Jumat, 05 Agustus 2016

Bailoch:10 End

FINAL!!
Duuhh brasa gak enak badan sebenernya buat pos endingnya. Agak-agak merinding gini ya.. Soalnya rada ekhm, uhuk uhuk *cough. Yaudah deh baca sampe akhir dulu, kalo ada yg ganjel-ganjel di kepala kalian silahkan tulis komentar. :D 💋


Title: BAILOCH
Cast: Edrick || Sarah a.k.a aku || and other support cast
Genre: Mistery, romance, school life

Enjoy!!


...




        Saat aku sadar, aku sangat terkejut karena tiba-tiba di depan mataku telah terbujur ular besar yang tadi menyerangku. Disana, aku melihat Edrick yang tak sadarkan diri. Aku menghampirinya dan mengibaskan tanganku di depan wajahnya. 

“Edrick?”

       Mulutnya mulai terbuka walau matanya masih terpejam. Dia memutar tubuhnya dan berkata dengan lirih sambil perlahan membuka matanya.

“Sarah, aku... ingin... berbaring dipangkuanmu.”

        Aku cukup kaget mendengar hal itu, dan juga bingung sekaligus kesal. Memangnya dia kira aku ini perempuan seperti itu?

“Apa? Tidak, aku tidak mau.”

“Tolong...Sarah..”

     Sebenarnya, aku merasa kasihan, tapi harusnya dia bisa meminta tolong hal lain yang tidak membuatku tersinggung. Dengan begitu mungkin aku bisa menolongnya. Matanya terpejam lagi. Aku hanya terdiam disana dan memperhatikannya. Cukup lama aku duduk disampingnya menunggu dia sadar, tapi pria ini tidak bergerak sedikitpun. Aku mulai cemas, jangan-jangan dia mati? Aku mengibaskan tanganku diatas wajahnya lagi, tapi dia tetap terpejam. Akhirnya karena terpaksa, aku mengangkat kepalanya dan membaringkannya diatas pahaku. Melakukan apa yang dia minta yang menurutnya bisa membantu. Tapi dia masih tidak bangun juga. Lalu aku memegang keningnya, dingin. Ini benar-benar dingin seperti es. Aku bingung apa yang harus aku lakukan karena aku takut dia mati gara-gara aku. 

“Edrick?” 

         Aku mengguncang tubuhnya perlahan. Tidak lama aku mendengar dia bernafas, dan dia mulai bicara sesuatu.

“Sarah, aku suka baumu.”

        Kata-katanya itu membuatku menjadi malu dan kaget. Kenapa dia tiba-tiba bilang aku bau? Apa benar aku memang bau? Tapi kenapa dia bilang menyukai bauku? Aku menjadi sedikit canggung.

“Kau bilang, kau tidak suka bauku.”

“Aku bohong, baumu sangat harum.”

     Semburat merah pasti terlihat di pipiku. Sebenarnya ini pujian atau dia hanya meledekku? Disaat seperti ini mungkinkah dia bercanda? Lagi-lagi Edrick tidak sadarkan diri. Memang, akhir-akhir ini aku melihat wajahnya semakin pucat, kulitnya juga semakin putih. Seperti tidak ada darah di dalam tubuhnya. Dia selalu datang terlambat ke sekolah dan terlihat sakit. Ada apa dengannya?

“Edrick, bangunlah ! Aku akan mencarikanmu obat.”

        Dia mulai membuka matanya perlahan dan menatapku dengan tatapan kosong.

“Aku sangat haus.”

“Kalau begitu aku akan mengambilkanmu air.”

      Ketika aku akan mengangkat kepalanya, Edrick menolak lalu dia menarik tangan kiriku yang terluka. Dia menghirup bau darah dari tanganku lalu lidahnya terjulur dan menjilati bekas lukaku. Spontan, aku langsung menarik tanganku kembali dan menghempaskan orang ini ke tanah. Dia tergeletak disana, terlihat tidak berdaya. Aku merasa bersalah telah melakukan itu. Tapi, aku tidak ingin dia menjilatiku seperti itu. Menggelikan. Aku melihat tanganku menjadi lebih baik. Goresan pisau tadi sedikit memudar, lukaku tidak terasa sakit lagi. Perasaan bersalah semakin besar aku rasakan, Edrick tidak menyakitiku sedikitpun. Dia menolongku dari ular itu dan sekarang lukaku sembuh. Bodohnya aku. Aku menghampirinya dan membaringkannya diatas pangkuanku kembali.

“Maafkan aku. Kau jangan mati.”

         Saat ini yang dia butuhkan adalah darah. Aku harus berkorban. Anggap saja ini sebagai bayaran atas jasanya yang telah menyelamatkanku. Ini tidak akan sakit. Aku mencoba meraih pisau kecil yang tergeletak didekat bangkai ular itu. Aku mengiris jari telunjukku sendiri dan menempelkan jariku di bibirnya. Edrick mulai tersadar, lalu dengan cepat dia menghisap darahku tapi luka di jariku dengan cepat tertutup kembali. Kini, aku mengiris telapak tanganku agar darah bisa lebih banyak keluar. Aku hanya bisa menahan rasa sakit dan ngilu karena pisau berkarat ini sudah tumpul dan aku memaksakan agar pisau ini bisa menembus kulitku. Deru nafas pria ini semakin cepat. Mungkin, dia merasa lebih baik. Tangannya menggenggam tanganku dengan kuat. Lidahnya masih menjilati darahku yang keluar dengan deras. Aku mulai lemas. Tapi tidak lama, rasa sakitku telah hilang dan tanganku kembali seperti semula.

“Aku.. masih.. haus.”

        Tatapan matanya mulai normal. Nafasnya tersengal-sengal. Bibir dan mulutnya kini berwarna merah dipenuhi oleh darahku. Aku mencoba membersihkannya, dia terlihat seperti bayi yang sedang makan dan sekitar bibirnya dipenuhi oleh remah-remah. Tapi, dia menepis tanganku. Mencari-cari lukaku yang lain. 

“Cukup. Aku tidak akan memberimu darahku lagi. Aku sudah cukup kesakitan melukai diriku sendiri.”

“Aku...sekarat..aku butuh darahmu..”

        Ah, benar juga. Darah ular bisa aku ambil. Aku berusaha menarik ekor ular besar itu sambil mempertahankan keadaan Edrick agar dia tidak terjatuh. Akhirnya dengan susah payah aku berhasil menembus kulitnya dan seketika darah mengalir cukup banyak. Di sekelilingku tidak ada tempat apapun untuk menampungnya, jadi aku menggunakan telapak tanganku. Saat aku akan meminumkannya, dia terbangun lalu menepis tanganku dengan kasar.

“Aku tidak suka darah ular.”

         Seketika matanya menyala terang, gigi dan kuku tajamnya mulai muncul. Dia menyeringai padaku. Aku punya firasat buruk bahwa dia akan menyerangku. Tapi, aku harap ini hanya ketakutan biasa seperti sebelum-sebelumnya. Ini bukan kali pertama aku melihatnya menyeringai seolah ingin memangsaku seperti ini. Meski aku ketakutan, aku yakin, Edrick tidak mungkin membunuhku, karena sesungguhnya dia selalu menolongku, menyelamatkanku dari ular itu. Jadi, bagaimana dia bisa membunuhku sedangkan lukaku selalu sembuh olehnya? Meskipun yang aku lihat saat ini adalah sosok Edrick yang agak lain dari biasanya. Lebih buas, lebih menakutkan. Nafasnya memburu. Kembang kempis dadanya sangat jelas terlihat. Yang aku takutkan sebenarnya adalah sorot matanya yang merah pekat. Dalam sekejap dia telah berubah menjadi monster.

     Aku sempat berpikir untuk kabur, tapi sepertinya tidak akan berhasil. Saat aku mengubah posisi tubuhku, dengan sekejap dia telah berada di hadapanku, mendekatkan wajahnya kearahku. Mengendus tubuhku seperti seekor anjing. Lidahnya menjulur dan menjilat sisa darah di ujung bibirnya. Lalu, tersenyum sinis.

“Aku ingin darahmu.”

“Aku tidak mau !”

     Ekspresi wajahnya mulai berubah. Dia mendekatkan wajahnya di depan wajahku sehingga hidung kami hampir saja bersentuhan. Aku menyeret tubuhku mundur perlahan-lahan sampai tembok menahanku.

“Kau tahu kenapa aku selalu menyuruhmu untuk pergi dari rumah ini? Tahu kenapa sapi-sapi pak tua itu mati olehku? Hmm “

         Aku tersentak. Aku mulai mencerna kata-kata itu sambil memutar ulang kejadian-kejadian sebelumnya. Hal-hal aneh yang pernah aku alami, dan ternyata...

“Sapi-sapi itu hanyalah sebagai umpan untuk ular itu agar si pak tua renta yang menyebalkan tidak terburu-buru mengorbankanmu...

...Lalu kau tahu kenapa aku menyelamatkanmu dari ular itu?”

          Sekarang aku mengerti.

“Karena kau adalah incaranku. Mangsa termanis yang pernah aku cicipi darahnya.”

     Tidak. Ini tidak mungkin terjadi. Kenapa? Kenapa Edrick seperti ini? Jadi dia benar-benar akan membunuhku. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku benar-benar terjebak oleh kebodohanku sendiri.

“Edrick, setidaknya aku menganggapmu sebagai teman. Apa kau tidak menggapku begitu juga?”

      Aku tidak tahan melihat seringaiannya. Membuatku ingin menangis. Hal yang mungkin bisa menyelamatkanku hanyalah membuatnya mengasihaniku. Mencari keajaiban seandainya saja itu berhasil. 

             Aku mendorong tubuhnya menjauh dariku agar aku bisa mendapat cukup ruang untuk bernafas. Dia sama sekali tidak mempedulikan perkataanku. Senyuman itu, senyuman yang seharusnya membuat wajahnya menarik kini aku membencinya. Senyuman itu seperti sebuah ancaman untukku.

       Dia mendekat lagi kearahku. Jemari tangannya mencengkram rahangku dengan kuat. Kuku tajamnya terasa perih menggores kulitku. Aku tidak berdaya apalagi untuk melawan. Mulutnya mulai membisikan sesuatu.

“Aku janji ini tidak akan sakit dan kau akan tetap hidup bersamaku. Kau hanya perlu percaya padaku seperti sebelumnya.”

          Haruskah aku mempercayainya lagi lalu setelah itu menyesali kebodohanku sendiri? Kurasa tidak. Saat dia semakin mendekat padaku, jantungku berdebar dengan sangat cepat. Dia mendekatkan wajahnya kearahku dan spontan aku memejamkan kedua mataku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Yang terasa hanya deru nafasnya di sekitar leherku. Tidak lama aku merasakan sesuatu menembus kulit leherku. Terasa sangat sakit seperti belati yang mengoyak dagingku. Aku terbelalak karena rasa nyeri ini tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Di pikiranku hanya terlintas bahwa aku akan mati sebentar lagi. Edrick dengan rakus menghisap darahku sehingga energiku seperti terkuras habis ikut bersamanya. Tidak lama dia mulai melepaskan gigitannya. Seketika tubuhku melemas dan limbung ke tanah.

            Aku menatapnya dengan pandangan kabur. Mataku sudah tidak bisa berfokus pada apapun. Dengan samar, aku hanya melihatnya mengusap bibir yang dipenuhi oleh darahku lalu tersenyum puas. Ini tidak adil.

“Darahmu sangat lezat, membuatku merasa lebih kuat. Tapi aku tidak mengerti, sejak awal lukamu selalu sembuh seketika. Sebenarnya apa yang membuatmu seperti itu, huh? Biasanya mangsa lain akan langsung mati oleh gigitanku.”

        Aku tidak bisa berkata apapun. Memang benar, tidak ada bekas luka dileherku, seperti biasa. Tapi aku tidak ingin memikirkannya, aku tidak peduli. Aku berusaha bangkit dengan sisa tenaga yang ada. Aku harus cepat pergi dari tempat ini atau dia akan bertindak lebih jauh lagi. Kakiku yang lemah ini berusaha agar bisa menopang seluruh tubuhku. Aku mencoba untuk berjalan perlahan. Makhluk mengerikan itu hanya memperhatikanku. Meski aku tidak mati, tapi masih ada kesempatan baginya untuk membunuhku. Bukankah itu yang dia inginkan?

      Aku sudah berjalan beberapa langkah menjauh dan sampai saat ini aku tidak melihat tindakan apa-apa darinya. Mungkin saja dia merasa iba padaku sehingga membiarkanku pergi. Tapi ternyata tidak. Tidak lama dia muncul di hadapanku dengan cepat, dengan sosok manusianya. Dia telah berubah. Tidak ada lagi taring dan kuku tajamnya, mata merah itu telah berubah menjadi biru seperti langit cerah tanpa awan, seperti lautan tenang tanpa buih. Aku merindukan wujudnya yang seperti ini. Dia menatapku dengan mata itu dan segaris tipis tersimpul di bibirnya.

“Pergilah, aku tidak mau melihatmu lagi !”

       Bila aku mengingat bahwa Edrick adalah makhluk buas itu, aku benar-benar membencinya. Tidak peduli seperti apa wujudnya sekarang, aku tetap akan membencinya.

         Perlahan aku melihatnya mengangkat tangan kanannya, lalu menutup kedua mataku. Aku mendengarnya berbisik di telingaku.

“Kau ingat semilir angin yang terbang diantara celah daun-daun pohon sycamore? Yang membelai rambutmu dengan lembut dan membuat matamu terpejam malam itu. Seperti itulah apa yang kulakukan, maka kau akan terus mengingat hal ini.”

       Tidak lama aku merasakan sesuatu menyentuh bibirku. Jantungku berpacu dengan cepat. Ini seperti mimpi, karena yang bisa kulihat hanya gelap. Tapi seperti nyata karena sentuhan itu terasa begitu hangat.



                                        *   *   *


               Dear momokochi

         Sebenarnya ingin kulupakan saja semua yang pernah terjadi selama ini. Tapi, saat kulihat sosok itu pikiran ini selalu memaksaku untuk kembali memutar segalanya, sentuhan manis itu. Salju yang turun dengan ringannya menutupi pandanganku dari pemandangan di luar jendela. Edrick, telah membuatku jatuh cinta, tapi semua rasa ini harus aku kubur dalam-dalam.



                                              *   *   *


          Saat aku sadar dari kondisi kritisku, papa terlihat sangat bahagia. Dia memelukku, terasa sesuatu yang hangat menetes dipundakku. Sekarang aku tidak perlu menceritakan semuanya, dengan sendirinya papa telah melihat ketidakmungkinan itu memang nyata. Setelah keluar dari rumah sakit papa membawaku ke suatu tempat yang bukan arah menuju rumah. Papa bilang, kami sudah tidak tinggal di kastil itu lagi, tapi ke sebuah bangunan berlantai dua belas di kota ini, apartemen. 

        Beberapa hari kemudian setelah kondisiku sudah membaik, papa mengajakku pergi ke rumah Mr Rudolf dan mungkin hari ini akan menjadi kunjungan terakhirku. Pria tua itu jatuh sakit. Aku duduk di samping tempat tidurnya yang tidak empuk itu. Mr Rudolf terlihat sangat tua dan tidak berdaya. Badan kurusnya memperlihatkan lekukan demi lekukan tulang dan urat hijaunya. Aku merasa kasihan, tapi bila aku mengingat perlakuan jahatnya padaku, rasa iba ini mulai menghilang. Tangan lemahnya memegang tanganku dengan gemetar, dia meminta maaf atas semua kesalahannya padaku. Tapi aku tidak yakin, bisakah aku memaafkannya? Aku hanya terdiam saat perkataan maaf itu berkali-kali terucap dari bibirnya yang pucat, hingga suara paraunya perlahan mulai melemah sampai hembusan nafas terakhirnya.

        Langit sore yang cerah seakan tersenyum dalam kondisi berkabung ini. Mr Rudolf memang tidak punya banyak saudara, sehingga saat-saat terakhir dalam hidupnya seakan tidak banyak orang yang peduli. Beberapa pelayat dari desa yang sepi ini meninggalkan pemakaman sesaat setelah jenazah pria itu masuk ke liang lahat. Hanya aku, papa, dan Mrs Rudolf yang masih tertinggal disana untuk beberapa menit. Kasihan Mrs Rudolf, kini dia harus tinggal sendirian menjalani hidupnya sampai dia menyusul suami tercintanya kelak.

          Aku berjalan sendirian, meninggalkan papa dan Mrs Rudolf yang masih berdiri disana. Sebuah pohon besar yang terlihat angker berdiri kokoh di sudut pemakaman, pohon itu terlihat bergerak-gerak, burung-burung gagak nampak terbang lalu kembali hinggap di pohon itu, berulang-ulang. Aku mendekatinya, hanya karena merasa penasaran. Dari balik pohon itu aku melihat sesuatu yang bergelantungan dan melompat-lompat di atas dahan. Tangannya yang lincah tengah menangkap burung-burung gagak itu dan mencabik dagingnya dengan kasar. Lalu bangkai burung itu dilemparnya kemana saja. Tanpa perlu melihat wajahnya aku sudah tahu siapa itu.



                                            *   *   *
      

      Setelah semua kejadian mengerikan itu berakhir kini hidupku menjadi lebih tenang. Papa lebih memberi perhatian padaku daripada pekerjaannya. Dia tidak lagi pulang larut, dan selalu menemaniku makan malam. Kini aku lebih bersemangat dalam menjalani hari-hariku, khususnya di sekolah. Dan aku tidak menyangka, perlahan-lahan harapanku mulai terwujud. Sekarang aku bisa lebih berani menghadapi orang-orang yang selalu membullyku. Tidak masalah jika mereka tetap membenciku, tapi tidak dengan para guru. Namaku selalu muncul di depan mading dan menjadi pembicaraan orang-orang. Setidaknya kini mereka tahu siapa aku. 

        Aku tidak tahu apakah ini keberuntungan atau hanya kebetulan saja, karena akhir-akhir ini hubunganku dengan Edrick menjadi lebih dekat. Dia pernah bilang padaku bahwa kini hidupnya menjadi lebih baik. Kadang, dia menjadi rivalku dalam pertandingan antar grup di sekolah. Tapi kadang juga dia menjadi partnerku dalam beberapa olimpiade. Dari situ kami sering menghabiskan  waktu bersama, membahas materi atau sekedar bercerita hal-hal yang biasa. Sebenarnya, jujur aku merasa senang, sangat. Tapi, perasaanku kini menjadi lain.
   
   Terkadang aku mencuri-curi pandang memperhatikan lelaki itu, dan aku selalu teringat dengan ucapan papa saat kami berkunjung ke rumah Mr Rudolf dulu, saat aku begitu menikmati pemandangan yang ada di hadapanku. Rumah sederhana milik Mr Rudolf sepenuhnya terbuat dari kayu dan dibingkai dengan pagar yang juga dari kayu bercat putih dengan tinggi kurang dari satu meter. Di bagian depan ada sebuah halaman kecil dengan rerumputan liar yang tumbuh di beberapa tempat yang tidak menentu, sisanya hanya batu-batu kerikil dan bunga marigold yang tumbuh segar. Di bagian belakang ada beberapa petak ladang yang ditanami beberapa jenis sayuran. Tidak jauh dari situ ada sebuah kandang sapi sebagai tempat beristirahat sapi-sapinya. Di bagian lain dari tempat itu, hamparan padang rumput yang luas digelar bagai permadani, sinar matahari sore yang nampak malu-malu memilih sembunyi di balik awan, dan sapi-sapi yang gemuk dibiarkan melahap semua rumput segar di sekitar mereka. Jari telunjukku mensketsa seolah tengah melukis pemandangan itu. Lalu papa bilang,

“Melihat apa yang ada di depanmu secara spontan memang selalu terlihat sempurna. Tapi coba perhatikan setiap detilnya, bagian perbagian. Kadang hanya beberapa hal saja yang sebenarnya baik, dan yang lainnya tidak.”

        Aku tidak mengerti dengan ucapannya sampai aku memintanya untuk menjelaskan.

“Lihat, di sebelah Barat sana ada awan gelap yang bersiap mendatangkan hujan. Dan angin berhembus dari Barat ke Timur, artinya awan itu akan menuju kesini. Bayangkan jika keindahan yang kau lihat saat ini harus berakhir hanya karena ada sesuatu hal yang mengganggumu. Pasti kau tidak menginginkan hal itu, bukan ?”

           Aku tidak mengerti perkataan itu sampai aku menyadari bahwa hal itu ternyata benar. Hal itu yang membuatku menyadari bahwa ternyata Edrick bukanlah seseorang yang pantas untuk aku cintai. Melihatnya sekilas memang sangat menarik. Apalagi setelah dia mengubah gaya rambutnya dan cara berpakainnya. Kini dia tidak pernah lagi mengenakan sweater tebal dan newsboy ataupun knit cap lagi di kepalanya.  Dia membiarkan rambutnya yang wangi terkena sinar matahari. Terlihat sangat tampan dibandingkan stylenya yang dulu. Di mata para gadis mungkin dia adalah pangeran, tapi bagiku dia tetaplah seorang monster. Meskipun terlihat indah, tapi sisi buruk pada dirinya membuatku ragu untuk tetap menyukainya. Aku tetap tidak yakin bahwa kini dia benar-benar telah menjadi manusia seperti yang dia katakan padaku. Tapi, kenyataan yang pernah aku lihat ternyata tidak seperti itu. Dia tetap seorang mutan, seseorang yang mengerikan yang bisa saja menghisap darahku lagi ataupun membunuhku suatu saat. Rasa takut itu sampai sekarang masih tetap ada sebaik apapun sikapnya padaku.

           Sepertinya kisah hidupku tidak akan pernah cukup untuk aku tulis. Tentang rumah itu, Edrick, dan desa bernama Bailoch. Entah sampai kapan aku akan mengingatnya. Tentang ciuman pertamaku beserta perasaanku yang kandas. Semua kejadian itu memang berasal dari padang rumput. Padang rumput bisu yang menyuguhkan pemandangan indah namun memberikan cerita yang tak pernah terduga..





Aaaahh endingnya ngambang ya? >< Hehehe,
Maafin kalo bahasanya sulit dipahami, konfliknya gak ngena, susunan katanya amburadul. Ceritanya aneh ya, hahaha... tapi makasih yg udah baca sampe selesai..

I love u..mumumu 💋💋

7 komentar:

  1. Yeayyy finally... selesai baca. Uh fuun fuun ma bebi bala bala~~ Endingnya udah, stop sampe situ aja. Biar sisanya readers yg bikin skenario sendiri, karna ending macamini lebih menenangkan. Komentar aka drabble berchapter udah, ini cuma komen formalitas. Sisanya.. hmmm dede bangga sama bunda :')
    peluk mesra kecup basah. Dirimu berhasil mengaduk-ngaduk hatiku dengan caramu *whut?* hehe xoxo

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apa ini tidak terlalu berlebihan untuk seorang sinti? Jangan bilang gara-gara hampir depresi gak bisa pos koment, hahaha.

      But thanks so much darl, hehe ketchup ketchup 💋💋

      Hapus
  2. Eh bisaa..
    😂 (terharu)
    Next chapter pun...

    BalasHapus
  3. ditunggu chapter selanjutnya

    BalasHapus