Bailoch
Chapter 2
Sarah || Arthur || Edrick || Others
Mystery || Romance
Pg 17
Jadi, Edrick adalah anak angkat? Kurasa aku perlu meluruskan beberapa hal. Kupikir, Edrick tidaklah terbangun tepat disaat kedatanganku, tapi sepertinya jauh sebelum itu. Aku penasaran, kira-kira kalau bukan karena kedatanganku, lalu apa yang membuatnya bangun dari tidur panjangnya itu?
“Hei, kenapa kau melamun? Jangan bilang kau sedang memikirkan pria itu?” Stery mengibaskan tangannya di wajahku.
Meski tebakannya benar tapi tidak mungkin aku mengaku, tentu saja aku berdalih. Aku akan menyimpan beberapa pertanyaan ini untuk sementara. Sampai aku bisa menjawabnya sendiri.
“Ngomong-omong, aku masih penasaran, kenapa kau mengubah dirimu seperti ini?” Seperti yang lainnya, Stery begitu intens memandangi fisikku.
“Ah...Um..ini....” Aku menundukan kepala, bingung dengan jawaban yang harus kukatakan.
Mereka masih menatapku penuh rasa penasaran, ini membuat bulir-bulir keringat bermunculan di sekitar dahiku. Aku bingung, apa yang harus kukatakan pada mereka, mereka takkan mengerti, lagipula ini adalah sebuah rahasia. Ketika kuangkat kembali kepalaku dengan bibir yang sedikit terbuka untuk memberi mereka pengertian, aku melihat seseorang melintas di depan kami, aku langsung teringat sesuatu. Aku bangkit dari sana, meninggalkan mereka tanpa sebuah jawaban. Kudengar Dena memanggil namaku tapi tak kuhiraukan. Aku terus mengejar seorang yang berjalan dengan langkah panjang itu, yang membuatku setengah berlari untuk mengejarnya.
“Niel!” Orang yang kupanggil menoleh, beserta seorang yang kini melepaskan tangannya yang melingkar di bahu pria itu.
“Kau memanggilku?” Niel mengarahkan telunjuknya di depan wajah sambil memandangiku dengan heran.
Aku perlu bicara padanya, kurasa hanya berdua. Si pemabuk ini, maksudku Tryton, dia tidak perlu tahu urusanku. Aku membalas tatapan sinisnya, dia berdiri menyilangkan kaki sambil mengunyah sesuatu, permen karet. Ya, orang seperti Tryton tak harus tahu.
“Bisa kita bicara sebentar? Maksudku, hanya berdua saja.”
Niel dan Tryton bertatapan, Niel menarik sebelah ujung bibirnya yang membuat Tryton membuang muka, dia menatapku sekilas lalu akhirnya pergi dengan sebuah tepukan pelan dibahu pria itu. Aku agak sedikit canggung, karena selama ini aku tak pernah bicara banyak padanya. Tapi sekarang aku membutuhkan penjelasannya mengenai asal usul Edrcik yang katanya merupakan anak angkat dari ayah tirinya itu. Aku ingin tahu. Meski kelihatannya aneh, kuharap Niel bisa sedikit membantu.
Aku melihat keadaan sekitar, sepertinya tidak aman jika bicara disini. Aku butuh tempat yang tak ada seorangpun disana meski saat jam istirahat seperti sekarang ini. Perpustakaan di lorong paling ujung? Ah, percakapan kami akan terdengar sangat nyaring. Kira-kira dimana aku bisa mendapat tempat yang cocok untuk membicarakan masalah ini?
“Hei, kau mau bicara atau tidak? Kenapa diam saja?”
“Ah, iya. Um, sepertinya tidak disini.”
Aku tak bisa menemukan tempat yang tepat untuk membicarakannya, akhirnya aku mengajaknya ke kantin. Disini sangat ramai, kurasa tak akan ada orang yang peduli dengan pembicaraan kami. Aku dan Niel duduk berhadapan di bagian paling pojok yang baru saja ditinggal pergi oleh tiga perempuan pirang berkaki jenjang. Dari sebuah jendela disebelah kiriku ada sebuah lapangan bola, aku melirik kebawah yang sekarang tak ada seorangpun yang mengisi rumput hijau itu. Meski sedari tadi telah memikirkan apa hal yang harus kukatakan pertama kali, sayangnya tak ada yang kurasa pas untuk membuatnya tidak tersinggung pada ucapanku. Masalahnya ini menyangkut keluarganya, aku khawatir dia marah atau membentakku agar tidak ikut campur pada urusan keluarganya. Tapi ini harus kulakukan.
“Umm... Niel, tolong katakan padaku...siapa Edrick?”
Niel membuang muka sebelum akhirnya menghembuskan nafas dengan kasar yang membuat bibirnya melengkung kebawah. Dia menggeleng, lalu tertawa. Hubungan pertemanan tak perlu berlaku untuk hal semacam ini, bukan?
“Edrick, si parasit. Yang kutahu hanya itu.” Niel mendorong tubuhnya dan langsung berdiri.
“Tidak, tunggu. Kumohon, dia anak angkat ayahmu, ‘kan? Tolong katakanlah padaku kenapa itu bisa terjadi?” Aku menarik lengannya sebelum Niel benar-benar pergi tanpa meninggalkan sebuah informasi.
“Apa kau begitu tertarik padanya?”
“Ah..”
Tidak juga, aku hanya penasaran. Apapun pendapatnya, dan apapun yang dikatakan orang-orang bahwa aku menyukai Edrick, itu tidaklah benar. Perasaanku padanya sekarang telah berubah, aku yakin itu. Ini bukanlah perasaan suka. Bukan.
Niel membetulkan posisi kursinya dan duduk kembali. Dia meletakan kedua sikunya diatas meja lalu mengacak-acak rambutnya sendiri. Terlihat frustasi. Niel akhirnya mau menjawab pertanyaanku meski dengan sangat terbatas.
Pagi itu jalanan masih diselubungi kabut tebal, sebuah mobil melaju cukup kencang di jalanan pedesaan yang lengang. Jalan yang berkelok dengan tekstur yang tidak rata membuat si pengemudi agak sulit untuk menyesuaikan laju mobilnya. Samar-samar dari balutan kabut di tengah jalan, sesuatu melesat di depan kaca mobilnya hingga menimbulkan suara gebrakan yang membuat mobil itu oleng dan kehilangan kendali. Mobil itu tergelincir membentur sebuah pohon, bagian kapnya terbuka dan mengeluarkan asap. Seseorang di balik kemudi keluar dengan sedikit memar di pelipisnya. Pria gemuk itu terbatuk sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya, mengusir asap-asap yang memasuki lubang pernapasannya. Pria itu terbelalak begitu mendapati seorang pemuda tergeletak di tengah jalan dengan kepala yang berdarah.
Niel bilang, ayah tirinya tiba-tiba saja membawa seorang pemuda kumal dan kurus ke rumah, kira-kira dipertengahan bulan Agustus tahun lalu saat ayahnya mengatakan bahwa hari itu ada sebuah rapat penting hingga membuatnya begitu terburu-buru sampai melupakan makan paginya. Setelah keluar dari rumah sakit, Niel mengira bahwa kepala pemuda itu pasti gegar otak, karena terlihat linglung dan kaku begitu memasuki rumahnya. Pemuda itu terlihat lemah dan sangat tertutup, dia tak mau mengatakan dimana tempat tinggalnya atau siapa keluarganya sampai saat ini, padahal luka itu tidak membuatnya kehilangan ingatan. Akhirnya karena rasa bersalah atas insiden yang terjadi, Mr Walker memutuskan untuk menjadikannya bagian dari keluarga.
Niel menceritakan sebuah kejadian aneh yang belum pernah dia ceritakan pada siapapun, dia mengatakannya hanya padaku. Suatu malam, saat Niel keluar dari kamar mandi dan hendak kembali ke kamarnya, dia mendengar sebuah suara dari kamar pemuda itu, Edrick. Niel mendekat kearah daun pintu dan membukanya perlahan. Di dalam ruangan itu, dia mendengar suara seperti orang yang tengah mengunyah sesuatu, renyah dan lengket. Niel memasuki kamar itu, kasurnya kosong, jendelanya terbuka dan angin dari luar membelai tirai panjang dibaliknya. Niel melangkah lebih dekat, sampai suara aneh itu begitu jelas di telinganya. Dia menghentikan kakinya saat tampak seorang dengan wujud yang mengerikan tengah mencabik sesuatu dari balkon kamar itu. Niel bergidik, sebelum orang yang dilihatnya memergokinya, dengan cepat dia meninggalkan ruangan itu.
Suatu hari Niel merasa bahwa penampilan Edrick semakin aneh dan terlihat sangat lemah, kulitnya yang pucat selalu dibalut penuh oleh pakaian berlapis menutupi seluruh bagian tubuhnya. Beau, saudari tirinya juga membenarkan hal itu. Suatu malam Niel memasuki kamar Edrick dengan Beau yang tengah tertidur disamping tempat tidurnya, ada sebuah kompresan diatas dahi pemuda itu. Edrick berkeringat, bibirnya yang pucat bergetar sambil menggumam sesuatu.
“Nafasnya putus-putus dengan badan yang terus menggeliat kepanasan, aku mendengarnya menggumam yang terdengar seperti d.....arah.....d..arah... semacam itu. Beau mengira dia menyebut namamu, tapi aku yakin dia mengatakan darah, bukan Sarah.” Niel melipat kedua tangannya.
Niel bilang padaku bahwa sejak saat itu dia tak pernah lagi mengajak Edrick bicara. Ternyata dia juga tahu ada yang tidak biasa dengan Edrick, hanya saja Niel dengan sangat santai mampu menutupinya. Dari cerita Niel, aku semakin yakin bahwa Edrick tidaklah berbahaya seperti sangkaan kakek dan papa. Dia tidak menghisap darah manusia lain selain darahku. Buktinya keluarga Walker tetap aman sampai sekarang. Uh, beruntungnya mereka.
“Kurasa sudah cukup.” Niel beringsut.
* * *
Aku mendapat sebuah catatan kecil di bawah mejaku, isinya memintaku untuk pergi ke perpustakaan. Sepertinya aku harus mengorbankan waktu berkumpulku bersama yang lain kali ini. Aku langsung pergi ke perpustakaan selepas bel berbunyi, padahal jam-jam sepulang sekolah perpustakaan selalu ramai. Aku agak malas. Kalau aku tidak tahu siapa orang yang akan aku temui bagaimana mungkin aku bisa menemukannya? Kurasa aku hanya harus menunggu saja. Aku tidak peduli orang itu bisa menemukanku atau tidak. Ini tempat favoritku, lebih tepatnya hanya disinilah sisi paling sepi. Semua orang datang kesini untuk belajar, hanya lorong inilah yang tidak pernah dikunjungi. Kenapa aku jadi grogi begini? Apa karena ini pertama kalinya aku mendapat sebuah pesan rahasia? Haha, menggelikan.
“Sudah kuduga, pasti kau disini.” Pria itu melangkah kearahku. Ah, tatapannya selalu seperti itu, aku benci.
“Kenapa begitu terkejut?...
...Tidak perlu takut, aku hanya ingin bicara padamu. Kau tidak perlu berpikir yang tidak-tidak.”
“Cepatlah katakan ! Aku tidak punya banyak waktu.”
“Kenapa begitu terburu-buru, santailah. Aku tidak akan melukaimu. Kau bisa lihat, aku seorang manusia biasa.” Edrick menjauhkan kedua lengan dari tubuhnya.
Edrick mendekatiku, sudah kuduga dia akan melakukan ini, mengendus-endus tubuhku seperti seekor binatang. Aku hanya bisa menyernyit karena tak mampu melihat perbuatan bodohnya itu.
“Dirimu sudah berubah, termasuk juga baumu.” Dia menghembuskan nafas panjang sampai mengibas rambut sekitar leherku.
“Hentikan !” Aku mendorong tubuhnya menjauh.
“Apa yang telah mereka lakukan padamu?”
“Tentu saja, membuatmu berhenti menggangguku.”
“Huh, bodoh !...” Satu lengkungan tipis tersirat diujung bibirnya.
“...Kau mempercayai hal itu? Kau tidak tahu, mereka hanya membuatmu jadi lebih dekat dengan kematian.”
“A..Apa maksudmu?”
“Jadi kau benar-benar bodoh, ya? Lihat dirimu sekarang, bercerminlah ! Apa kau tidak sadar bahwa setiap hari kau terlihat semakin lain?”
Aku terdiam. Apa maksud orang ini sebenarnya? Kenapa dia bilang seperti itu? Aku tidak mengerti. Dan lagi, dia tersenyum. Lagi-lagi aku dihadapkan pada persoalan seperti ini, siapa orang yang sebenarnya berniat menolongku.
“Omong kosong ! Kau hanya takut kehilangan mangsamu, bukan?”
“Ct, aku hanya memberi tahumu, kau tidak seharusnya percaya pada si pak tua itu...
...Kau alergi bawang putih, kan? Selamat ! Saat ini benda itu tengah menggerogoti tubuhmu sendiri.”
A...Apa? Bagaimana mungkin? Kakek tidak mungkin melakukan itu padaku, dia keluargaku. Apa mungkin ada yang salah dengan cairan itu? Karena luka ini...
“Kenapa kau bisa bicara seperti itu?” Tanganku mengepal kuat, tak yakin bahwa ucapannya adalah hal yang benar.
“Kau bilang ‘kenapa’? Lihat, akulah bukti perbuatannya. Ingin bukti yang lain?” Edrick menarik tanganku dan melepas sarung tanganku dengan kasar, memperlihatkan bekas lukaku yang terlihat buruk.
“Apa kau tidak sadar kenapa luka ini tidak kunjung hilang?” Dia menghempaskan tanganku, lalu menarik tengkuk leherku dan menyibak rambutku.
“Dan ini...bukankah ini sakit?”
“Hentikan ! Bagaimana mungkin itu bisa terjadi !” Aku mendorongnya, yang benar saja, dia hampir mencekikku dengan kuku itu.
“Orang itu...dia hanya membodohimu !”
“Tidak mungkin ! Dia adalah kakekku !...”
Kenapa...kenapa Edrick berkata seperti itu? Bukankah yang kakek lakukan adalah untuk menyelamatkanku? Nafasku mulai sesak.
“...Kau sering mengancam untuk membunuhku, kau membuat hidupku dalam ketakutan. Lalu kenapa kau masih bisa bicara seperti itu?! Bukankah kau sendiri tahu, bahwa kau adalah orang yang jahat !”
“Apa semua yang kulakukan benar-benar jahat? Huh, berpikirlah kembali !” Edrick kemudian berlalu dengan meninggalkan senyuman tanpa arti dan ujung mata yang menyipit.
Aku mematung di tempat itu, dengan pikiran yang kacau terhadap masalah ini. Apa aku benar-benar bodoh sampai tidak bisa membedakan mana orang yang baik dan tidak?
* * *
“...Kau mempercayai hal itu? Kau tidak tahu, mereka hanya membuatmu jadi lebih dekat dengan kematian.”
“Jadi kau benar-benar bodoh, ya? Lihat dirimu sekarang, bercerminlah ! Apa kau tidak sadar bahwa setiap hari kau terlihat semakin lain?”
“Ct, aku hanya memberi tahumu, kau tidak seharusnya percaya pada si pak tua itu...
...Kau alergi bawang putih, kan? Selamat ! Saat ini benda itu tengah menggerogoti tubuhmu sendiri.”
“Apa kau tidak sadar kenapa luka ini tidak kunjung hilang?”
“Orang itu...dia hanya membodohimu !”
Sekali lagi aku memandangi tubuhku di depan cermin, seharusnya aku menyadari ini, kakek tak pernah kembali untuk melihat keadaanku yang kian hari semakin kacau. Dari semua ini yang kuharapkan adalah menghentikan ancaman Edrick, tapi yang kudapatkan malah lebih buruk. Berkali-kali aku berpikir bahwa apa yang dia lakukan selama ini tidaklah merugikanku. Apakah Edrick sejahat seperti yang aku pikirkan selama ini? Lalu kenapa dia terlihat begitu khawatir dengan keadaanku? Apa aku salah lagi?
Kondisiku kembali memburuk. Luka-luka ini menyiksaku dengan sangat. Panas, nyeri, rasanya seperti terbakar, bentuknya kemerahan dan menghitam. Badanku demam juga menggigil, ditambah lagi kepalaku tak hentinya berdenyut. Orang yang kuharapkan atas semua keadaan ini tidak pernah lagi datang. Dia menghilang. Aku benci ! Aku benci kakek !
Papa membawaku ke rumah Mrs Rudolf, kami harap dia bisa membantu. Disana aku hanya terbaring lemah menahan rasa sakit ini, kepalaku terus memutar-mutar ucapan Edrick bahwa kakek hanya membuatku lebih dekat dengan kematian. Aku akan mati. Mrs Rudolf sedang menyiapkan sesuatu, tak lama benda itu dia suntikkan kedalam tubuhku. Untuk beberapa saat aku merasa lebih tenang, sepertinya Mrs Rudolf hanya memberiku obat penenang. Selang beberapa waktu, rasa sakit ini muncul lagi dan semakin hebat. Papa terlihat begitu kebingungan, meskipun dia adalah anak seorang peneliti tapi darah dari seorang peneliti hebat seperti kakek tidak mengalir di tubuhnya sama sekali, tapi itu membuatku bersyukur. Setidaknya papa tidak melakukan eksperimen padaku seperti yang kakek lakukan padanya. Dulunya, Mrs Rudolf adalah asisten Dr, jadi sedikit banyak pasti dia tahu apa yang harus dia lakukan padaku disaat seperti ini. Tapi, kendalanya adalah, kurangnya ketersediaan obat-obatan seperti yang kami butuhkan saat ini. Obat itu sulit untuk didapat, dan itu pertanda buruk.
Hari itu juga, papa bilang akan pergi menjemput kakek. Mau tidak mau aku harus sabar menunggu, meskipun aku harus berkali-kali disuntik obat penenang sampai kakek datang kesini. Jadi sepertinya hanya kakeklah harapanku satu-satunya untuk bertahan hidup, tapi itu bukanlah sebuah kepastian, hasilnya mungkin saja akan lebih buruk.
Kami mulai kehabisan obat, inilah mimpi buruk kami. Menunggu kakek datang kesini membutuhkan waktu yang lama, sedangkan setiap sepuluh menit aku memerlukan obat itu. Tanpa pikir panjang, Mrs Rudolf pergi ke luar kota untuk mendapatkan obatnya. Akhirnya aku hanya tinggal disini bersama Arthur, dia yang akan menyuntikkan obat itu selagi Mrs Rudolf pergi, semoga persediaannya cukup sampai Mrs Rudolf kembali. Aku harus bertahan, bertahan. Mereka tidak akan pergi lama, mereka akan kembali secepatnya, dan aku tidak perlu memperhatikan jarum jam terus-menerus untuk menghitung waktu, itu hanya akan membuatnya semakin lama berputar. Arthur duduk disampingku terbaring sambil menggenggam tanganku, menenangkanku, dia mengajakku bicara agar aku teralih pada rasa sakit ini. Tapi aku tidak bisa, rasanya sungguh seperti berada diujung nafasku, aku sekarat. Keinginan untuk dapat melihat matahari terbit menjadi harapan yang sangat sulit. Deru nafasku sudah tak lagi beraturan, denyut nadiku kian melemah.
Aku bisa mendengar detak jantungku berdegup semakin keras, jika sebentar saja mataku tertutup Arthur dengan cepat membangunkanku, aku tidak boleh kehilangan kesadaran sampai mereka kembali, atau selamanya aku tidak akan terbangun. Jika aku mulai mengantuk, Arthur selalu terlihat mencari cara agar aku tertawa. Dia begitu berusaha sampai aku sudah tidak bisa tertawa lagi. Ketika rasa sakit ini muncul, semuanya berakhir.
Kulitku seperti mati rasa berkali-kali ditusuki jarum suntik, aku seperti pecandu obat-obatan. Untungnya tak terasa Mrs Rudolf telah kembali tepat disaat suntikan terakhir. Dia membawa banyak obat di tangannya, dia bilang itu akan digunakan setelah kakekku datang.
Tepat setelah kakek datang, ruangan ini terasa bergoncang. Diluar sepertinya sedang angin besar. Papa dan kakek melangkah dengan sangat cepat kearahku. Entah kenapa, sedikitpun aku tidak merasa bahagia dengan kehadirannya. Aku tidak yakin, apa dia akan menyembuhkanku atau malah membuatku terbunuh. Dia begitu terburu-buru menyiapkan alat-alat yang dia bawa. Mrs Rudolf ikut membantu. Arthur terlihat bicara serius dengan kakek, tapi suara mereka tak bisa terdengar olehku. Sepertinya Arthur bicara serius, tapi kakek dengan ekspresi tidak acuhnya tidak terlihat menanggapi ucapan Arthur. Kakek menyuruh Arthur untuk pergi, semburat raut kesal dan kecewa nampak diwajahnya. Arthur duduk bersama papa diluar ruang kaca ini, mereka sama-sama terdiam. Arthur menundukan kepala, sesekali pandangannya beredar keseluruh bagian ruangan ini, seperti memeriksa sesuatu. Sedangkan papa, terus memperhatikanku dari sana. Aku ingin menggenggam tangan papa, aku ingin papa disampingku, jika ini adalah saat terakhir aku ingin papalah orang terakhir yang aku lihat. Aku tidak yakin ini akan berhasil, sekali lagi aku tidak yakin. Aku mulai takut, apalagi begitu melihat wajah kakek yang kaku. Dia mulai berjalan kearahku dengan sebuah suntikan besar ditangannya. Suntikan lagi? Ayolah, kurasa sudah cukup. Ekspresi wajah kakek sangat menyeramkan, dia tersenyum, itulah yang kulihat untuk terakhir kalinya sebelum mataku terpejam. Aku tidak sanggup menatapnya. Tolong, selamatkan aku.
PRANGGG!!!
Seketika aku membuka mataku, seketika semua yang ada dihadapanku mulai kacau berantakan. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi. Sekelebat bayangan hitam melesat dan langsung menyerang kakek, kami panik, aku berteriak sekuatnya. Dibawah tempatku berbaring, kaca-kaca berserakan. Tidak ada tempat berpijak untuk lari dari sini. Makhluk itu terus berputar disekeliling kami dan beberapa kali menyerang kakek. Kakek tersungkur, lalu bangkit kembali. Dia mengambil apa saja yang ada dihadapannya untuk dilemparnya kearah makhluk itu.
“Sarah ! Sarah ! Cepat selamatkan Sarah !”
Mrs Rudolf berteriak keras. Aku menyaksikan makhluk itu terus menyerang kakek, begitu buas. Kuku-kuku jarinya yang panjang beberapa kali mencakar wajah kakek. Dia terlihat lemah. Beberapa bagian tubuhnya mulai memar dan berdarah. Makhluk itu terus menyerangnya sampai kakek berkali-kali tersungkur, terakhir dia tersungkur membentur besi tempatku berbaring yang membuatnya tak bisa bangkit lagi. Makhluk itu melayang dihadapannya, menatapnya penuh amarah.
Mrs Rudolf datang dan memelukku, menghalangi kejadian mengerikan itu dari penglihatanku. Dia mendekapku erat, menempelkan dagunya diujung kepalaku. Sambil mengusap rambutku dia berkata dengan suara yang bergetar.
“Sarah dengarkan aku, kau akan hidup. Genggamlah tangannya, dia takkan pernah meninggalkanmu...” Mrs Rudolf mengangkat wajahku agar sejajar dengan wajahnya.
“Obat ini tidak berarti, satu-satunya penyembuh adalah sebuah kepercayaan. Dan....Argh!...” Tubuh wanita itu limbung dalam pelukanku.
Aku terbelalak begitu merasakan ada benda asing yang menancap dipunggungnya. Sesuatu yang basah mengalir dari sana, sebuah cairan kental berwarna merah memenuhi telapak tanganku. Itulah hal terakhir yang aku lihat sebelum papa datang dan membawaku pergi dari sana.
“Bawalah Sarah ke tempat yang aman. Aku akan mencoba menghentikan ini.” Papa menurunkanku, dan bergegas berlari kearah kekacauan itu.
“B...Baiklah.” Arthur langsung menarik tanganku dan membawaku keluar dari sana.
Aku memutar kepalaku menatap punggungnya, kenapa tiba-tiba aku merasa takut, kata-kata papa membuatku sedih. Di sisi lain, kekacauan itu masih terus berlangsung, aku melihat kakek yang semakin tak berdaya, dan Mrs Rudolf yang telah kaku tergeletak disana.
Kami terus berlari menaiki anak tangga yang gelap ini, ketika kami hampir mencapai pintu keluar rasa sakitku tiba-tiba muncul. Tubuhku seketika ambruk, kakiku mati rasa.
“Argh !”
“Sarah...”
“Aku tidak bisa berjalan.” Arthur langsung mengangkat tubuhku, membopongku dan membawaku keluar.
“Bertahanlah, kau harus kuat.” Arthur terlihat meyakinkanku, tapi tetap saja dia tak bisa menyembunyikan ketakutannya, sama sepertiku.
Bagaimana ini? Kemana aku harus pergi? Aku tidak sanggup lagi menahan rasa sakit ini. Aku tidak sanggup. Menangispun tak ada gunanya, semua ini tidak akan membaik dengan tumpahnya air mataku. Rasa panas diujung hidungku dan mulutku yang semakin terasa pait, membuatku berpikir bahwa mungkin sebentar lagi akan tiba waktunya.
“Bertahanlah, Sarah.”
Aku meminta Arthur untuk menurunkanku meskipun dia menolaknya. Jika sekarang adalah hari terakhirku, aku tidak ingin melewatkan hal yang satu ini. Aku ingin menghirup aroma rumput untuk yang terakhir kalinya.
Arthur membaringkanku di bawah pohon trembesi, tempat pertama kali kami saling mengenal. Pemandangannya masih sama, tapi sekarang begitu dingin dan gelap. Hari itu kami memberi makan sapi-sapinya. Hari itu, dia membuatkanku sebuah mahkota dari rumput-rumput liar. Dan hari itu, sungguh menjadi kenangan yang indah.
Aku menghirup aroma khas rumput disekelilingku sepuasnya, rumput-rumput ini menyentuhku dengan lembut. Aku sampai tak menyadari keberadaan Arthur yang ikut berbaring disampingku, dia melipat kedua tangannya sebagai penyangga kepalanya. Dia bercerita tentang sapi-sapinya yang dulu, lalu bermain tebak-tebakkan bentuk hewan dari gumpalan awan yang melayang diatas sana. Dia mencoba membuatku tertawa dengan leluconnya, nyatanya hanya dia sendiri yang tertawa. Aku tahu, dia hanya ingin mengalihkanku dari rasa sakit ini.
“Aku akan membeli beberapa sapi lagi, jadi kau harus membantuku mengurusnya. Nanti setiap pagi aku akan gembalakan mereka disana, dan kita bisa mengawasi mereka dari sini. Kita harus merawat mereka sampai mereka gemuk. Setelah mereka beranak cukup banyak, aku akan buatkan kandang yang lebih besar lagi. Bagaimana, kau setuju?” Arthur memalingkan wajahnya padaku dengan senyuman termanisnya.
“Iya. Tapi aku tak bisa berjanji akan membantumu merawat mereka.” Aku mengalihkan wajahku darinya, menatap kesisi lain yang tak benar-benar kutatap.
“Kenapa?” Alisnya mulai mengkerut.
“Aku akan pergi.”
“Jangan kemana-mana, kau harus tetap disini.” Arthur memiringkan posisi tubuhnya kearahku.
“Aku tidak bisa. Waktuku telah habis.” Aku tidak sanggup untuk menatapnya, aku takut sesuatu keluar dari ujung mataku.
“Tolong jangan bicara seperti itu.” Arthur bangkit, kedua tangan yang menyangga tubuhnya berdiri tegak diantara kepalaku, dia mengarahkan wajahku didepan wajahnya dan menatapku dengan raut yang menyedihkan. Kumohon, jangan lakukan itu Arthur.
“Kulitku sangat pucat, rambutku mulai memutih. Semuanya sudah berakhir.” Aku mengangkat tanganku, mengarahkannya pada sinar mentari yang redup, disamping wajah Arthur.
Arthur menarik tanganku dan meletakkannya diatas perutku. Beberapa detik kemudian aku melihat hidung dan matanya memerah, matanya mengeluarkan air, tapi seketika dia mengusapnya. Dia mengangkat kepalaku dan meletakannya diatas pangkuannya. Dari bibirnya yang bergetar sepertinya Arthur sedang bicara sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Rasa nyeri ini seperti menggerogoti tubuhku perlahan-lahan. Membuat indraku tidak bisa berfungsi dengan baik. Tubuhku mulai lumpuh, semuanya mati rasa. Aku hanya bisa menatap kedua mata bulatnya yang cerah. Mata itu, selalu membuatku teduh, dan aroma ini membuatku merasa tenang. Setelah kulihat semua yang ada di sekelilingku mulai kabur, tubuhku terasa ringan, dan aroma manis itu membawaku kedalam mimpi indah.
* * *
Aku tidak ingat kenapa aku bisa sampai ada disini. Rumput yang kupijak, langit, pohon-pohon, bahkan dress yang kukenakan sekarang ini, semuanya berwarna putih. Kakiku membawaku ke suatu tempat yang luas, tak ada seorangpun disini. Aku berlari dengan riangnya memutari tempat ini bersama kupu-kupu berwarna-warni yang mengajakku bermain. Kakiku begitu lincah hingga tubuhku terasa begitu ringan untuk bergerak. Tiba-tiba hembusan angin lembut membawa seseorang ke hadapanku. Tubuhnya perlahan menyatu bersama angin itu, seulas senyum tersungging dari bibir tipisnya. Kami berdiri berhadapan dan hanya saling menatap. Orang itu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya, memberikanya padaku.
“Makanlah.”
Aku menerima benda mungil itu, sebuah apel hijau. Aromanya begitu terasa manis, sampai-sampai aku hampir mengingat aroma manis ini entah dimana. Tanpa berpikir lagi aku langsung menggigit apel itu perlahan. Manis. Seketika kami tersenyum.
“Ayo, makanlah lagi.”
Aku menggigitnya lagi. Air sari apel itu bahkan sampai membasahi seluruh mulutku. Tenggorokanku dipenuhi rasa termanis yang pernah kunikmati selama ini. Pria itu tersenyum padaku yang membuatku membalas senyumannya. Lalu dia mengulurkan tangannya padaku, tanpa ragu aku langsung menggenggam tangannya dengan erat. Kami berlari, terus berlari. Langkah kaki kami seolah tak berpijak lagi, tubuhku terasa semakin ringan. Aku hampir bisa menyentuh awan, bahkan sebelum menyentuhnya aku telah merasakan kelembutan itu. Kami menuju kearah gundukan awan-awan itu, menari disana dalam balutan kelembutan yang membuai, sekarang kami sama putihnya seperti awan. Dari balik awan itu muncul setitik cahaya yang semakin lama semakin menyilaukan. Setelah itu, aku tak bisa merasakan apa-apa lagi, aku seperti dihempaskan kedalam suatu tempat yang sepi, aku sendirian di dalam kegelapan.
Ada sesuatu yang membuatku merasa hangat. Kehangatan itu mengenyahkan seluruh kegelapan ini. Aku bangkit dari sana, mencoba melangkah. Ada sesuatu yang terasa berdetak di sekelilingku. Aku tidak tahu benda apa itu. Aku ingin menyentuhnya, kurasa dari sanalah kehangatan itu berasal. Aku mencari benda itu sampai aku meyakini bahwa dari sinilah suara berdetak itu muncul. Tapi aku mendengar suara berdetak yang lain. Mereka sama. Saat aku menyentuhnya ternyata suara itu berasal dari dalam sini. Di dalam dadaku.
Tubuhku perlahan-lahan mulai melebur menjadi potongan-potongan kecil tak kasat mata. Tapi aku masih bisa merasakan diriku sendiri dalam jiwa yang utuh. Aku bisa bicara pada diriku sendiri. Lalu dimanakah aku sebenarnya?
“Sarah...”
Tiba-tiba semua terlihat aneh, buram, dan berputar-putar. Dadaku terasa sesak oleh sesuatu. Udara dingin berhamburan masuk kedalam hidungku. Perlahan tubuhku mulai menghangat, desiran darah mengalir ke seluruh bagian tubuhku. Saat aku mulai bisa merasakan tubuhku menjadi utuh kembali, aku mengedipkan kedua mataku, tak yakin dengan apa yang pertama kulihat saat itu. Terasa sesuatu yang aneh di bibirku, yang meninggalkan rasa termanis yang pernah kukenal. Rasa apel.
“Sarah...Kau masih hidup...
...Ka...Katakanlah sesuatu.” Sepasang mata kelabu itu bergerak gerik didalam pupil mataku, wajahnya memerah.
Aku masih merasa bingung dengan apa yang baru saja kulihat. Perasaan aneh ini terasa menggelitik, membuatku tersipu. Tapi aku menyukainya.
“A...Arthur. Aku bukan Snow White.”
Arthur tersenyum. Matanya mulai berkaca-kaca. Setetes air hangat jatuh dari kedua pelupuk matanya. Tak lama, air itu mulai menghujani wajahku. Ya, aku bisa merasakannya. Entah ini adalah mimpi yang lain atau aku memang tak pernah bermimpi.
“Tapi itu berhasil.” Pria itu menangis, sampai tak sadar bahwa wajahnya terlihat sangat jelek. Dia mengusap wajahku dari bulir-bulir air matanya.
Aku senang masih bisa melihatnya. Dia membawaku kedalam dekapannya, sehingga mampu kurasakan jemari tanganku kini tak lagi dingin. Suara ini, aku pernah mendengarnya didalam mimpiku. Dua buah suara degupan kecil yang berdetak bersamaan. Ternyata ini adalah, jantungku dan jantung Arthur. Meskipun aku masih bertanya-tanya, apa yang membuatku utuh kembali? Luka ini, rasa sakit ini, semuanya lenyap.
Kami masih terlarut dalam suasana ini, aku tidak ingin mengingat apa-apa. Aku ingin tetap disini, seperti ini, bersamanya. Sampai tak kudapati tempat lain untuk kusinggahi selain hatinya. Sampai tak kutemukan tempat kembali selain di sisinya. Karena tak ada aroma termanis yang kurasakan selain dirinya. Meskipun hal itu menjadi sebuah tanda tanya yang tak terjawab, aku tidak peduli. Karena yang kuinginkan adalah merasa nyaman dalam dekapannya.
Kerenn... cuma ada yg mengganjal.
BalasHapusKan itu ceritanya di skotlandia ya?
Ko.. edrick bisa ngomong 'darah'?
Kenapa bukan 'blood' mungkin kalo bhs inggris mah.
Ko niel bisa tau kata 'darah'.?
Kalo sarah kan emg keturunan indonesia.. tpi edrick dan niel?
Iyaaaa, emang disengaja anehnya disitu๐๐
HapusHmmmm๐
HapusNeng bingung wa๐
Tenang, jawabannya ada minggu depan๐
HapusLila bangaaatttt๐
HapusYaaa begitulah๐
HapusLangkah kaki neil panjang dan lebar. Asa bingung ngabayangkeun langkahna kumaha. ๐๐
BalasHapusBtw paragraf - paragraf akhir so sweet banget ๐๐ muncul the power of love ๐๐
Apa mungkin si edrick hidup karena si sarah, terus si sarah hidup karena si arthur??
Langkah kaki neil panjang dan lebar. Asa bingung ngabayangkeun langkahna kumaha. ๐๐
BalasHapusBtw paragraf - paragraf akhir so sweet banget ๐๐ muncul the power of love ๐๐
Apa mungkin si edrick hidup karena si sarah, terus si sarah hidup karena si arthur??
Duh, jadi malu dah, ada kerancuan yg gak enak di baca๐๐
HapusTenang udah diperbaiki.
Sarah hidup lagi karena si arthur, tapi edrick gak hidup karena si sarah loh.
Tunggu cerita selanjutnya