Rabu, 17 Agustus 2016

Bailoch chapter 2: 8

Bailoch

Chapter 2

Sarah || Arthur || Edrick || Others
Mystery || Romance
Pg 17




         Sepulang sekolah aku begitu terkejut setelah mendapati sebuah koper besar berdiri di samping sofa. Aku segera berlari dan mencari sosok pria jangkung itu. Papa baru saja keluar dari kamar mandi dan aku segera memeluknya.

“Hei, sayang. Kau membuat papa kaget.”

“Aku benar-benar kesepian.”

      Papa mengusap lembut kepalaku. Dekapannya yang hangat membuatku tenang sekaligus mengobati rasa rinduku padanya beberapa hari ini.

“Bagaimana keadaan paman?”

“Sudah lebih baik.”

“Sebentar lagi liburan musim panas. Aku ingin menemuinya. Bisakah kita kesana?”

“Um, iya tentu saja.”

         Aku tidak ingin membahas tentang janji papa yang kemarin dia ucapkan. Aku harap papa bisa mengingatnya sendiri. Aku tidak ingin membuat papa berjanji lagi, karena dia sangat buruk dalam menepatinya. Papa sangat sibuk. Banyak hal yang harus dia kerjakan. Kurasa aku tidak perlu menuntut apapun darinya daripada itu membuatnya merasa terbebani. Aku hanya ingin papa tetap disampingku. Aku hanya butuh kehadirannya untuk menemaniku. Selama ada papa disini, aku merasa aman.


* * *

        Setelah malam itu kami benar-benar tak saling bicara lagi. Meskipun kami berpapasan di depan kelas, di kantin, kami tidak saling menyapa, kecuali saat aku sedang bersama Dena. Tapi bukan padaku tentu saja. Aku merasa asing dengan sikapnya. Kenapa jadi ada jarak diantara kami? Saat Dena bertanya ada apa antara aku dan Arthur, aku tidak bisa menjelaskannya. Karena aku benar-benar tidak tahu masalah apa yang sedang kami hadapi. Aku tidak mengerti kenapa Arthur semarah ini padaku. Haruskah aku menemuinya dan membicarakannya langsung? Tidak. Itu tidak mungkin. 

       Ya. Sampai saat ini aku tidak mengalami kejadian apapun setelah mendapat ancaman hari itu. Tapi aku tetap harus berhati-hati. Dia selalu mengawasiku, bisa jadi disaat aku tidak siap dia menyerangku dengan tiba-tiba. Aku membutuhkan bantuan Arthur. Namun sikapnya tiba-tiba saja seperti ini. Bagaimana aku bisa dapat kesempatan untuk bicara dengannya disaat Edrick selalu berada dimanapun Arthur berada.

     Sekarang ini aku berusaha untuk memfokuskan diri pada pelajaranku. Sedikitpun aku tidak boleh melakukan kesalahan lagi. Aku tidak mau mengecewakan papa. Nilaiku harus bagus dan sempurna. Dengan begitu papa akan bangga padaku dan mengizinkanku kuliah dimanapun yang aku inginkan. Dan saat itu aku akan bilang bahwa aku ingin melanjutkan pendidikanku di Indonesia. Negara yang indah, nyaman, dan aman. Aku ingin pulang, aku merindukan semuanya. Tidak akan ada lagi alasan bagi papa untuk menolak keinginanku yang satu itu.


* * *

        Hari terakhir program highers, sertifikat kualifikasi untuk masuk ke universitas. Aku harus melakukannya dengan baik. Setelah Ujian berakhir aku bisa dengan tenang memikirkan rencana tentang bagaimana cara menghentikan Edrick.
“Jadi, apa rencana liburanmu kali ini, Sarah?”
“Uh, aku masih memikirkannya.”

“Ah, payah. Hidupmu pasti membosankan. Setidaknya saat memasuki musim liburan seharusnya kau sudah tahu apa saja yang akan kau lakukan.”

“Aku harap juga begitu....

....Seandainya saja kita bisa bertukar kehidupan.”

“Hahaha...itu konyol.”

“Aku benar-benar ingin jadi sepertimu.”

“Jangan bertingkah bodoh, Sarah. Apa yang kau harapkan dari kehidupanku? Justru semua orang ingin jadi sepertimu.”

“Tidak mungkin. Hidupku tidak lebih menyenangkan dari mereka. Apa yang mereka harapkan dari kehidupanku?”

“Hei, kau baru saja membalikkan perkataanku.”

“Karena kata-katamu lebih tepat untukku.”

“Tidak usah iri dengan hidup orang lain, Sarah. Jalani saja kehidupan kita masing-masing. Semua hal akan indah seandainya kita bisa menjalani kehidupan dengan pikiran yang positif. Hidupmu berat, karena kau selalu memandang semua hal dari sisi yang buruk.....

....Kau tahu, beberapa orang sering membicarakanmu. Seharusnya aku tidak boleh mengatakan hal ini. Jika kau benar-benar ingin tahu apa yang mereka bicarakan aku akan mengatakannya.”

“Tidak perlu. Aku sudah tahu. Mereka pasti membicarakan hal yang jelek tentangku.”

“Apa aku bilang tadi, kau selalu berpikir negatif. Dengar, tidak semua orang disini adalah orang yang buruk. Beberapa orang benar-benar mengagumimu. Mereka memandangmu seperti sosok yang sempurna. Kau pintar, kaya, dan warna kulitmu juga bagus. Banyak orang yang sebenarnya ingin memiliki kehidupan sepertimu, Sarah.”

“Ah, aku tidak pernah tahu dengan hal itu.”

       Tapi, bukan berarti mereka ada dipihakku juga. Belum tentu mereka bisa menerima keadaanku. Dan belum tentu mereka mau menjadi temanku.

“Ya, pantas saja kau tidak tahu, kau selalu berpikir mereka menjelek-jelekanmu. Hanya saja kau punya satu masalah. Kau benar-benar orang yang jutek. Mereka pasti mengiramu orang yang sombong. Padahal kupikir kau orang yang baik, hanya saja kau terlalu pendiam.”
Iya. Aku terlalu diam. Terlalu masa bodoh dengan apa yang terjadi di sekitarku. Setiap aku berjalan melewati sekumpulan perempuan, mata mereka selalu mengikutiku sampai sosokku benar-benar menghilang dari pandangan mereka. Aku merasakan itu. Saat mereka berbisik-bisik sambil melirikku. Aku tidak suka. Tapi daripada membuat kepalaku memikirkan hal tidak penting seperti penilaian mereka tentangku, aku lebih langsung pada kesimpulan bahwa mereka tidak menyukaiku. Semuanya tentang hal-hal buruk tanpa berpikir bahwa tidak semua orang benar-benar menilaiku buruk. Mungkin pikiranku memang terlalu dipenuhi hal negatif.
“Terimakasih, Dena. Aku mengerti sekarang. Waktu kita tidak akan lama lagi di sekolah ini. Kuharap aku bisa meninggalkan kesan yang baik sebelum kita berpisah. Um, bukan hanya padamu, tapi pada semua orang. Sampai bertemu lagi. Semoga liburanmu menyenangkan.”

   Aku bangkit dari tempatku setelah membereskan semua alat tulisku. Memastikan bahwa tidak ada barang yang tertinggal. Karena liburan ini akan menjadi hari yang sangat panjang. Terlebih untukku. Setidaknya kini aku punya rencana apa yang akan aku lakukan.

         Aku bertemu Arthur, dia baru saja keluar dari pintu saat aku melintas di depan kelasnya. Mata kami bertemu, kurasakan saat itu waktu seperti berhenti berdetik. Pandangannya datar, sedangkan aku harap dia melihat sesuatu yang berbicara dari dalam mataku. Sesuatu yang tak bisa aku katakan. Waktu kembali berputar begitu seseorang yang berjalan setelah Arthur mulai keluar dari pintu kelasnya, dia merangkul pundak Arthur. Dia. Aku harus menghindar. Selama ini hanya itulah yang bisa aku lakukan. Meskipun aku tahu, aku tidak akan pernah bisa menghindar dari pengawasannya. Dari mata setajam elang dan kuku serigala yang siap menerkamku.


* * *


           Ketika aku sedang bermalas-malasan di sofa, papa keluar dari kamarnya sambil membawa koper. Ya, kerjaku memang selalu bermalas-malasan, tak ada lagi. Tapi setidaknya kini aku sedang menyusun rencana, hal apa yang pertama harus aku lakukan, dan darimana harus kumulai. Aku tidak terlalu terkejut dengan kepergian papa, dia sudah mengatakannya. Papa akan pergi ke luar kota untuk membicarakan kerjasama antar pengusaha. Banyak investor yang menanam saham di kantor papa. Jadi, papa harus mengurus semua itu. Dan lagi, mereka akan membahas tentang peresmian proyek lapangan golf mereka yang mewah itu. Kuharap, akan ada banyak orang kaya yang bermain golf disana. Di tempat terpencil seperti itu. Papa bilang, mungkin paling lama satu minggu. Iya, tidak masalah. Tanpa papa aku bisa lebih leluasa untuk menjalankan misiku. Aku harus menjadi lebih dewasa sekarang, tidak perlu merengek-rengek karena merasa kesepian lagi. Aku harus mandiri. 

        Aku mendapat sebuah pesan dari, Arthur. Hmm, tidak biasanya dia mengirimku pesan. Padahal aku tidak pernah memberinya nomor ponselku. Ayolah, dia punya banyak teman. Maksudku, pasti Dena yang memberinya, siapa lagi. Biar kutebak, dia pasti ingin meminta maaf. Setelah kubaca isinya, ah ternyata bukan. Dia hanya menyuruhku melihat keluar jendela. Ada apa? Apa dia ada disini, seharusnya dia bisa langsung kesini saja menemuiku. Arthur ada disana, dipinggir jalan di samping sebuah pohon. Cukup jauh dan agak tersembunyi. Tapi aku bisa melihatnya dengan jelas. Dia memintaku untuk menemuinya.

“Ada apa?”

“Ikutlah denganku.”

“Huh? Kem...”
“Bailoch !”
          Ini kebetulan yang sangat menarik. Mungkin ini hari keberuntunganku. Papa pergi. Arthur menemuiku. Dan sesampainya di Bailoch ternyata Mrs Rudolf tidak ada di rumah. Kata Arthur dia pergi untuk beberapa hari karena ada urusan. Entahlah ada urusan apa, Arthur juga tidak menyebutkannya. Yang jelas mulai hari ini aku bisa mencari tahu segala rahasia tentang Mr Rudolf, tentang penelitian itu. Dan tentang Edrick pastinya.
           Kami duduk di sofa. Aku hanya diam karena Arthur juga terdiam. Aku tidak butuh penjelasan apapun tentang sikapnya belakangan ini. Karena yang ingin aku ketahui hanyalah tentang bagaimana cara menghentikan Edrick. 
        Arthur tidak mengatakan apapun. Dia bangkit dan masuk ke kamarnya. Beberapa saat kemudian dia keluar dengan sebuah kunci di tangannya. Arthur berjalan menuju sebuah pintu dan mulai memutar kuncinya. Setelah pintu itu terbuka, dia melirik ke arahku dan mengajakku kesana. Aku mengangguk.
     Arthur tidak banyak bicara. Dia hanya mengarahkanku untuk mengikuti setiap perintahnya. Aku tahu, mungkin inilah yang dimaksud Arthur. Rahasia Mr Rudolf semuanya ada disini.
          Kami berjalan kedalam sebuah ruangan yang cukup gelap. Menuruni sebuah anak tangga. Turun dan terus turun. Semakin gelap dan gelap. Aku bahkan tak bisa merasakan kakiku menyentuh permukaan kayu lagi. Kini kakiku mulai merasakan pijakan yang lebih luas. Sepertinya anak tangga sudah berakhir disini. Aku tak bisa melihat dimana Arthur berada. Semuanya gelap. Tapi tak lama, sebuah cahaya mulai memasuki kornea mataku. Dan semua yang ada di hadapanku kini bisa terlihat dengan jelas.
            Aku pernah bilang bahwa rumah Mr Rudolf cukup kecil, bukan? Tapi sepertinya kau tidak akan percaya lagi pada kata-kataku setelah melihat apa yang kini tengah kulihat. Rumah kedua. Bukan, sepertinya rumah Mr Rudolf yang asli memang tersembunyi di dalam tanah. Aku tidak mengerti kenapa mereka membangun rumah seperti ini. Yang jelas, aku benar-benar tidak percaya. Tidak pernah sedikitpun terbayang bahwa akan ada tempat seperti ini dibalik sebuah rumah kayu sederhana milik pak tua itu.
        Arthur melirik ke arahku. Sedari tadi tak kulihat ekspresi yang biasa dia tunjukan padaku. Atau seiris senyuman manis dari bibir tipisnya. Datar, hanya itu. Namun aku yakin, dia tidak marah padaku. Dan ini tidak ada hubungannya dengan alasan kami tidak saling bicara beberapa hari ini. Arthur mulai berjalan lebih dalam ke arah beberapa rak yang cukup tinggi dan besar. Beberapa buku yang tersimpan dibagian atas rak itu bahkan harus diambil menggunakan tangga. Lalu Arthur mengambil salah satu dari kumpulan buku-buku itu. Setelah mendapatkannya, dia duduk di sebuah kursi yang ada di samping rak besar itu. Lampu meja mulai dinyalakannya. Setelah membuka beberapa lembar bagian buku itu, Arthur menatap ke arahku. Kurasa itu artinya aku harus kesana dan melihatnya.
        Ruangan ini sangat luas. Semuanya ada disini. Ruang tamu, dapur, kamar mandi, serta ruang kerja Mr Rudolf yang dipenuhi kertas-kertas dan gambar-gambar aneh. Ruangan itu disekat dengan kaca tebal dan pintu yang memakai kunci pengaman. Tapi yang membuatku lebih tertarik adalah, sebuah etalase beserta tabung-tabung berisi cairan-cairan berwarna, disana beberapa diantaranya bahkan mengeluarkan gelembung. Mirip seperti di film-film. Dan ini nyata. Melihatnya saja aku jadi merinding. Apalagi membayangkan kalau salah satu dari cairan itu masuk kedalam tubuhku. Kasihan, Edrick. Tiba-tiba aku teringat padanya.

“Inikah yang ingin kau ketahui? Inilah jawabannya.”
 
        Aku mengusap punduk leherku. Masih merasa asing dengan tempat seperti ini. Semuanya sangat diluar dugaanku.

“Sedikit banyak aku memang tahu tentang Mr Rudolf. Awalnya aku juga merasa kaget dan tidak percaya, sama sepertimu. Tapi perlahan aku mengerti kenapa ada ruang semacam ini di rumah Mr Rudolf.”

“Apa yang ada ditanganmu itu?”

“Bacalah, kau akan tahu sendiri.”

         Arthur menyerahkan buku itu padaku. Cukup tebal dan besar. Sepertinya ini bukan sebuah buku terbitan, melainkan catatan Mr Rudolf mengenai eksperimennya. Kurasa.

               Aku mulai membaca buku itu dari lembar pertama. Berlanjut ke lembar-lembar berikutnya. Isinya mengenai kisah awal mula ketertarikan Mr Rudolf pada sebuah eksperimen. Sampai perjalanannya menjadi seorang peneliti.

         Diusianya yang menginjak tiga puluh, dia bertemu dengan seorang yang memiliki ketertarikan yang sama dibidang yang dia tekuni. Orang itu adalah Alex McAuliffe Arvin. Tunggu, jika itu pamanku seharusnya namanya hanya Alex Marvin saja. Apakah MArvin artinya McAuliffe Arvin, seperti sebuah singkatan? Oh, aku tidak menduga bisa seperti itu. Memang, selama ini kukira ada kesalahan penulisan karena kata ‘Marvin’ selalu memakai huruf ‘A’ kapital. Ternyata memang disengaja.

          Mereka berdua mulai merencanakan sebuah eksperimen dari teori-teori yang telah mereka pelajari selama ini. Beberapa tahun kemudian, seorang murid Mr Rudolf ikut bergabung dalam eksperimen itu, pasti James William Garland. Lalu, satu persatu mimpi mereka mulai mereka wujudkan.

      Hasil mutasi buatan mereka yang pertama adalah seekor ular piton. Itu berhasil. Dan satu-satunya. Setelah itu eksperimen mereka selalu gagal. Hingga suatu hari, munculah ide gila untuk menciptakan manusia hasil mutasi. Mereka menciptakan cairan dari ekstrak kelelawar vampir dari daratan Amerika dengan serum bernama drvX08. Entahlah apa itu. Namanya sangat aneh. Lalu semuanya terjadi, insiden mengerikan yang berubah menjadi bencana.

        Lembar demi lembar telah aku baca tanpa terlewat satu katapun. Keringat mulai mengucur dari dahiku. Sampai aku membaca bagian dimana Mr Rudolf menceritakan tentang seorang gadis yang memiliki ‘aurora’. Awalnya aku tidak mengerti, tapi sekejap kemudian aku tahu. Perempuan itu adalah aku. Namun aku tidak tahu aurora seperti apa yang dimaksud, dan kenapa dia bilang aku memiliki aurora. Mr Rudolf juga menuliskan bahwa apabila perempuan itu kebal dari racun seorang mutan, maka tidak ada obat lain selain mengorbankan dirinya. Ini bencana.

          A...Apa maksudnya ini? Jadi mereka benar-benar tidak menemukan obat untuk menghentikan mutan itu? Kalau dugaanku benar, jangan-jangan Mr Rudolf berniat untuk mengorbankanku pada raksasa menjijikan itu agar makhluk itu tidak terus berubah semakin ganas. Aku ingat, Edrick menghisap darah dari hewan-hewan ternak sampai mati, kemungkinan bangkainya dijadikan sebagai makanan ular. Karena, kemana lagi pak tua itu membuang bangkai sapi-sapinya selain dijadikan untuk makanan ularnya sendiri?

        Tapi tunggu, aku heran. Ada yang sedikit janggal disini. Di buku ini tertulis lengkap tanggal setiap kejadian itu berlangsung. Sampai tanggal terbaru saat Mr Rudolf bertemu denganku setahun yang lalu. Dulu saat Edrick di jadikan kelinci percobaan dia bilang usianya delapan tahun, dan seharusnya itu terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Tapi eksperimen itu telah berlangsung sangat lama, sekitar dua puluh tujuh tahun yang lalu. Ini aneh menurutku. Aku tidak mengerti. Benar-benar membingungkan.

“Um, Arthur. Bagaimana reaksimu setelah membaca ini?”

“Aku...merasa tidak percaya.”

“Kau tahu bahwa gadis yang diceritakan disini adalah aku?”

             Arthur mengangguk.

“Aku juga baru mengetahuinya. Bahwa itu kau.”

“Dan apa kau tahu siapa mutan itu?”

        Arthur menggeleng. Ah, ternyata dia tidak mengetahui sampai sejauh itu. Kurasa Edrick berhasil menyamar dengan baik. Lalu, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan untuk menghentikan Edrick? Tidak ada obat apa artinya tidak ada jalan keluar untukku? Aku tidak ingin menjadi umpan makhluk jahat itu.

“Hei, kenapa kau menangis?”

          Ah, aku menangis, ya? Aku tidak merasa ada sesuatu yang membasahi pipiku kecuali wajahku memang sedikit terasa panas. Tidak, aku tidak menangis. Aku hanya merasa putus asa. Mereka yang menciptakan makhluk itu bagaimana mungkin mereka tidak membuat penawarnya. Jika mereka tidak bisa menciptakan obat untuk mengembalikan Edrick seperti semula, sebagaimana manusia yang normal, seharusnya mereka membuat sebuah penawar dari gigitannya. Hewan-hewan pasti langsung mati setelah darah mereka dihisap. Sedangkan aku, apakah ini sebuah keberuntungan? Tapi tidak mungkin aku tidak akan mati jika terus-menerus darahku dihisap olehnya, bukan? Aku bisa kehilangan banyak darah lalu mati lemas. Sebenarnya, ada apa dengan darahku, dengan diriku?

“Tenanglah, Sarah. Aku akan melindungimu.”
           Aku tidak tahan lagi. Baiklah, sekarang aku benar-benar menangis. Aku tidak bisa memikirkan apapun saat ini. Semuanya blank ! Tiba-tiba tubuhku terasa hangat. Arthur memelukku.

“Baiklah, kita lupakan saja dulu masalah ini. Ikutlah denganku.”

        Udara memang terasa segar di luar. Tapi kesegaran itu tidak terasa masuk ke tenggorokanku. Aku hanya merasa pahit dan tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana nasibku setelah ini. Mengingat bahwa seorang peneliti saja tidak bisa menghentikan makhluk itu, bagaimana denganku? Sudahlah, lupakan, lupakan. Tenanglah, Sarah. Semua pasti akan baik-baik saja. Selalu ada jalan untuk orang yang mau berusaha.

           Aku dan Arthur berjalan entah kemana. Aku tidak tahu tujuan kami. Terserah, aku tidak begitu mempedulikannya. Sepanjang jalan, banyak warga desa yang menyapa kami. Mereka sungguh baik, ramah, dan perhatian. Aku orang asing disini, tapi itu tidak menjadi masalah bagi mereka. Mereka tetap menyapaku dengan lembut. Desa ini menjadi jauh lebih baik sekarang.

           Kami sudah tiba di sebuah ladang yang cukup luas milik, ah aku lupa siapa nama pemiliknya. Hanya terdengar seperti ‘jagung’ atau apalah. Aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi, padahal Arthur baru saja mengenalkanku padanya lima menit yang lalu. Ini adalah tempat Arthur bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan Mrs Rudolf disamping mengurus lahan milik mereka sendiri. Mungkin aku telah salah mengatakan kalau Arthur harus bersikap lebih dewasa. Nyatanya dia adalah seorang pekerja keras. Berbeda dengan teman-teman seusianya yang hanya menghabiskan waktu muda mereka untuk bermain dan berpesta. Aku jadi merasa tidak enak telah mengatakan itu padanya. Padahal ini adalah liburan musim panas, apa dalam bekerja tidak ada liburan seperti di sekolah?

“Kau tidak usah ikut bekerja, Sarah. Terlalu panas disini. Duduklah disana.”

“Suhu seperti ini sama seperti di negaraku, Mr Oh..Corn...”

         Arthur dan pria itu tersenyum, sepertinya aku memang salah menyebut namanya. Lagipula sebenarnya aku tidak bekerja, apa yang kulakukan? Hanya berjongkok dan berpura-pura mencabuti gulma.

“O’cornwell.”

“Ah, maaf.”

            Aku tersipu. Ya, seperti namanya, terdengar seperti jagung. Jagung yang baik, seperti sikapnya yang ramah dan murah senyum. Walaupun itu bukanlah arti nama yang sebenarnya. Warga desa ternyata lebih ramah dari orang kota.

        Karena aku tidak diperbolehkan membantu mereka, ya sudah. Mungkin aku hanya akan jalan-jalan saja disekitar sini. Melihat pemandangan bukan hal yang membosankan. Jalannya terlihat masih baru. Waktu tinggal disini dulu, jalan ini belum dibuat. Jalan yang membentang lurus sampai tak terlihat dimana ujungnya. Dan samar-samar dari ujung jalan yang bisa kulihat, ada sesuatu yang berlari memotong jalan. Kelihatannya seekor hewan seperti anjing atau kucing, berwarna putih. Kucing putih? Jangan-jangan itu Marshie ! Aku langsung berlari mengejar kucing itu. Dari ekornya yang membulat dan sebagian matanya yang berbulu hitam, pasti itu Marshie. Aku terus mengejarnya sampai tidak mempedulikan arah dan apa yang ada disekitarku hingga aku hampir bisa meraih Marshie dengan kedua tanganku. Saat aku berhasil meraihnya, kucing ini terus menggeliat dan tidak mau diam. Dia ketakutan.

“Marshie ini aku. Kau tidak ingat padaku?”

      Marshie terus memberontak mencoba melarikan diri dari dekapanku. Akhirnya karena tak mampu menahannya, aku kehilangan pegangan hingga Marshie berhasil kabur dengan meninggalkan goresan cakar di pipiku. Marshie berlari hingga tak dapat kukejar lagi. Aneh, Marshie sangat galak.
         Aku kembali ke tempat Mr O’cornwell. Disana Arthur sepertinya sedang mencariku. Ketika aku sampai di sana Arthur dan Mr O’cornwell langsung bertanya kemana aku pergi. Aku hanya menjawab seadanya kalau aku memang sedang berjalan-jalan di sekitar sini.
           Sepertinya Arthur sudah selesai bekerja. Katanya di musim panas waktu bekerjanya menjadi lebih singkat, karena cuacanya sangat panas. Jadi sekarang dia punya banyak waktu untuk bermalas-malasan. Tidak, seharusnya kita bisa memulai mencari tahu soal penawar itu. Kita tidak boleh membuang waktu. Kulihat Arthur sangat lelah. Dia berkeringat. Cuacanya sangat panas, tapi utnungnya masih ada hembusan angin segar disini. Kami yang duduk berjauhan tidak banyak bicara. Lalu Arthur bangkit dan duduk disebelahku setelah meminjam sebuah gitar milik Mr O’cornwell.

“Hmm... Jadi, lagu apa yang biasa kau dengar?”

“Um... Dulu aku suka mendengarkan lagu-lagu One Ok Rock.”

        Arthur mulai memetik gitarnya sembarangan, mungkin sedang mengetes nada.

“Oh, baiklah, One Ok Rock. Um... Hmm.. Lagu apa itu?”

“Ah sudahlah, mainkan saja lagu apapun yang kau bisa.”

“Kalau begitu bagaimana dengan Love Me Tender?”

“Ct, seleramu kuno sekali.”

         Aku menekuk kedua lutut dan menaruh kedua lenganku diatasnya. 

“Kalau Somewhere Over The Rainbow ?”

         Pria itu menaikan sebelah alisnya, masih belum mendapat nada yang tepat sepertinya, tangannya sibuk pada alat pemutar.

“Itu juga lagu kuno. Baiklah, itu tidak buruk.”

          Melodi yang keluar dari setiap petikan jemari tangannya yang lihai terdengar sangat merdu, hingga terdengar akrab ditelingaku. Tapi, tidak dengan suaranya. Suara Arthur fals, aku tidak tahan lagi. Dia merusak lagunya. Ini membuatku ingin tertawa. Mungkin suaraku juga terdengar fals, tapi aku yakin masih lebih baik darinya. Dan aku berusaha menikmatinya. Lirik lagu ini begitu menyentuh. Jika memang ada suatu tempat dibalik pelangi, aku sungguh ingin pergi kesana. 

      Hembusan angin menyibak rambutku sehingga membuat Arthur bertanya mengenai goresan di pipiku. Ini bukan apa-apa. Dia tidak perlu begitu khawatir seolah-olah luka ini begitu parah. Aku tidak mau ada adegan seperti waktu di apartemenku kemarin. Memalukan. Sudahlah, abaikan saja.
“Sudahlah, ini tidak sakit. Kau tidak perlu terlalu perhatian padaku. Itu, kau dipanggil Mr O’cornwell.”
“Baiklah kalau begitu.”

        Arthur menaruh gitar itu disampingku dan masuk kedalam. Aku masih diluar dengan pikiran dan pandangan yang kosong. Ditemani angin segar yang semakin kesini semakin kencang. Aku melihat sesuatu dibalik sebuah pohon. Ada sebuah cahaya disana. Lalu sesuatu mengagetkanku, membuatku terperanjat. Marshie. Dia melompat turun dari atas atap dan langsung berlari setelah melirik kearahku. Semakin kukejar Marshie malah semakin menjauh. Larinya sangat cepat. Marshie berlari ke arah sebuah pohon. Dari jauh, dedaunan pohon itu bergoyang-goyang karena tertiup angin kencang. Kemanapun Marshie berlari asal aku bisa menangkapnya aku akan tetap mengejarnya. 

          Marshie menghilang dari balik pohon itu. Aku menengok ke atas karena siapa tahu Marshie naik kesana. Tidak ada. Aku memutari pohon ini berulang kali dan masih tak menemukan Marshie. Ini aneh. Kenapa Marshie tiba-tiba menghilang? Ada suara gemerisik disekitar pohon ini, tapi karena daunnya yang lebat aku tidak bisa menemukan apapun.

“Merindukanku?”

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar