Selasa, 09 Agustus 2016

Hello, goodbye...

9-8-2016


Aku tidak begitu ingat kapan tepatnya aku mengenal pemuda itu. Dia berperawakan tinggi dengan berat yang tidak bisa disebut berisi, atau lebih tepatnya cukup kurus untuk lelaki seusianya. Kulitnya berwarna coklat tapi tak begitu gelap. Gaya rambutnya yang berantakan seringkali menutupi dahinya yang lebar. Ketika berjalan, badannya sedikit membungkuk dan tatapan yang selalu menghadap kebawah.


Sebenarnya aku tidak terlalu sering memperhatikannya sehingga aku tidak tahu seperti apa sifat lelaki itu. Dia cukup sering datang ke rumah kakak perempuannya di sore hari dengan menunggangi sebuah sepeda motor keluaran terbaru kala itu. Warnanya hitam dengan garis merah dibagian body-nya.

Rumah kakak perempuannya dengan rumahku tepat bersebelahan, sehingga setiap kali pemuda itu datang aku selalu mendengar suaranya. Entah itu suara dari bibir mungilnya ataupun suara yang keluar dari sebuah benda berbentuk persegi panjang dengan lagu dangdut 'pengemis cinta' yang sering kali dia putar.

Setiap sore hari, sekitar pukul empat sampai setengah enam aku biasa memanfaatkan waktu untuk bermain dengan sebuah netbook berwarna merah di teras rumahku, bersandar pada tembok pembatas antara rumahku dan rumah kakak perempuannya. Sambil memutar beberapa lagu kesayangan, terkadang aku mengeraskan speaker handphone-ku dengan sengaja hanya untuk mencari perhatian. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa lagukulah yang paling keren daripada lagunya, bahwa selera musikku lebih tinggi daripada musiknya. Bahwa aku adalah perempuan pecinta musik rock dari kebanyakan perempuan yang hanya suka musik pop. Begitulah sepertinya caraku menarik perhatian.

Satu hal yang membuatku merasa heran bahwa ternyata dia tidak mengingat namaku. Padahal kami pernah pergi lari pagi bersama jika dia mengingatnya. Waktu itu aku masih duduk dibangku kelas delapan. Jika kembali ke masa itu, seharusnya dia tahu bahwa kami telah mengenal sejak lama. Tapi sayangnya dia tidak pernah memanggil namaku.

Suatu pagi disaat tanganku tengah mengayun sebuah sapu dari ruang tengah menuju teras, aku mendengar pemuda itu memanggilku dengan sebutan 'teteh'. 
"Teh, obatnya udah siap belum?".
Begitulah ucapnya. Dia bicara dari arah tembok pembatas rumahku dan rumah kakaknya. Itu adalah kalimat pertama dan mungkin satu-satunya padaku. Kala mendengarnya, alisku mengkerut, pikiranku berkelana. Apa dia bicara padaku? Kenapa dia sebut aku teteh, apa aku terlihat lebih tua darinya? Apa dia tidak ingat namaku? Dua detik kemudian aku menjawabnya,
"Ah, bentar dulu."
Aku menaruh sapu di samping jendela dan pergi ke dapur untuk menyampaikannya pada mamah. Lalu aku kembali dan menyampaikan jawaban dari mamah.
"Bentar lagi, a. Tungguin aja ya."
Jawabku sekenanya, tentunya dengan nada yang sekiranya terdengar ramah dan senyum aneh yang kupaksa untuk keluar.
Mamahku seorang penjual obat tradisional, dan dia cukup sering membelinya.

Hari kamis, aku mendengar pemuda itu dibawa ke rumah sakit. Kakaknya bilang, sakitnya kambuh, beberapa klinik tidak sanggup untuk mengobatinya karena keterbatasan alat. Aku tidak tahu kalau pemuda itu ternyata mengidap sebuah penyakit berat sehingga menggerogoti tubuhnya perlahan-lahan. Dari yang kulihat selama ini tubuhnya memang terlihat semakin kurus apalagi setelah kepergian ibunya.

Empat hari kemudian, aku, kakak, dan mamah pergi ke rumah sakit untuk menjenguknya. Perasaanku resah, ngilu, dan iba melihat kondisi pasien di ruangan itu yang terlihat menyedihkan. Aura rumah sakit selalu menyeramkan, aku tahu kenapa orang-orang begitu tidak menyukainya.

Sebuah selang infus tertancap di punggung tangan sebelah kanan, urat-urat hijau itu menonjol seperti cacing. Disana sebuah selang juga terpasang di hidungnya. Udara yang panas, sesak, seolah menggambarkan bahwa ini belum seberapa dari sakit yang dia rasa. Katanya, ruangan untuk penderita penyakit paru-paru memang sengaja dibuat seperti itu agar pasiennya berkeringat.

Mamah dan kakakku sedang asyik mengobrol, sedangkan aku hanya sibuk mengamati keadaan sekitar ruangan dengan tubuh-tubuh kurus terbaring di masing-masing ranjang. Salah seorang pasien mengeluh kesakitan, dia seorang perempuan yang tak bisa kuperkirakan berapa usianya. Perempuan itu mengerang, membuat suasana ruangan ini semakin mencekam. Betapa tersiksanya mereka.

Pemuda itu duduk diranjangnya sambil mengusap-usap tangan, dahi, dan bagian lainnya yang berkeringat. Dia sama mirisnya seperti pasien yang lain, hanya saja sepertinya dia berusaha terlihat tegar dan kuat di depan kami. Matanya yang sayu dan cekung tak bisa menyembunyikan itu. Aku mendengarnya mengatakan sesuatu saat pikiranku kembali pada sosoknya. Dia tertunduk sambil memandangi jemari tangannya yang membengkak.
"Kemarin di kamar sebelah ada yang lewat."

Ya, ruangan itu memang memiliki dua kamar yang di pisah dengan sebuah tirai. Pintu masuk berada diantara kedua kamar itu. Sebuah toilet khusus perempuan dan laki-laki berdiri di masing-masing kamar.
"Udah, jangan mikir yang aneh-aneh, cepet sembuh cepet pulang ke rumah."
Mamah memberi penekanan pada setiap katanya. Tapi aku tidak mengerti apa maksudnya karena jawaban dari mamah terdengar tidak nyambung.

Aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya sejak minggu itu, dan ternyata pemuda itu telah pulang ke rumah ayahnya di desa sebelah. Hingga pagi itu, aku mendengar beberapa tetangga berkumpul di depan rumahku dan membicarakan sesuatu. Terdengar sangat serius hingga volume tv aku turunkan sekecil mungkin. Aku segera mengabarkan hal yang baru saja aku dengar pada mamah dan kakakku dengan perasaan gugup yang berusaha aku tekan.

Siang harinya, setelah kakaknya kembali ke rumahnya, dia bicara pada kakakku, menceritakan bagaimana berita buruk itu berlangsung. Aku turut mendengarkan sambil pura-pura tak acuh dengan duduk bersantai di teras luar. 

Ketika pemuda itu hendak di bawa ke rumah sakit menggunakan sebuah kendaraan kayuh beroda tiga, nyawanya sudah melayang.

Aku turut bersedih, dan tentunya merasa kehilangan. Tapi jika itu cara Allah untuk menyembuhkan sakitnya dengan cara memanggilnya, kurasa itulah kesembuhan yang sesungguhnya.

Aku sering kali berdoa untuk kesembuhannya, dan doaku itu ternyata tidak terkabul. Tapi aku tahu Allah lebih tahu apa yang Dia rencanakan. Dan semua itu adalah yang terbaik.




7 komentar:

  1. Dih yawlah nyesek dah. Innalillahi wainnalillahiroziun. Sekoga amal ibadahnya diterima disisiNya. Imahna gigiren mnh nu rapet tea?

    BalasHapus