Rabu, 17 Agustus 2016

Bailoch chapter 2: 9

Bailoch

Chapter 2

Sarah || Arthur || Edrick || Others
Mystery || Romance
Pg 17




....

“Merindukanku?”

      Sesuatu tiba-tiba saja muncul di depan mataku. Seseorang, dengan posisi terbalik menggantung dari sebuah dahan. Nafasku tertahan. Jantungku hampir saja berhenti berdetak. Tubuhku kaku seketika. Mataku terbuka lebar, tapi apa aku tidak salah lihat? 


“Kenapa kau terlihat ketakutan, apa aku terlihat berbahaya?”

     Edrick melompat dari sana, berdiri di hadapanku. Aku tersenyum. Berusaha menunjukan bahwa aku tidak pernah takut padanya. Aku tahu, ketakutanku adalah kekuatan baginya.

“Kau salah.”

“Bagus.”
     Edrick mulai mendekat kearahku. Dia mengangkat rahangku keatas dengan tatapan siap menghabisiku. Kakiku sudah hampir tak menyentuh tanah lagi. Gemertak giginya terlihat dari rahangnya yang menegang. Urat lehernya melikuk dari kulitnya yang pucat. Lalu wajahnya mulai mendekat ke wajahku. Dia menghirup nafas panjang dan menghembuskannya. Seperti telah mendapat sebuah daging segar. Aku terus memukul tangannya untuk melepaskanku, ini membuatku sulit bernafas, seperti tercekik. Tapi ini percuma, dia tidak melakukannya. Mataku terpejam setelah melihat lidahnya menjulur. Jantungku terus berdegup kencang. Aku tidak sanggup melihat.
      Aku merasakan sesuatu yang basah di wajahku. Kurasa Edrick menjilat luka goresan di pipiku. Aku membuka mata lalu memegangnya. Luka ini hilang.

“Lihat? Aku tidak pernah menyakitimu. Lalu kenapa kau berpikir aku akan membunuhmu kalau kau sangat berguna untukku.”

        Ini hanya sebuah keberuntungan. Mana mungkin aku akan diam saja jika aku hanya dijadikan sebagai makanannya. Suatu saat aku bisa mati ditangannya. Jangan berpikir bahwa dia bisa mengelabuiku selamanya. Itu tidak akan terjadi.

“Kenapa kau melakukan ini padaku?”

“Sudah berapa kali aku bilang, aku sangat menyukaimu.”

“Lebih tepatnya kau hanya menyukai darahku.”

       Pria itu menarik kedua ujung bibirnya menjadi sebuah lengkungan. Tapi sungguh, itu tidak terlihat menarik sama sekali, lebih terlihat mengerikan bagiku.

“Hmm, aku jadi terdengar sangat kejam.”

“Hentikanlah, Edrick. Kau tidak harus meminum darah lagi. Kau adalah manusia. Kau bisa bersikap seperti manusia selama ini. Kau tidak perlu melakukan hal ini lagi.”

“Itu tidak mungkin, Sarah. Aku berbeda. Mana mungkin aku tidak tergiur dengan darah. Itu adalah makananku. Tidak mungkin aku bisa menghentikannya.”

“Kau harus berusaha....”

“Aku tidak mau ! Darahmu sudah menyatu dengan tubuhku. Aku akan selalu merasa haus, karena darahmu telah menjadi candu untukku.”

    Aku benci hal ini. Aku tidak mau mendengarnya lagi. Kenapa bisa ada makhluk segila ini di dunia. Aku benci padanya. Aku tidak bisa membiarkan hal seperti ini terus mengganggu pikiranku. Aku harus bisa menghentikannya secepatnya.

“Aku akan membantumu menjadi manusia normal kembali, Edrick.”

“Itu tidak mungkin.”

        Aku mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Aku memalingkan wajahku kearah sumber suara itu yang terdengar dari balik pohon ini. Disana, Arthur tengah berjalan kearah sini. Lalu aku kembali memutar wajahku, namun tak kudapati Edrick dimanapun.

           Untung saja Arthur tidak melihat Edrick saat itu. Kira-kira apa reaksinya kalau dia tahu bahwa mutan itu adalah Edrick, temannya sendiri. Kulihat Arthur dan Edrick cukup dekat di sekolah. Apa Arthur tidak merasakan ada yang aneh dari sikap Edrick? Jika seseorang sudah tahu sosok Edrick yang sebenarnya pasti akan sangat mudah dibedakan dengan manusia biasa. Contohnya, dari hal yang paling umum dilihat adalah dari kulitnya. Edrick memiliki kulit putih yang pucat. Seperti orang sakit. Dan bibirnya merah. Orang-orang pasti menyangka dia menggunakan pelembab. Kurasa tidak begitu. Dan lagi, jika seseorang lebih jeli melihat senyumnya, gigi taringnya nampak sangat mencolok.

        Aku dan Arthur kembali ke rumah Mrs Rudolf. Aku telah memutuskan untuk menginap disini selama beberapa hari sampai Mrs Rudolf atau papa pulang. Akan lebih mudah mencari tahu tentang semuanya disini daripada harus bolak-balik apartemen-Bailoch. Itu akan sangat melelahkan.
“Ada apa? Kau terus melamun dari tadi.”
“Ah, tidak. Entahlah apa yang kupikirkan.” 
          Akhir-akhir ini aku memang merasa ada yang berubah dari Arthur. Atau hanya perasaanku saja karena aku telah salah menilainya. Semenjak kejadian di apartemenku beberapa hari kemarin, aku selalu merasa agak canggung bila berada di dekatnya. Kuharap ini hanya karena rasa bersalahku. Mungkin suatu saat aku harus melakukan sesuatu untuk menebusnya.

“Aku hanya tidak habis pikir. Aku selalu saja kembali ke tempat ini. Padahal aku sangat tidak ingin. Apakah ini semacam kutukan? Ha lucu sekali.”

“Ada-ada saja kau. Tidak perlu berpikir seperti itu. Anggap saja ini adalah liburanmu yang paling menyenangkan.”
         Ah, tidak mungkin. Tidak pernah ada hal mengganggu yang tidak menghantuiku selama berada disini. Selain karena pemandangannya, kurasa tempat ini tidak begitu berarti. 
“Jadi, apa rencanamu?”

“Tidak ada.”

             Ayolah, kembali ke permasalahan. Jika aku selalu mengulur waktu bagaimana mungkin aku bisa secepatnya menemukan cara untuk menghentikan Edrick. Aku harus memikirkan rencana. Uh, tapi aku bingung. 

       Kelihatannya Arthur sedang memasak sesuatu. Atau dia hanya memanaskan makanan kaleng saja? Baunya cukup menyengat dan membuyarkan konsentrasiku. Perutku yang berbunyi memaksaku untuk berhenti berpikir. Baiklah, aku mengalah. Tidak baik berpikir dalam kondisi perut kosong, bukan? Aku mendekati meja makan. Arthur menoleh dan tersenyum.

        Baru saja satu suapan masuk kedalam mulutku, aku langsung merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan makanan ini. Biasanya aku tahu lebih awal kalau sesuatu itu tidak baik bagi tubuhku. Tapi kali ini tidak. Baunya yang agak aneh membuat penciumanku error. Aku mulai mual, pusing, dan gatal. Badanku terasa panas seperti digigit semut.

“Sarah, apa yang terjadi?”

“Apa yang kau masukkan kedalam makanan ini?!”

“Huh? Apa maksudmu?”

“Aku alergi bawang putih.”
“Astaga ! Maaf. Aku tidak tahu. Kau juga tidak pernah bilang padaku.”
       Kulitku seketika merah-merah, panas, dan gatal sekali. Perutku juga terasa mual. Bukannya melakukan sesuatu, Arthur malah terlihat panik sendiri. Terakhir kali aku mengalami hal seperti ini adalah waktu kelas 2 SD. Saat merasakan hal seperti sekarang aku langsung dilarikan ke rumah sakit. Dan semenjak hari itu, aku benar-benar menghindari makanan yang menggunakan bawang putih. Itulah sebabnya papa lebih sering memasak untukku. Ini benar-benar buruk. Aku lemas.

“Bagaimana ini? Oh, pakailah minyak angin. Mungkin ini bisa membuatmu segera membaik.”
“Itu tidak akan membantu.”
      Tidak ada cara lain selain menahannya. Mungkin aku akan segera pulih beberapa jam lagi.
“Jangan digaruk. Kulitmu bisa lecet.”
“Argh, ini sangat gatal. Kau tahu, aku sangat membencinya !”
“Maafkan aku. Ini karena kebodohanku.”

        Iya, dia memang bodoh, sangat ! Setelah seharian berbaring di tempat tidur, akhirnya perlahan rasa gatalku mulai membaik. Menggunakan air hangat dan mengompresnya pada ruam-ruam kulitku ternyata cukup membantu menghilangkan rasa gatal ini. Aku tidak pernah melihat Arthur sepanik ini, mungkin karena dia begitu merasa bersalah. Aku berjanji, lain kali aku tidak akan pernah memakan masakannya lagi.                                                                                      


* * *


           Hari ini aku meminta Arthur mengantarku ke apartemen, untuk sekedar membawa beberapa pakaian ganti dan uang. Setelah itu, kami pergi untuk membeli kebutuhan makanan. Mereka tidak begitu punya simpanan makanan yang cukup untuk beberapa hari. Jadi, tidak ada salahnya jika aku membelinya bersama Arthur.

     Tidak kusangka, kami bertemu Dena di supermarket. Tapi dia sendirian. Coba tebak, apa yang mereka lakukan. Astaga, mereka begitu terlihat senang sampai tidak menyadari bahwa mereka mengabaikanku sendiri. Jadi, kalau kondisinya seperti ini aku harus ikut senang atau bagaimana? Sepertinya tidak penting apa yang harus kulakukan, mereka tidak menyadarinya, tentu saja. Arthur sepertinya menyukai Dena, dan Dena nampaknya juga begitu. Jadi, sudah jelas, mereka saling menyukai. Hanya saja, haruskah aku hanya menjadi penonton disini?

           Aku menyikut pinggang Arthur dan berbisik padanya. Mungkin jika aku memberi tahunya kabar gembira ini dia pasti akan merasa senang.

“Hei, Dena sudah putus.”

“Benarkah? Kapan?”

       Raut sumringah memenuhi wajahnya seketika.

“Mana aku tahu. Dia hanya bilang itu padaku. Bukankah itu bagus? Kau menyukainya, kan?”

“Um....”

“Ini kesempatan yang bagus untuk mendekatinya. Belikanlah dia sesuatu yang dia sukai.”

        Arthur menunjukan kedua jempolnya padaku, ternyata dia dengan mudah menerima pendapatku. Semoga saja aku tidak salah telah melakukan ini. Tapi, bukankah itu malah akan membuat mereka menajuhiku? Semoga saja tidak, kumohon.

“Kau benar-benar datang sendiri, Dena?”

“Tidak juga, aku bersama...Itu dia.”

      Uh, Edrick. Tunggu, ada seorang yang menggandeng tangannya ternyata. Si cantik Beau. Ah, yang benar saja. Apa-apaan ini? Pertanda buruk.

“Wah, tidak kusangka ternyata kita bisa berkumpul disini, ya. Manis sekali, bukan? Ini semacam double date, ditambah seorang jongos. Ahahaha. Ups.”

            Dasar perempuan sinting ! Sabar. Aku tidak perlu meladeni nenek sihir seperti dia. Bisa-bisa aku ikut sinting. Semua orang terdiam, lalu menatapku. Tapi maaf, aku tidak berniat untuk membuang waktuku disini bersama mereka. Aku akan pulang secepatnya, dengan atau tanpa Arthur. Bukannya aku takut pada perempuan itu, aku hanya takut tinjuku menodai make up menornya. Itu saja. Tanganku bisa alergi.

    Arthur memanggilku. Sepertinya dia mengejarku. Maaf Arthur, aku tidak bisa menoleh kearahmu. Kakiku harus melangkah. Situasi seperti ini membuatku tidak nyaman. Kau tidak tahu dengan masalahku, ada Edrick disana. 

              Bila diingat-ingat, kata-kata perempuan itu ada benarnya juga. Mereka seperti pasangan berkencan, dan aku, dengan barang bawaan sebesar ini, pantas saja dia bilang aku seorang jongos ! Memang cocok. Ayolah, tidak perlu sakit hati dengan ucapan itu. Dia sudah mendapatkan Edrick, lalu kenapa sikapnya masih seperti itu padaku? Aku tidak pernah melakukan kesalahan padanya. Atau dia takut Edrick berpaling kearahku. Oh, konyol sekali. Dia tidak perlu melakukan semua ini, selama ini. Ambil saja dia, aku tidak peduli.

        Dena berhasil mengejarku dan menarik tanganku. Dia meminta maaf padaku tentang hal yang sebenarnya tidak perlu dia lakukan. Nenek sihir itu adalah teman Dena, tapi dia bukan temanku. Pasti Dena berada diposisi yang membingungkan. Ini bukan salahnya. Dia meminta maaf karena tak mampu membela disaat Beau menghinaku. Tak masalah, aku sudah biasa mendapatkan perlakuan seperti itu. Dan selama ini aku bisa mengatasinya sendiri. Dena mengajakku berkeliling untuk melupakan masalah tadi, tapi aku tidak mau. Dan Arthur juga memaksaku. Baiklah, dengan sedikit terpaksa.

        Aku menghembuskan nafas berat. Lama sekali. Haruskah kencan pertama mereka aku temani seperti ini? Arthur dan Dena sedang berada di sebuah butik. Sedari tadi aku hanya menunggu mereka di luar toko.

“Hai, sendirian saja?”

            Sudah kubilang ini akan menjadi hari yang buruk untukku. Kenapa dia bisa menemukanku dimanapun? Ah, tidak perlu ditanyakan. Langkah kakinya mulai mendekat kearahku, tubuhku bergerak ke belakang secara spontan.

“Kenapa sikapmu aneh begitu. Apa ada yang salah denganku?”

“Mau apa kau kesini?”

“Pacarku sedang ke toilet. Dan kau pasti tahu berapa lama waktu yang dihabiskan perempuan untuk pergi ke toilet.”

             ‘Pacarku?’ Manisnya.

“Itu bukan sebuah jawaban.”

“Hei, Sarah. Bukankah aku sudah terlihat seperti manusia normal? Itu bagus, bukan? Bukankah seperti ini yang selalu ingin kau lihat?” 

“Aku tak peduli.”

          Aku memalingkan pandangan. Edrick tidak bicara lagi. Dia masih berdiri disitu dengan.. senyuman. Sesekali aku meliriknya, lalu berpaling lagi. Dia masih sama. Ini sungguh membuatku tidak nyaman.

        Untung saja Dena dan Arthur cepat keluar. Dan situasi mengerikan ini bisa segera berakhir. Edrick melambaikan tangan padaku, tidak, pada kami bertiga. Dia bilang, ‘sampai bertemu lagi’, dan itu adalah kalimat terhorror yang pernah kudengar hari ini. Dia pasti akan datang lagi untuk mencuri sesuatu dariku.

           Arthur menawari Dena pulang bersamanya. Tapi untungnya Dena menolak dan memilih untuk naik taxi. Seandainya saja Dena menerima tawaran itu, pasti akulah yang harus pulang naik taxi atau menunggu beberapa puluh menit sampai Arthur kembali menjemputku. Ini sudah cukup sore, sedangkan kami pergi sejak pagi hari. Bukankah ini telah menghabiskan banyak waktu?
Kami menunggu sampai taxi Dena datang. Lalu sesuatu yang tidak pernah kuduga terjadi begitu saja. Sebuah ciuman singkat di pipi kirinya. Dena baru saja melakukannya pada Arthur. Oh, ini diluar perkiraanku. Ternyata Arthur mendapatkannya lebih cepat dari yang kuduga. Rasanya seperti ada sesuatu yang um... aku hanya sedikit, entahlah. Mungkin karena mereka melakukan itu di depanku, aku jadi ikut terkejut. Arthur memegangi pipinya sambil menahan senyuman yang malah membuat kedua pipinya merona merah. Itu membuat Dena tersenyum geli. Arthur tak mengatakan apapun, sepertinya dia membeku. Atau begitu senangnya sampai tak mampu berkata-kata.


* * *


“Kau diam saja dari tadi.”

         Aku tidak menjawab. Mungkin aku terlalu lelah untuk bicara. Atau malas. Atau sedang tidak dalam mood yang baik. Atau aku memang tidak ingin bicara padanya.

     Setelah membereskan belanjaan. Arthur menghilang. Tak lama, kulihat dia muncul dari dalam kamar rahasia itu. Arthur langsung menarik tanganku dan mengajakku kesana.

“Ada sesuatu yang belum kau ketahui. Aku ingin menunjukkannya padamu.”

     Benar. Inilah yang harus menjadi fokus untukku. Mencari beberapa petunjuk. Sementara ini buanglah jauh-jauh perasaan-perasaan mengganggu ini yang seharusnya tidak perlu dipikirkan. Tidak penting.

     Kami berjalan menuruni tangga menuju ruangan itu. Arthur masih menggenggam tanganku dan berkata untuk tidak takut pada sesuatu yang akan ditunjukkannya. Kurasa tak perlu seperti ini. Ruangan ini masih sama, tak ada yang berubah. Lalu kami masuk ke dalam ruangan yang kupikir adalah toilet. Ternyata bukan. Ketika kakiku melangkah semakin dalam, ada sebuah peti besar yang terbujur disana. Perasaanku mulai tidak enak. Bercampur rasa penasaran kira-kira apa yang ada didalam peti itu. Mayat seseorang atau rahasia lain? Arthur membawaku semakin mendekat, sampai peti itu benar-benar berada di depan mataku. Jantungku mulai berpacu ketika Arthur perlahan mulai menggeser bagian atas peti itu. Salah satu dugaanku benar. Dan aku tak bisa menunjukkan rasa takutku karena rasa terkejutku lebih besar. Seseorang berpenampilan rapi dan bau jenazah yang khas menyeruak kedalam hidungku. Mr Rudolf !

          Aku tak pernah menyangka bahwa Mr Rudolf tak pernah benar-benar dimakamkan. Jadi waktu itu, acara pemakamannya ternyata palsu? Arthur bilang padaku bahwa Mrs Rudolf tidak pernah memberitahunya tentang semua ini. Bahkan tentang ruang rahasia ini. Semuanya Arthur temukan secara tidak sengaja. Dia juga bilang, bahwa pikiran Mrs Rudolf sebenarnya agak terganggu semenjak kematian anak perempuannya. Tapi, dia tidak pernah melakukan tindakan yang buruk. Mungkin saja, Mrs Rudolf tidak mau kehilangan orang yang dia cintai untuk yang kedua kalinya.

          Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan disini. Aku juga sebenarnya tidak mengerti untuk apa Arthur menunjukkan hal ini padaku. Lebih baik aku tidak mengetahuinya. Yang kami lakukan hanya memandangi sebuah jenazah yang pucat. Kupikir ini tidak ada gunanya sebelum Arthur merogoh sebuah kantung dari jas hitam yang dikenakan pada Mr Rudolf. Dia menemukan sebuah kertas dan membuka lipatannya. Dia menujukkannya padaku sebelum membacanya. Tulisan yang tertera di kertas itu kata Arthur adalah tulisan Mrs Rudolf. Seperti pesan terakhir yang ingin disampaikan pada Mr Rudolf. Aku tak begitu menangkap isinya. Hanyalah sebuah pesan singkat dari sang isteri kepada suaminya, kukira itu tidak begitu membantu dalam masalahku. Aku lebih memilih untuk keluar dari tempat ini secepatnya.

        Aku yakin, beberapa dari buku-buku ini menyimpan sebuah rahasia, bukan sekedar teori-teori saja. Tapi aku bingung, tak satupun dari yang kukira adalah salah satu dari yang kuharapkan. Aku duduk sambil membuka satu persatu buku-buku yang telah kukumpulkan. Arthur ikut duduk di sebelahku. Setidaknya meskipun tidak memberikan pendapat, dia tetap membantu mencari petunjuk yang kubutuhkan.

“Arthur, aurora seperti apa yang dimaksud Mr Rudolf yang ada pada diriku? Aku tidak mengerti apa yang membuatku berbeda.”

“Entahlah. Ini hanya pemikiranku saja. Menurutku seperti warna yang terpancar dari diri seseorang.” 

“Maksudnya?”

“Kau tahu, setiap orang memiliki warna tersendiri sejak mereka lahir. Warna itu tak bisa dilihat, tapi kita bisa tahu warna apa yang terpancar dari diri mereka saat kita melihat mereka secara spontan. Beberapa orang terlahir berwarna cerah. Ada yang berwarna silver, keemasan, atau tidak berwarna sama sekali...

... Tapi kau, kau punya sejuta warna yang istimewa.”

“Tapi, kenapa aku tidak merasakan hal itu? Aku tak bisa mendeskripsikan seperti apa warna mereka. Darimana kau bisa tahu?”

“Hmm, Aku hanya tahu saja.”

        Aku mulai bosan. Semua ini tidak begitu membantu. Ingin sekali aku memaki semuanya. Memaki Mr Rudolf seandainya dia masih hidup. Memaki pamanku seandainya dia ada di hadapanku. Memaki Edrick yang telah membuatku tak karuan.

     Tunggu, bagaimana dengan senter itu? Maksudku, bukankah Edrick pernah terlihat begitu ketakutan saat ada sebuah cahaya? Mungkin saja itu adalah jawaban dari semua ini. Hal sederhana bisa tidak terpikirkan jika terlalu terpaku pada hal-hal yang rumit, bukan? Um, tapi apa itu benar? Sampai saat ini Edrick terlihat baik-baik saja di sekolah meskipun itu tempat yang terang.
“Hei, Arthur. Apakah seorang mutan takut pada cahaya matahari atau benda terang lainnya?”

         Pria itu diam saja, matanya bergerak-gerik membaca sebuah buku yang ada di tangannya. Dia nampak asyik sendiri dan tidak menghiraukanku.

“Kebetulan sekali. Lihat ! Aku menemukan apa yang baru saja kau tanyakan. Bacalah.”

         Arthur memberikan buku itu. Ternyata aku salah. Seorang mutan tidak anti pada cahaya matahari. Menurut buku yang aku baca yang merupakan catatan dari ketiga peneliti itu, seorang mutan pada dasarnya tetaplah seorang manusia. Dia tetap memiliki fisik layaknya manusia. Namun disisi lain, secara sadar ataupun tidak sadar dia bisa berubah menjadi seorang mutan dan kembali lagi pada wujud aslinya sebagai manusia. Dia memiliki hak penuh mengendalikan dirinya untuk menyesuaikan dengan lingkungan dimana dia berada. Ketika orang itu berubah menjadi mutan, itu akan membuat matanya menjadi sensitif terhadap cahaya. Namun ketika dia menjadi sosok manusia, kulitnyalah yang menjadi sensitif terhadap cahaya matahari.

“Kurasa aku tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini. Jawabannya sudah jelas. Tidak ada cara lain untuk membuat mutan itu kembali menjadi manusia biasa selain mengorbankan diriku sendiri.”

          Aku mulai putus asa. Buntu, gelap, dan lelah. Arthur memegang kedua pundakku, memutarnya sehingga kami saling berhadapan.

“Jangan khawatir, ada aku disini. Kita bisa melakukannya bersama.”

          Iris kelabu itu menyiratkan sebuah harapan, tapi apakah aku bisa mempercayainya? Untuk percaya pada diriku sendiri saja aku ragu. Arthur hanyalah salah satu dari sekian banyak orang asing yang tiba-tiba bersedia menjadi temanku. Tidak terlalu banyak aku mengenal seperti apa dirinya. Aku masih belum bisa membedakan mana orang yang benar-benar bisa dipercaya dan mana yang hanya berpura-pura lalu akhirnya berkhianat. Aku masih meragukannya. Arthur tidak seharusnya menjadi tempatku untuk berbagi segalanya. Dia tidak terlihat benar-benar peduli padaku. Terlalu tak acuh untuk mengatakan bahwa dia akan melindungiku. Sekali lagi, jika aku menatapnya, dia hanyalah orang asing.


Ada yang janggal kah? Bingung kah? Silahkan kasih masukan. :D

12 komentar:

  1. Haduhhh... entahlah...
    Speechless...

    Tapi... aku sedikit kecewa karena Arthur tertarik pada Dena.😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin karena Dena lebih jangkung 😂

      Hapus
  2. Mungkinkah arthur itu sebenarnya jenius, hanya saja dia pura-pura bodoh?? ahh..... asli bikin penasaran ae.

    sepertinya saya tau siapa anak perempuan yang menggendong marshmellow yang berada di kastil bekas rumah tinggal sarah. mungkin dia anak mr rudolf yang gagal jadi mutan kemudian mati. dan sekarang jadi "hantu gentayangan" :b

    BalasHapus
    Balasan
    1. Arthur sedang menyembunyikan sesuatu kayaknya.jadi pura-pura polos gitu.padahal Fisik sama tingkahnya gak pantes bgt, lol XD

      Hapus
  3. Sebel pisan pas bagian anak perempuam melambai di lantai 2, maca bagian eta pas jam 11 lewat pan jadi asdfgjkl. Baru mau nanya siapa dia, udah ada jawabannya ternyata. Arthur agak, eh emang iya sih, mencurigakan. Pasti ada bantal di balik selimut. Btw nu tanda pemisah te katempoan, soalna buka versi web tea, kirain gaada padahal di gigir. Kritik udah kan, disini mah formalitas biar gak jadi sider he. Tenang, ceritamu ada perkembangan kok walau gak terlalu kentara. Kaya, storyline-nya lebih kerasa detailnya jadi lebih bisa menikmati. Te minta buru2 update, fokus aja biar ngedit na gaada yg ketinggalan. Karena urg nemu typo, bukan salah huruf, tapi jadi kata yg hilang lol. Mangatse!!

    BalasHapus
  4. Cuma urg rada terganggu.. di chapter baraha mah aya kata "menyesap teh". Sumpah... macana rada kumaha meureun.
    Teu bisa mere usulan di ganti kata naon cuma bisa komen doang ..��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada apa dengan kata menyesap teh syal😱😂

      Hapus
    2. Rada kurang sopan nya? Udah diperbaiki ko..tengkyu kritikna😁

      Hapus
  5. Lain teu sopan.
    Rada ngewa teaaa😂

    Otte😁

    BalasHapus
  6. Lain teu sopan.
    Rada ngewa teaaa😂

    Otte😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah baca dikamus artinya emang rada kurang pas kitu, hehe untung diingetkeun👍

      Hapus