Rabu, 17 Agustus 2016

Bailoch chapter 2: 6

Bailoch

Chapter 2

Sarah || Arthur || Edrick || Others
Mystery || Romance
Pg 17


         Sepi. Papa sepertinya tidak ada. Kemana dia? Apa sudah pergi? Tidak mungkin, ini masih belum jam berangkat kerja. Kulihat ada pesan masuk di telepon, benar saja ini dari papa. Dia bilang semalam dia tidak bisa menjemputku karena ada urusan penting di luar kota. Bukan urusan pekerjaan, melainkan karena pamanku sedang sakit.
Jadi dia harus segera pergi kesana dan akan pulang secepatnya. Papa juga meminta maaf padaku karena tidak bisa menghabiskan hari minggu bersama, dia janji bahwa minggu depan kami akan pergi ke suatu tempat yang istimewa, hanya kami berdua. Papa berjanji, kali ini dia bilang ini janji seorang ayah, bukan janji seorang laki-laki biasa. Baiklah, semoga janjinya bisa benar-benar kupegang. Handphoneku terbawa oleh papa, pasti seharian ini aku akan merasa sangat bosan, tak ada handphone dan juga Marshie. Marshieku yang malang. Bagaimana aku bisa menemukannya? Aku telah menghilangkan Marshie dan membuatnya terlantar. Aku tidak mau dia mati kelaparan. Dan bagaimana keadaannya sekarang aku tidak tahu. Apa aku harus kembali ke Bailoch, lagi?

         Aku segera berganti pakaian dan menyiapkan buku pelajaran yang harus aku bawa hari ini. Untung saja tidak ada tugas. Pagi tadi Mrs Rudolf meminjamiku sweater, tidak ada salahnya jika aku memakainya hari ini ke sekolah, ini bagus meskipun modelnya sangat menggambarkan pakaian tempo dulu tapi aku suka. Lagipula suhunya memang sedang dingin.

          Mungkin hari ini cuaca memang tidak sedang bersahabat, atau mungkin aku terlalu berangkat pagi? Ah, hanya kurang sepuluh menit dari jam biasa aku berangkat, seharusnya matahari sudah mulai muncul. Langit sedang mendung, gelap, dan kupikir akan segera turun hujan. Aku mengayuh sepedaku lebih cepat sambil memeriksa keadaan langit agar aku tidak terguyur hujan di jalanan.

              Dena melintas di sampingku dengan mobil pacarnya, si kakak tua itu, dia melambaikan tangannya tanpa menoleh padaku. Seketika aku langsung teringat dengan sikapnya sabtu malam kemarin, betapa menjengkelkannya anak itu.

        Sepanjang jalan aku terus berpikir. Dalam sebuah pertemanan kupikir memang wajar bila ada sedikit pertengkaran dan diwarnai kesalahpahaman atau perselisihan. Hidup tidak akan semudah seperti yang kita inginkan. Meski sudah lebih dari setahun berada disini aku masih belum bisa beradaptasi dengan lingkungan, kupikir belum terlambat untuk tetap berusaha. Pikiranku terlalu dipenuhi anggapan-anggapan bahwa mereka adalah orang yang sombong, licik, dan palsu. Padahal tidak semua sifat mereka seperti itu. Seharusnya aku bisa memakluminya, karena setiap orang pasti berbeda. Punya segala keunikan tersendiri. Terlalu menutup diri dari kemungkinan disakiti malah menjadikanku orang yang berkebalikan dengan sifat asliku. Aku dianggap egois, sombong, dan jutek. Lalu akhirnya sifat seperti itu benar-benar melekat pada diriku sendiri. Aku benci bila harus mengatakan bahwa aku tidaklah seperti yang mereka kira, tapi saat aku mengatakannya aku sadar bahwa ternyata aku memang seperti itu. Jadi kupikir tidak perlu berusaha meyakinkan mereka bahwa aku adalah orang baik, karena mereka akan tetap pada pendirian mereka sendiri sebagaimana mereka menilaiku sejak awal. Ya, hidup memang melelahkan dan juga menyebalkan.

       Dena menghampiriku sambil memberi sebungkus kacang. Dia meminta maaf padaku atas kejadian kemarin dan kacang ini adalah sebagai sogokan. Mengingat betapa baik sikapnya padaku selama ini, kurasa kejadian kemarin bukanlah hal yang akan membuatku marah sampai tak mau bicara padanya seharian. Aku tak bicara karena aku memang sedang tidak ingin, ya seperti biasa. Aku tidak marah atau jengkel atau kesal sama sekali, tapi hal yang dia ceritakan padakulah yang membuatku menyesal sudah mendengarkannya.

“Aku bohong, pesta itu bukan untuk Niel. Coba kau tebak, sebenarnya aku juga sedikit kaget mendengarnya tapi aku cuma ingin kau tahu saja agar kau tidak menaruh banyak harapan pada Edrick.”

“Apa hubungannya denganku?”

“Itu pesta Anniversary mereka. Ternyata mereka sudah berkencan selama setahun.”

         Kurasa aku tahu siapa ‘mereka’ yang Dena maksud. Aku tidak perlu memperjelasnya, bukan? Pantas saja mereka melakukan ‘itu’ malam itu, ternyata mereka memang memiliki hubungan. Yah, selamat. Aku senang. Sampai-sampai aku ingin menangis karena begitu senang mendengarnya. Pantas saja cuaca di luar sedang mendung, ternyata aku akan mendapat berita buruk. Tapi, itu tidak berhasil mewakili perasaanku saat ini. Karena didalam sini sudah lebih dulu terjadi badai petir yang menyambar dadaku seperti terkena electric shock. Itu bagus, aku suka perasaan seperti ini. Bodoh, ya. 
“Aku sudah tahu.”
“Huh, jadi kau sudah tahu, ya. Lalu bagaimana perasaanmu?”

“Ya, itu tidak membuatku kaget sama sekali. Kau tidak perlu mengingatkanku untuk menjaga sikap, karena aku tidak pernah tertarik padanya. ”
        Aku beranjak dari kursiku. Ingin mencari tempat dimana aku bisa menyendiri dan menumpahkan air yang sudah meluberi kantung mataku. Sayangnya, sekolah adalah tempat yang ramai. Dimana-mana penuh dengan orang-orang. Tak ada sejengkal pun tempat untuk duduk dan berdiam sendirian. Kecuali toilet. Tentu saja, jika kau bisa tahan mendengar teriakan orang-orang yang mengantri di luar.
          Jadi, mereka sudah satu tahun berkencan, ya. Lalu kenapa aku menangis? Bukankah hal seperti itu sudah bisa ditebak dari apa yang mereka lakukan selama ini. Manis sekali, bukan? Katanya, aku tidak menyukainya lagi. Katanya, tidak pernah ada perasaan aneh yang menggelitik perutku saat melihat mereka berboncengan. Dan katanya, aku tidak pernah tertarik padanya. Lalu kenapa aku menangis? Dasar ! Kenapa mataku terus mengeluarkan air? Aku hanya tak habis pikir kenapa orang-orang bisa menyebarkan gosip antara aku dan Edrick sedangkan aku rasa mereka tahu bahwa Edrick punya hubungan khusus dengan wanita itu. Apa mereka mencoba membodohiku? ‘Terlihat berbeda saat menatapmu’. Omong kosong ! Apanya yang berbeda? Gara-gara kata-kata itu aku jadi salah paham mengira Edrick menyukaiku sungguhan. Edrick menyukai orang sepertiku? Ah, yang benar saja. Kecuali jika dia memandangku sebagai mangsanya saja. Seperti seekor rubah yang melihat ayam. Apa rubah akan jatuh cinta pada ayam? Tentu saja itu tidak mungkin, kecuali hanya untuk dijadikan santapan lezat. Kurasa begitu cara Edrick melihatku. Kumohon, berhentilah menangis.
“Kenapa kau ada disini?”
        Sebuah suara mengagetkanku, aku segera mengambil buku terdekat yang bisa kuraih untuk menutupi wajahku. Siapa yang bisa menemukanku disini? Jangan-jangan Mr Cruise tahu aku sedang membolos. Dia adalah petugas perpustakaan, yang mengatur semua pendataan mengenai keluar-masuknya semua buku di tempat ini. Dulu, perpustakaan menjadi tempat favoritku. Tapi semenjak aku mendapat masalah dengan Mr Cruise karena tidak sengaja merobek sebuah buku disini, aku tidak terlalu sering berkunjung lagi. Dia orang yang galak. Dan aku tidak suka sikapnya yang pemarah. Maka dari itu, setiap datang kesini adalah suatu keberuntungan bila tidak bertemu dengannya.
“Hei, kau bolos, ya?”
        Aku menggeleng sambil berusaha menghapus air mataku sebelum orang itu mendekat. Aku hampir tidak mengenali suara itu, entah ada apa dengan telingaku. Kupikir itu Mr Cruise, ternyata,
“Edrick?”
        Dia memergokiku tengah bersembunyi di balik rak paling ujung yang tak biasa di kunjungi orang-orang. Sebuah rak panjang dengan tinggi 15 kaki yang berisi kumpulan ensiklopedia dan buku-buku usang yang penuh debu. Tempat ini adalah satu-satunya tempat paling memungkinkan untuk menyendiri. Tidak kusangka ada orang yang mengetahui keberadaanku disini.
“Apa isi dari buku itu begitu sedih sehingga membuatmu menangis?”

        Benar, aku hampir tidak bisa mengenali suaranya karena dia tengah mengenakan masker. Aku tidak pernah melihatnya mengenakan masker selama ini. Apa dia sakit? Ah, siapa yang peduli. Edrick merebahkan badan di depan tempatku duduk yang bersimpuh di lantai. Ini bukan saat yang tepat untuk menangis lagi disaat orang yang kutangisi malah ada di depanku.

“Hidungku terkena debu.”

         Ternyata Edrick malah nampak tidak tertarik dengan kata-kataku. Seharusnya aku tidak perlu menjawabnya. Kehadirannya hanya menggangguku saja. Untuk apa dia kesini? Lebih baik aku pergi mencari tempat lain.

“Aku belum sempat memberitahu buku yang ingin kutunjukkan padamu.”

        Edrick bangkit dan melepas maskernya, lalu meraih sebuah buku dari deretan rak bertulis nonfiksi.

“Ini dia.”

       Dia menyodorkan buku itu. aku menerimanya sambil mengamati bagian per bagian yang membuatnya terlihat menarik.

“Alter ego? Bukankah ini buku tentang gangguan identitas disosiatif? Apa istimewanya, kurasa kau pasti tahu apa yang dibahas didalam buku ini.”

“Apa kau pernah membacanya?”

“Mungkin dengan judul lain. Kupikir isinya tetap membahas hal yang sama.”

“Ya, aku tahu kau sudah tahu tentang hal ini. Pertanyaanku adalah, apa kau yakin manusia dengan kepribadian ganda itu ada?”

“Um...”
  
       Selirik aku menatapnya yang menatapku dengan raut keingintahuan. Ada segaris simpul yang tertarik tipis diujung bibirnya. Aku segera membuang muka. Sepertinya iya ! Dan dialah salah satunya.

“Aku tidak percaya.”

      Pria itu memotong jawaban yang belum sempat keluar dari mulutku.

“Bagaimana dengan Sybil? Bukankah buku itu adalah bukti bahwa manusia berkepribadian ganda itu ada?”

“Um, memang. Tapi aku belum pernah membacanya. Aku hanya mencari tahu tentang hal itu. Juga menemukan banyak kasus yang bisa dibilang merupakan suatu bukti bahwa mereka mengidap gangguan disosiatif. Tapi apa kau pernah berpikir bahwa hal itu terdengar konyol?”

“Maksudmu?”

“Mereka manusia, manusia punya roh, roh itu digerakkan oleh suatu benda bernama otak, dan otaklah yang melakukan segala kegiatan didalam tubuh manusia. Keinginan, emosi, perasaan, indra, ya, dan sebagainya. Karakter seorang manusia juga ditentukan oleh otak. Jadi...”
  
          Edrick mencondongkan tubuhnya kearahku. Dan tentu saja, ini membuatku gugup.

“Jadi?”

“Karakter dan kepribadian seseorang diciptakan dan dikendalikan oleh otak. Bagaimana mungkin mereka bisa menjadi orang lain dalam karakter mereka tersebut...

...Kecuali jika mereka punya lebih dari satu otak. Hahaha.”

        Dia menjauhkan lagi tubuhnya, terkekeh sambil menyentuh dagunya. Tapi dari yang kulihat, meski dia tertawa, matanya tak ikut membentuk sebuah lengkungan bahagia, ini tidak seperti Edrick yang biasa. Jika ada sesuatu yang ingin dia bahas bersamaku biasanya dia selalu menampakkan wajah serius. Tapi kali ini perasaanku sedikit lain.

“Kau mungkin benar, tidak ada orang memiliki otak lebih dari satu. Tapi mungkin saja seseorang memiliki kepribadian lebih dari satu karena suatu penyebab. Contohnya, rasa traumatik diwaktu kecil. Kau tahu, seperti menciptakan teman khayalan. Dan khayalan tersebut berlanjut menjadi bagian dalam dirinya. Dan akhirnya orang itu punya lebih dari satu kepribadian.”

“Misalnya begini, Sarah. Hmm, kau adalah orang yang pintar tapi kau seorang penakut. Suatu saat kau harus melakukan presentasi di depan umum, seperti waktu olimpiade dulu. Lalu tiba-tiba kau menjadi berani menghadapi hal tersebut. Apakah itu bisa disebut sebagai kepribadian ganda? Sedangkan aku rasa itu hanyalah sebuah upaya pemecahan masalah dengan mengambil tindakan diluar yang biasa kau lakukan. Itulah hal yang harus kau lakukan untuk menghadapi rasa takutmu, dengan menjadi lebih berani. Bukan berarti kau berubah menjadi pribadi lain dan menyembunyikan dirimu yang asli. Bukan begitu?”

“Hmm, kau benar. Tapi mungkin kasus sebenarnya dari gangguan identitas disosiatif bukan seperti itu, Edrick. Melainkan pembunuhan, perampokan, dan lainnya. Mereka terlihat baik tapi sebenarnya mengerikan.”

       Dia tidak mencoba memancingku pada hal lain, bukan? Sudah cukup lama kami tidak berdiskusi seperti ini. Sedikit terasa, hmm canggung. Aku mulai merasa tidak enak, aku mulai curiga dengan sikapnya.

“Aku tetap tidak percaya.”

“Ya sudah, itu terserahmu.”

“Bagaimana denganmu? Kau belum menjawabnya.”

“Um, aku percaya.”

         Selama aku melihatnya, aku memang percaya orang dengan kepribadian ganda itu ada. Terlebih selama ini aku selalu terkecoh dengan sikapnya. Seperti manusia biasa, normal, dan mempesona. Tapi disamping itu, sosoknya mengerikan. Membayangkannya saja aku tidak sanggup. Entah sampai kapan dia akan terus menyembunyikannya. Ah, tidak, tidak, bukankah seperti ini lebih baik? Dia tidak harus menampakan sikap aslinya dan tetap menjadi Edrick yang seperti ini, yang berpura-pura baik. Aku lebih suka.

“Kau tahu, Edrick. Kadang orang dengan kepribadian ganda tidak menyadari bahwa dia memilikinya.”

“Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa kau berpikir aku memiliki kepribadian ganda?” 

        Aku mengalihkan pandanganku. Orang ini, apakah dia masih mengira bahwa aku mempercayainya sebagai manusia? Kurasa dia tidak sebodoh itu. Nampaknya dia mulai curiga bahwa aku tahu dia masih sama seperti dulu.

“Tidak.”

       Baiklah, hentikan. Aku harus mencari topik lain. Kurasa membahas tentang kepribadian ganda mulai membuatku tidak nyaman. Aku harus bersikap seperti biasa.

“Hmm, kenapa kau ada disini?”

“Memangnya kenapa kau ada disini? Kau juga mulai berani membolos.”

“Hei, aku bertanya padamu.”

“Jawablah dulu pertanyaanku. Lalu kujawab pertanyaanmu.”

“Aku hanya sedang....patah hati. Ah, aku bahkan benci mengatakannya.”

         Edrick tertawa, pria itu malah tertawa. Dasar idiot ! Dialah alasanku berada disini dan meninggalkan pelajaran berhargaku, tapi orang yang kutangisi malah mentertawaiku.

“Hahaha, maksudmu orang yang kau sukai ternyata berkencan dengan wanita lain? Sungguh malang, ctct.”

“Diamlah. Itulah sebabnya aku ingin menyendiri disini. Dan kau malah datang merusak moodku.”

“Aku kesini untuk menghiburmu.”

            Tunggu, apa yang baru saja dia katakan?

“Kenapa kau tahu aku disini. Apa kau  mengikutiku?”

“Tidak juga. Aku sudah pernah bilang, bukan? Aku bisa tahu dimanapun kau berada, karena aku selalu mencium baumu.”

        Edrick mendorong tubuhnya kearahku. Sudah kuduga, pasti ada yang tidak beres dengannya.

“A...Apa?”

          Ekspresinya seketika berubah jadi serius. Dia mendekatkan wajahnya padaku, hembusan nafasnya menyentuh telingaku. Aku mulai merinding dan mematung. Sekarang dia benar-benar menunjukkan siapa dirinya. Apa dia sengaja melakukan ini padaku?

“Perlu aku ulangi? Aku suka baumu.”

“Hen..Hentikan ! A..apa yang kau katakan?”

            Edrick tersenyum. Dia meraih rambutku dan menciumnya. Aku segera menampiknya lalu bangkit dari tempatku. Pergi secepatnya selagi ada kesempatan atau dia akan membunuhku. Tapi Edrick menarik tanganku dengan kasar, membuat tubuhku membentur rak buku cukup keras.

“Kau takut padaku?”

“Ti..Tidak !”

“Kau bohong. Kau seorang penakut tapi berpura-pura terlihat berani. Kurasa aku tidak perlu menyembunyikannya lagi. Kau memang sudah tahu diriku yang sebenarnya selama ini.”

“Jadi...kau kesini hanya untuk memberitahuku bahwa kau masih seorang monster yang akan membunuhku?”

“Benar.”

“Itu tidak akan terjadi.”

“Aku akan dengan sabar menunggu. Sekarang larilah sampai kau tidak punya ruang untuk berlari. Saat kau mulai lelah, aku akan....”

“Hei, kalian berdua ! Beraninya kalian membolos. Ini bukan tempat untuk berpacaran ! Lakukanlah diluar semaumu ! Tapi jangan di tempatku, anak kurang ajar !”

          Suara itu membuyarkan ketegangan diantara kami. Teriakan keberuntungan paling merdu yang pernah kudengar. Oh, aku lega sekali. Terimakasih Mr Cruise, Anda telah menyelamatkanku dari bencana. Meski aku tahu setelah ini aku akan dapat masalah. Setidaknya itu lebih baik, jauh lebih baik.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar