tahu dialah penyebab semua ini. Dialah yang menjebakku untuk menghadiri pesta lalu pergi menyerang papa. Semakin lama aku berlari, aku merasa semakin lelah. Semakin jauh aku berlari, jalan semakin gelap. Aku tetap tidak menemukan sebuah rumah. Kini jebakan apa lagi yang dia rencanakan. Tidak ada gunanya lagi aku menangis. Aku berharap papa baik-baik saja. Saat papa sadar aku akan menunjukkan wajah makhluk yang telah melukainya agar dia bisa membalaskan dendamnya.
Aku tidak peduli jika sekarang ini aku tersesat. Jika semalaman aku harus mencari makhluk itu aku tidak apa-apa. Demi papa, demi membuktikan semuanya bahwa selama ini aku memang benar. Saat aku sadar, kini aku telah berada di sebuah pemakaman. Tidak, aku tidak boleh takut. Sekarang aku benar-benar yakin bahwa Edrick adalah makhluk itu, mungkin saja tempat yang dia tunjukkan waktu itu adalah pemakaman ini bukan rumahnya, dia menjebakku lagi. Aku berjalan lebih jauh, menyusuri setiap makam yang berjejer di tempat ini. Di samping, depan, belakang, semuanya berisi mayat orang-orang asing dengan nama yang aneh. Aku tidak menemukan apapun. Tentu saja, karena aku tidak memanggilnya.
“Hei, makhluk jelek, keluarlah. Aku akan membunuhmu !”
Hening, tidak ada jawaban. Satu-satunya suara yang ingin aku dengar hanyalah makhluk itu. Tapi telingaku mendengar berbagai macam suara mengerikan, burung hantu, kelelawar, tikus, semua itu aku membencinya. Aku tidak boleh takut, tidak boleh.
“Keluarlah, pengecut ! Apa kau takut padaku?...
...Kau bilang kau bisa mencium bau darahku. Lalu kenapa kau masih sembunyi?”
Tidak ada gunanya aku memanggil. Dia tidak ada disini. Aku telah sampai diujung pemakaman dan masih berjalan menyusuri jalan yang gelap ini. Di depanku, aku melihat cahaya yang terang sekali, semakin dekat cahaya itu semakin bertambah besar dan menyilaukan. Sepertinya sebuah mobil, ukurannya sebesar mobil pemadam kebakaran, dan terdengar suara beep-beep dari sesuatu diatas mobil itu. Semakin mobil itu mendekat, aku semakin tidak bisa melihat, terlalu silau. Mobil itu terus melaju meski aku berada di depannya dan malah semakin mempercepat lajunya. Tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang menarikku dari sana. Sesuatu yang tidak aku ketahui. Saat aku membuka mata, aku tengah melayang di udara. Dan saat aku melirik orang disampingku, itu adalah Edrick ! Aku berusaha melawan dan melepaskan tangannya dari tubuhku, menggelikan sekaligus mengerikan.
“Diamlah, bodoh. Apa kau mau jatuh?”
Apa? Dia kasar sekali. Aku tidak tahan lagi. Dia telah menyakiti papa dan sekarang akan dia bawa kemana aku. Mungkinkah ke sarangnya? Lalu menghisap darahku dan memakan dagingku. Silahkan saja, aku tidak peduli. Jantungku berdebar, melihat pemandangan dari atas membuatku pusing. Dan lagi, lenganku semakin sakit oleh cengkramannya. Aku semakin lemas.
Dia menurunkanku di atas sebuah bangunan berlantai tiga, sepertinya ini sebuah rumah sakit atau semacamnya. Dia berjalan menjauhiku dan duduk disisi atap bangunan di tempat yang gelap.
“Ayahmu tidak apa-apa.”
Aku memandang ke arahnya. Perasaanku masih sangat marah, bagaimana mungkin dia bisa mengatakan bahwa papa baik-baik saja setelah dia membuatnya terluka? Sekarang aku malah tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Berada di tempat setinggi ini membuat perasaanku tidak nyaman, aku takut jatuh. Makhluk itu menghampiriku, menatapku dengan tajam dengan mata merah menyalanya. Kali ini rasa takutku melebihi kemarahanku.
“Kau, dalam bahaya.”
“Satu-satunya bahaya bagiku adalah kau.”
Ekspresinya sangat datar. Selain menyeringai kurasa dia tidak bisa tersenyum. Sosok menyeramkan seperti dia ini pasti akan terlihat lucu jika tersenyum. Ya, seandainya saja.
“Katakan, makhluk apa sebenarnya kau ini? Kau terbang tanpa sayap, gigimu seperti serigala, dan kau menghisap darah seperti vampire. Kau juga mengerikan seperti monster.”
Dia memutar tubuhnya membelakangiku, lalu berjalan ke tempat yang gelap dan duduk disana. Aku mengikutinya, mengharapkan jawaban atas pertanyaanku tadi dan duduk disampingnya.
“Aku manusia, tapi tidak sepertimu.”
Katanya lirih, dia menundukkan kepalanya, lalu mengangkatnya kembali dan menatap bintang-bintang.
“Jangan percaya pada pria tua itu. Kau tidak akan pernah tahu kapan kau mati.”
“Apa maksudmu?”
“Ada ular besar di bawah rumahmu. Ular peliharaannya.”
“Apa?”
“Meski aku menjelaskannya kau tidak akan percaya.”
Makhluk itu beranjak dari duduknya lalu terbang meninggalkanku.
“Hei, kenapa kau meninggalkanku disini?”
Aku berteriak sekeras mungkin, tapi dia tetap terbang dan semakin jauh. Aku merasa telah ditipu dua kali olehnya. Bodohnya, aku tidak pernah menduganya sama sekali. Sekarang aku tidak tahu bagaimana caranya untuk turun. Jika orang-orang dibawah tahu bahwa aku berada diatas gedung ini mereka pasti mengira aku akan bunuh diri. Jangankan untuk turun, melihat kebawah pun aku merasa pusing.
“Ikutlah denganku.”
Aku memutar tubuhku, makhluk itu telah berdiri di belakangku.
“Tidak, aku tidak mau pergi denganmu. Bagaimana bisa aku percaya padamu lagi setelah kau menipuku dan melukai papaku. Pergilah, aku tidak membutuhkanmu.”
Dia mengulurkan tangannya, kuku-kuku tajamnya telah menghilang, wujudnya telah berubah seperti manusia biasa. Dia menatapku, kali ini dengan mata birunya seperti berusaha meyakinkanku. Aku benci tatapan itu. Sore tadi aku telah terpedaya oleh tatapan manisnya yang membuatku percaya begitu saja.
“Peganglah tanganku, selama kau bersamaku kau akan aman.”
“Tidak. Justru karena bersamamu aku dalam bahaya. Kau tidak bisa menipuku lagi. Aku punya pikiran dan sadar untuk tidak jatuh lagi pada tipuanmu.”
“Percayalah padaku kali ini saja.”
Dia meyakinkanku lagi, membuatku ingin melakukannya, memegang tangannya dan pergi kemanapun yang dia tuju. Tapi aku tidak boleh bersikap bodoh, aku harus memastikan bahwa dia benar-benar berkata jujur.
Makhluk itu, tidak, maksudku Edrick, memegang tanganku. Terasa hangat di tengah malam yang dingin ini, menjalar ke seluruh tubuhku. Aku berusaha membuka mataku, aku ingin mengalahkan rasa takutku ini dan memandang semua keindahan di bawah sana. Ini benar-benar pengalaman yang luar biasa, aku belum pernah terbang tanpa pesawat atau alat terbang apapun sebelum ini. Aku merasa sedikit pusing, tapi karena Edrick memegang tanganku dengan erat aku tidak perlu khawatir.
“Kau pasti terbang menggunakaan pixy powder.”
Ledekku, tapi dia tidak menjawab, sama sekali tidak berkata apapun selama kami melayang di udara. Akhirnya setelah itu aku tidak berani berkata apa-apa lagi padanya, takut mengganggu konsentrasinya sehingga beresiko membuatku terjatuh dari keadaan setinggi ini. Saat aku mengamati keadaan sekitar, kulihat rumahku di lewatinya. Disana masih ada beberapa polisi yang masih menyelidiki kasus papa. Dan akhirnya kami turun di dekat rumah Mr Rudolf, lebih tepatnya di depan kandang sapi-sapinya. Edrick membuka kandang sapi itu, dan isinya kosong. Aku begitu terkejut ketika melihat semua sapi-sapi Mr Rudolf tidak ada. Kemana mereka?
“Ku kira masih tinggal satu.”
Edrick bicara sendiri, aku tidak mengerti apa yang dia maksud saat itu. Sapi-sapi kesayanganku menghilang. Lalu aku memasuki kandang itu dan melihat apakah telah terjadi sesuatu, tapi tidak ada bukti apapun. Satu-satunya perkiraanku mungkin Mr Rudolf telah menjualnya, tapi ternyata tidak setelah aku mengetahui bahwa Edricklah pelakunya.
“Apa kau telah membunuh mereka semua?”
Dia hanya terdiam, bagiku itu artinya iya.
“Kau tega sekali.”
Tiba-tiba ada sebuah senter menyala di belakang kami. Edrick terlihat ketakutan, dia mengerang, menyeringai memunculkan gigi taring dan mata merahnya. Cahaya itu berasal dari sebuah senter besar berwarna putih yang di bawa oleh Mr Rudolf, dia memergoki kami. Dia sangat terkejut ketika melihatku sedang bersama Edrick, lalu dia menyuruhku untuk pergi menjauh. Suaranya gemetar, matanya melotot ketakutan.
“Sarah, apa yang kau lakukan disini?”
“Mr Rudolf.”
“Astaga, kau,...”
......tbc
Hahaha, bingung? Bosen? Sama saya juga :D Gak menarik? Gak seru? Umm bisa tulis komentarnya. It's my first experience, tolong bantu kasih masukan ya. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar