Rabu, 17 Agustus 2016

Bailoch chapter 2: 3

Bailoch 

 Chapter 2 

 Sarah || Arthur || Edrick || Others 
Mystery || Romance
     Pg 17    




        Aku tidak boleh mencoba mengekang pergaulannya. Dengan siapapun dia berteman itu bukan urusanku. Jika dipikir-pikir untuk apa aku repot-repot mengurusi penampilannya jika dia sendiri tidak bersedia untuk berubah. Biarkan saja dia menjadi dirinya sendiri dengan ciri khas rambut berantakannya itu. Biarkan dia mendapat teman yang bisa menerima dia apa adanya. Perasaanku ini, hanyalah perasaan takut bahwa Arthur akan bernasib sama sepertiku.
Sama-sama dari desa, sama-sama dikucilkan karena penampilan.

        Masih larut dengan pikiran bodohku tentang Arthur, sesuatu mengagetkanku. Suara klakson sepeda motor yang tidak asing di telingaku. Pemandangan yang selalu aku lihat hampir setiap hari sepulang sekolah. Pasangan paling serasi sejagat raya berboncengan mesra melintas di samping ragaku yang membeku setiap kali melihat mereka berdua. Beberapa motor sport lain melaju dibelakang mereka seolah mengiringi dua remaja famous itu. Tapi pemandangan aneh yang kulihat diantara mereka adalah, seseorang dengan tampang paling baru yang pernah aku lihat di sekolah ini. Arthur. Sepertinya mereka akan pergi bersenang-senang. Ada apa dengannya? Baru tadi siang dia bicara padaku bahwa kehadirannya tidak diterima dengan baik oleh teman sekelasnya, tapi yang baru saja aku lihat sepertinya mereka tidak melakukan itu padanya, mereka terlihat baik-baik saja.

        Aku hanya punya sepeda, bukan sepeda motor, ataupun mobil. Kelihatannya akulah yang paling miskin di sekolah ini. Sebelumnya aku tidak pernah mempermasalahkan keputusanku yang ingin menggunakan sepeda untuk pergi ke sekolah, tapi perlahan-lahan aku mulai merasa malu. Karena terlalu sibuk berbicara dengan diriku sendiri aku melupakan niatku untuk membeli sesuatu. Sesampainya di apartemen aku baru sadar bahwa aku sangat membutuhkan barang itu. 

* * *

        Aku merasa beruntung telah dipertemukan dengan Marshmallow, kesendirianku sedikit terobati karena aku memiliki teman yang selalu ada di sampingku. Menjalani kehidupan yang normal ini terkadang memang membuatku bosan dan ingin suasana baru. Ketidakmampuanku bersosialisasi dengan orang-orang sekitar membuatku merasa terasingkan di negara ini. Ditambah lagi warna kulit dan rambutku yang lebih gelap, dan beberapa orang dengan sikap yang rasis seperti membuat benteng agar aku tidak bisa masuk kedalam kehidupan mereka. 

        Jika aku punya cukup uang, biasanya diwaktu senggang sepulang sekolah seperti sekarang ini aku selalu menghubungi mama. Tapi kini semakin aku melihatnya semakin terasa jauh, hubungan kami semakin terasa dingin dan hambar. Mama perlahan-lahan seperti mulai membatasi hubungan, membatasi bicara, dan mengakhiri pembicaraan tanpa kata-kata ‘aku menyayangimu’ seperti yang selalu dia ucapkan sebelum kami berpisah dalam waktu yang cukup lama. Kemungkinan terbesar adalah karena mama telah menjalin hubungan dengan seorang pria berstatus duda yang pernah dia kenalkan padaku beberapa minggu yang lalu. Aku tidak merasa sedih dengan hal itu, mama juga berhak bahagia dengan siapapun yang mampu membuatnya bahagia. Bahkan saat itu, aku tersenyum lebar begitu mama mengenalkannya padaku lewat video call dan membiarkan kami bicara beberapa menit. Aku tidak tahu bahwa hal itu ternyata malah menjauhkan mama dariku dan membuat sikapnya berubah. Sepertinya mama telah benar-benar melupakan papa, papa telah tergantikan. Padahal sampai saat ini, papa masih menjaga cintanya untuk mama. Darimana aku bisa tahu? Waktu itu aku pernah membuka dompet papa yang didalamnya berisi foto mama. Di kamar papa, di dalam sebuah laci meja di samping tempat tidurnya, ada sebuah bingkai berisikan fotonya bersama mama yang berlatar belakang pantai Sanur, pantai yang terkenal dengan matahari terbitnya yang indah. Papa mengenakan polo dengan celana pendek selutut dan sebuah kacamata membingkai matanya, sedangkan mama, dengan ciri khas seorang gadis Bali, dia mengenakan setelan kebaya dan kamen berwarna putih, rambutnya yang panjang sepunggung dibiarkan terurai dan tertiup angin pantai sehingga membuatnya terlihat anggun. Saat itu mama masih bekerja di sebuah hotel bernama Inna Grand Bali yang berdiri tepat dipinggir pantai. 

       Sepertinya aku rindu, rindu perasaan dicintai, didekap, dilindungi. Rindu setiap kata yang keluar dari mulut mama. Kini mama semakin sedikit bicara, mungkinkah dia tidak mencintaiku lagi? Ingin sekali rasanya menyalahkan mereka berdua atas apa yang terjadi saat ini. Hidupku terpecah oleh dua orang yang pernah saling mencintai. Aku hanya menjadi korban keegoisan mereka. Seperti seorang yang tidak diinginkan tapi terlanjur hadir di dunia.

           Tanpa terasa mataku mengeluarkan butiran air, menetes diatas bulu lembut Marshmallow yang sedang kuelus. Dia hanya terdiam sambil mendengkur. Meskipun Marshie tidak mengerti apa yang kukatakan, tapi rasanya aku cukup puas telah membagi kesedihanku padanya.

       Sebelum bertanggung jawab atas kesembuhan Marshie, aku selalu menghabiskan waktuku untuk belajar, mengerjakan soal matematika atau sekedar membaca buku. Tapi setelah Marshie hadir dalam hidupku, rutinitasku itu tidak pernah lagi kulakukan. Aku hanya belajar saat malam saja, saat aku benar-benar ingin. Aku pikir bahwa ada saatnya seorang pelajar merasa jenuh dengan tugas dan pelajaran. Harus ada saatnya dimana seorang pelajar menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang. Bersenang-senang? Ya, aku menginginkan itu. Aku penat dengan pelajaran, tugas, dan buku-buku.

* * *

          Dena menggebrak mejaku saat dia baru saja tiba di kelas. Kebiasaannya yang satu itulah yang paling tidak aku sukai darinya. Selain mengagetkanku, dia juga membuyarkan lamunan-lamunan indahku tentang hal yang aku sukai tapi sangat mustahil terjadi di hidupku. Setelah membuatku terhenyap, gadis itu pasti tertawa puas dengan mulut lebar dan deretan gigi putihnya yang rapi di depan wajahku. Aku hanya bisa memutar bola mata atau mendengus mengembungkan kedua lubang hidungku. Dengan gaya tertawanya yang seperti itu, aku bisa melihat sisa makanan tertinggal disela-sela giginya, tapi aku tidak memberitahunya sama sekali. Itu adalah balasan yang setimpal kurasa, meski disisi lain aku juga merasa bersalah.

“Mau sampai kapan kau tertawa?”

“Iya iya, aku sudah puas sekarang. Aku tahu kau itu rajin, Sarah. Tapi berhentilah membaca dan dengarkan aku sekarang.”

Aku meletakan buku paket tebal dari depan wajahku. Tidak, aku tidak serajin yang dia kira. Akhir-akhir ini aku sedang malas untuk belajar. Terlebih setelah mempunyai aktivitas baru yang lebih menyenangkan. Buku ini? Ayolah, ini hanya pencitraan saja untuk menutupi bahwa pikiranku sedang melayang jauh dari apa yang tertulis di buku ini.

“Jika dalam dua menit beritamu tidak menarik, pergilah dari hadapanku.”

Gadis itu mencibir, memajukan bibir bawahnya. Dia mulai menimbang-nimbang hal mana yang akan dia ucapkan terlebih dahulu padaku, sepertinya. Mulutnya komat-kamit tanpa suara, matanya bergerak kiri kanan. Lalu sekilas senyuman terlintas di bibirnya.

“Baiklah, kalau kau tidak suka yang bertele-tele aku akan langsung bilang. Sabtu malam ayo kita pergi ke pesta !”

“Huh?”

“Kenapa kau cuma bilang ‘huh’?”

“Aku tidak mengerti ucapanmu.”

Gadis itu berdecak dan memutar bola matanya sambil melipat tangan di dada.

“Kupikir kau tidak suka bertele-tele, tapi kau tidak setanggap yang kukira. Begini, Sarah. Anak kelas sebelah akan mengadakan pesta kejutan untuk...kau tahu, Niel. Beau mengundangku untuk ikut lalu aku memberitahumu agar kau juga ikut. Mereka dulu teman satu kelasmu, bukan?”

“Ya, tapi aku tidak tertarik.”

“Ayolah, Sarah. Kau itu kurang pergaulan. Kau butuh suasana baru. Apa kau tidak bosan terus-terusan belajar? Lupakan sejenak soal tugas, kau harus bersenang-senang. Bagaimana?”

“Kau benar. Aku memang kurang bersenang-senang.”

“Jadi, kau mau ikut?”

“Tidak. Aku punya ayah yang terlalu melindungi.”

“Apa? Hanya karena itu?”

“Ya, dia tidak ingin aku menjadi, ‘rusak’.”
      Aku memberi tanda kata rusak dengan mengangkat kedua bahu, akupun tak habis pikir dengan apa yang pernah papa katakan padaku.

“Hei, ayah macam apa itu? Kau itu bukan boneka yang harus selalu dipajang di lemari, boneka juga harus dimainkan. Ini wajarlah, anak seumuran kita memang sudah waktunya untuk mencari kesenangan sendiri. Memang ayahmu pikir kita akan melakukan apa sampai membuat kau jadi ‘rusak’? Kita juga tahu batasan.”

“Aku akan menghubungimu nanti.”

“Aku tidak mau tahu. Kau harus pergi bersamaku.”
        Suara Dena menghilang perlahan seiring langkah kakiku yang berlalu. Aku ingin menimbang-nimbang ajakan darinya dan aku butuh udara yang sejuk untuk mendinginkan kepalaku. Dia ada benarnya juga, aku memang kurang pergaulan. Jika aku menerima ajakannya, aku harus memiliki alasan yang kuat agar papa mengizinkanku keluar malam-malam. Tapi entah kenapa aku menjadi sedikit trauma mendengar kata ‘pesta’ semenjak kejadian itu. Kali pertama aku menghadiri sebuah pesta tidak berlangsung baik. Aku diusir. Perlu kutegaskan? Aku diusir ! Apalagi setelah mendengar nama itu yang mengundang Dena untuk hadir, aku semakin tidak menginginkannya. Kehadiranku mungkin tidak diharapkan sehingga dia mengundang Dena, tidak mengundangku. Ini sudah cukup jelas bahwa ada sebuah penolakan terhadapku. Sudah jelas bahwa aku bukan temannya, dan aku tidak mungkin ada di dalam ruang lingkup mereka.

Tanpa sengaja kepalaku menoleh saat aku berjalan melewati kelas itu. Tidak ada yang kuharapkan, hanya saja aku merasa penasaran, tak tahu tentang hal apa. Aku hanya penasaran, apakah seseorang yang memunggungiku itu menjalani harinya dengan baik di sekolah ini? Apakah hari-harinya berjalan sesuai harapan? Kalau iya, berarti dia sungguh beruntung. Dan aku hanya sebagian orang yang terlupakan. Setelah mendapat sedikit pujian darinya, kupikir akan ada hal menyenangkan yang akan aku lewati bersamanya. Mengingat bahwa hari itu kami terlihat begitu dekat dalam beberapa jam saja. Tapi setelah kupikir lagi, pujian itu mungkin hanya basa-basi saja agar tidak ada perasaan canggung diantara kami berdua. Disini begitu banyak gadis-gadis cantik yang bertubuh ideal, berambut pirang, dan berkulit putih. Dan mereka bersinar, sulit sekali menghindar dari pesona mereka, ya sulit sekali, apalagi bagi para lelaki. Terutama lelaki itu.

“Sarah !”

Aku mendengar seseorang memanggilku, langkah kakiku seketika berhenti tanpa menoleh ke sumber suara. Bola mataku menurun, otakku sudah hafal dengan suara itu, jadi aku tidak perlu menoleh atau begitu penasaran untuk melihat wajahnya.

“Kau mau kemana?”

“Kemanapun asal tidak disini.”

Kakiku melangkah kembali, karena aku tahu kami tidak akan bisa bicara dengan tenang tanpa diawasi. Aku benar-benar tidak ingin melihat wajah menor itu karena aku takut tak bisa mengendalikan tanganku untuk tidak menamparnya. Setiap suara yang keluar dari bibirnya itu selalu terdengar menjijikan apalagi isi dari apa yang dia katakan. Aku benar-benar membencinya.

“Tunggu, aku ingin bicara sesuatu.”

“Edrick, kau bicara dengan siapa? Jangan bilang dengan gadis miskin itu lagi.”

Sudah kubilang, kan? Aku selalu ingin menjambak rambutnya yang bau hairspray itu sampai botak seandainya saja aku benar-benar lepas kendali. Gadis itu malah menghampiri kami.
“Kau mengajaknya, ya. Sudah kubilang itu tidak usah.”

“Aku tidak butuh persetujuanmu, Beau. Aku akan mengajak siapapun yang ingin kuajak.”

Hmm, siapapun, ya. Jadi, aku bukan satu-satunya orang yang mendapat undangan khusus darinya? Ya, tak apa.

“Aku hanya khawatir dia akan menghancurkan pesta lagi, kau ingat? Dia itu tidak cocok ada di tempat ramai.”

    Aku memutar tubuhku, menatap gadis itu sesinis yang aku bisa. Dia akan terus menghinaku jika aku tidak bertindak. Seperti yang selalu dilakukannya, dia membiarkan bola matanya bergerak-gerik memperhatikan setiap inchi tubuhku, setelah itu dia akan mendengus, menarik ujung pipinya sambil membuang muka.

“Aku akan datang. Tepat waktu. Kuharap kau tidak terkejut dengan apa yang akan terjadi nanti.”

        Gadis itu memilin-milin rambut kusutnya dan salah satu tangan melingkar di perutnya.

“Huh, apa ini sebuah ancaman? Sepertinya keadaannya akan terbalik.”

Aku segera berlalu dari sana tanpa menghiraukan ucapannya yang terakhir tadi. Tenang saja, aku akan bersikap baik. Tidak usah khawatir aku akan menumpahkan semua minuman lagi. Karena aku akan belajar bagaimana cara menikmati pesta.

* * *

Malam ini aku akan bicara langsung pada papa tentang keinginanku untuk pergi ke sebuah perkumpulan tempat dimana orang-orang seusiaku mencari kesenangan. Selama ini aku tahu apapun yang papa katakan padaku, apa yang dia larang dan dia ijinkan, itu adalah yang terbaik untukku. Tidak sedikitpun dia pernah memarahiku meskipun aku bersalah. Dan dia juga mendukungku dalam segala hal. Aku beruntung. Mungkin mereka juga akan mengatakan hal yang sama padaku, beruntung memiliki ayah yang baik dan pengertian seperti papa. Tapi tetap saja aku merasa ada yang kurang. Bukan karena aku kurang bersyukur, tapi aku hanya ingin satu hal darinya yang sulit sekali dia lakukan padaku. Menemaniku. Dia mungkin selalu khawatir terhadap kondisiku sehingga melarangku melakukan hal ini dan itu, tapi dia juga selalu mengabaikan perasaanku disaat aku butuh sandaran.

        Setiap ayah mungkin sibuk untuk bekerja demi menghidupi keluarga. Tapi keberadaannya di sisiku lebih aku butuhkan daripada materi yang selalu dia beri tiap bulan. Materi tidak akan bisa membeli kebahagiaan. Dan bahagiaku adalah saat bisa berbagi suka duka kepadanya, menjadi seorang anak sekaligus sahabat baginya, yang mampu mendengar semua keluh kesahku. 

      Aku memperhatikan pantulan diriku di cermin. Saat aku tersenyum sekilas sosok mama terlintas di cermin ini. Tapi sedetik kemudian menghilang, yang ada hanya aku seorang. Mungkin aku terlalu merindukannya sampai bayangannya selalu muncul di hadapanku disaat yang tidak menentu. Aku ingin pulang.

        Aku tersentak saat mendengar pintu kamarku diketuk. Akhir-akhir ini aku terlalu sering melamun, entah apa yang aku pikirkan. Mendengar sedikit saja suara, tubuhku melonjak dengan spontan, sampai aku harus mengedipkan mataku berkali-kali untuk sadar pada posisiku. Papa masuk ke kamarku dan menghampiriku yang sedang mematung di depan cermin.

“Sarah, tidak biasanya kau berpakaian seperti ini.”

        Papa duduk di pinggir kasurku. Pantulan dirinya bisa aku lihat di dalam cermin ini.

“Um, aku ingin pergi ke suatu tempat bersama temanku. Bolehkah?”

“Hmm, Kau boleh pergi bersama siapapun hanya jika kau melihat matahari. Mengerti maksudku?”

Raut wajah papa menegas, ada sedikit penekanan dari setiap ucapannya.

“Tapi, aku belum pernah keluar saat bulan sedang bersinar.”

“Ya, karena hal itu berbahaya untukmu, kalau kau mengerti.”

“Memangnya kenapa?”

“Ayo kita makan.”

        Tubuh papa mulai terangkat, dia memegang pundakku mengajakku untuk melakukan hal lain diluar topik bahasan kami saat ini. Dan itu bukan jawaban.

“Kenapa papa mengalihkan pertanyaanku? Seharusnya papa tahu apa yang biasa dilakukan oleh anak seusiaku. Aku ingin pergi. Kali ini saja. Kumohon.”

           Papa terdiam sejenak.

“Memangnya dengan siapa kau akan pergi?”

“Dena, teman sekelasku.”

“Itu nama perempuan atau laki-laki?”

“Oh, ayolah papa bisa menebaknya sendiri.”

“Baiklah, papa minta nomor teleponnya.”

“Untuk apa?”

“Dia harus menjamin keselamatanmu selama bersamanya.”

“Tolong jangan lakukan itu, aku bisa jaga diri.”

    Papa menghembuskan nafas pelan, menimbang-nimbang keputusannya. Ada raut kekhawatiran di wajahnya, juga perasaan cemas yang tersirat dari alisnya yang saling bertautan meninggalkan beberapa kerutan di keningnya.

“Pulanglah sebelum jam sepuluh.”

        Aku tersenyum lebar, itu artinya papa membolehkanku keluar. Aku segera mengirim pesan pada Dena bahwa aku boleh pergi bersamanya. Papa mengusap rambutku, tersenyum dengan mata yang sedikit sembab karena kurang tidur. Aku memeluknya dan mengucapkan terimakasih. Setelah mendapat balasan dari Dena, aku bergegas keluar.

“Hati-hati. Jangan minum alkohol, jangan makan terlalu banyak, dan jangan dekati teman laki-lakimu, siapapun itu.”

“Iya, aku mengerti, pa. Aku pergi dulu.”

“Ingatlah ucapan papa yang terakhir tadi.”

        Dena sudah menungguku di depan halaman gedung apartemen. Dia tidak turun dari mobil, tapi aku bisa segera mengenalinya karena atap mobilnya dibiarkan terbuka. Dia terlihat sedang berbicara dengan seseorang. Aku tidak pernah tahu dia mengajak orang lain selain aku. Tapi, itu tidak masalah. Saat aku mendekat, ternyata seseorang yang berada di balik kemudi adalah seorang laki-laki. Kelihatannya umurnya jauh lebih tua dari kami, kepalanya botak mengkilap, berjanggut tebal dan berkumis tipis. Jaket kulit tebal membalut kaos hitam di dalamnya. Pria itu bertato di bagian leher di dekat tindikan di telinganya. Cukup ngeri melihat orang itu dengan penampilan yang seperti penjahat. Tapi aku tidak bisa menebak siapa orang itu. Mereka terlihat begitu asyik bicara sehingga tidak menyadari kedatanganku. Setelah mata orang itu menyadari kehadiranku, Dena menoleh dan tersenyum, dia segera menyuruhku untuk masuk.

“Kau belum punya SIM, ya? Jadi pamanmu yang harus mengantar kita.”

       Dena memutar tubuhnya ke belakang lalu melotot. Kupikir dia tersinggung karena aku membicarakan soal SIM.

“Siapa yang kau sebut paman? Dia pacarku, bodoh!”

“Huh? Jadi... Ahahaha maaf, aku hanya bercanda.”

“Awas saja kalau kau memanggilnya paman, walaupun umurnya berbeda sepuluh tahun tapi kau tetap harus menyebutnya kakak. Tapi, sepertinya aku tidak perlu mengenalkannya padamu. Kalian tidak akan sering bertemu, bukan?”

     Aku berusaha menutupinya dengan senyuman. Tapi pasti kantung mataku terlihat kembung sekarang. Memalukan. Melihat kakak tua yang aku tidak perlu tahu namanya itu tersenyum membuatku berpikir bahwa kelihatannya sikapnya tidak seseram penampilannya. Senyumannya terlihat hangat dan seketika kesan penjahat dari dirinya jadi hilang. Sosok yang kelihatannya dewasa seperti umurnya. Ya, menilai seseorang itu tidak boleh mutlak dari penampilannya saja. Siapa tahu dia adalah orang yang baik.

“Kita sudah sampai, ayo turun !”

        Setelah keluar dari mobil aku heran, kenapa cuma aku yang turun? Dena dan kakak tua itu, hmm aku jadi menyebutnya seperti nama burung, tetap berada di dalam. Dena tersenyum padaku.

“Masuklah kedalam dan nikmati pestanya. Bye, Sarah.”

“Hei tunggu, kalian mau kemana?”

“Kami mau pergi nonton, ada film bagus yang lebih seru daripada pesta murahan ini. Ayo sayang !”

“Hei, dasar kau !”

Mereka langsung melesat dan hilang dari pandanganku dalam sekejap. Aku tidak habis pikir kenapa Dena tega mengelabuiku seperti ini. Dasar gadis menyebalkan ! Sekarang aku bingung. Disini tidak ada siapa-siapa. Beberapa motor berjejer rapi terparkir di depan gedung. Mungkinkah acaranya sudah dimulai? Lagipula untuk apa aku pergi ke tempat seperti ini? Ah, bodoh sekali. Kalau saja dari awal aku tahu, tidak mungkin aku merengek pada papa agar membolehkanku keluar malam-malam begini.
“Hei, Sarah sedang apa kau disini?”

Seorang pria berhelm hitam menghampiriku dengan motor sportnya. Aku mundur beberapa langkah ke belakang. Pria itu kemudian membuka helm dan barulah aku tahu siapa dia.

“Masuklah, jangan berada di luar. Acaranya sudah dimulai dari tadi.”

“Jadi aku terlambat, ya? Itu bagus, aku memang akan pulang sekarang.”

“Bukankah kau baru datang, kenapa sudah mau pulang? Dan kenapa kau datang kesini kalau kau tidak mau menikmati pestanya?”

“Dan kenapa kau ada disini kalau kau menyukainya? Masuklah kedalam dan bergabunglah bersama mereka.”

“Ya, aku memang mau masuk. Aku baru saja membeli ini.”

              Niel memang terlihat membawa sesuatu, dia mengangkat bungkusan itu dan memperlihatkannya padaku. Aku sempat mengira bahwa itu adalah wafer atau semacamnya karena bentuknya yang kotak, tapi ternyata itu adalah rokok. Dan aku benci pria perokok.

“Kau merokok?”

“Ya, seperti yang kau lihat.”

        Setelah itu aku tidak bicara lagi. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Niel tidak terlihat seperti seorang perokok. Nilainya selalu bagus dalam olahraga karena postur tubuhnya yang ideal dan lekukan tubuhnya yang menurutku menarik. Tapi seperti yang kukatakan tadi, penampilan bisa saja menipu. Beberapa anak lain pasti juga melakukannya.

“Hei jangan melamun, lebih baik kau masuk.”

           Kakiku terpaksa mengikuti langkah kakinya karena Niel menarik tanganku, menaiki anak tangga menuju lantai tempat acara itu berlangsung. Aku sudah berusaha menjelaskan bahwa pulang lebih baik daripada membaur bersama para perokok. Aku juga bilang bahwa aku tidak tahan dengan asap rokok. Tapi dia bilang bahwa aku akan menyesal kalau tidak menyaksikan acaranya. Sayangnya aku sudah membayangkan sendiri apa yang akan terjadi beserta segala kemungkinannya. 

         Musik yang berdentum keras, lampu remang-remang, udara yang panas, jadi seperti ini pestanya? Ini lebih terlihat seperti diskotik. Atau memang sengaja di buat seperti itu. Aku tidak menyangka di usia segini mereka berani melakukan hal seperti ini. Apa kata orang tua mereka jika tahu bahwa anak-anak mereka melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh orang dewasa. Zaman sudah berubah jadi mengerikan. Aku hanya bergidik begitu mengamati ruangan ini. Pakaian mereka tidak memperlihatkan usia remaja, usia yang seharusnya diisi oleh kegiatan yang positif. Usia dimana seharusnya mereka berebut prestasi di sekolah. Atau mungkin hanya aku yang terlalu berpikir kaku? Apakah kehidupan mereka memang seperti ini? Mungkinkah hal seperti ini adalah hal yang wajar? 

         Setiap pikiranku akan selalu berbeda dengan mereka. Karena kami memang berbeda. Aku bukan lahir dari kota ini, bukan orang yang terbiasa dengan hiburan malam. Bukan penyuka tempat seperti ini. Jadi wajar saja jika aku selalu terasingkan dari pergaulan dan tidak bisa membaur dengan budaya aneh yang tidak bisa diterima oleh akalku. Selalu ada perasaan tidak nyaman bersama orang asing. Ya, mereka orang asing.

        Di ruangan itu pandanganku beredar ke segala penjuru. Memperhatikan apa saja hal yang mereka lakukan sampai begitu asyik dan lupa dengan segala batasan dan perbedaan gender. Mereka membaur, seperti ayam dalam peternakan. Menari, minum, tertawa. Perutku tiba-tiba terasa mual dan campur aduk. Mataku hampir tidak bisa membedakan siapa saja orang yang ada di dalam, terlalu minim cahaya. Aku mulai menyesal karena begitu memaksa papa untuk membiarkanku pergi ke tempat yang menurutku cukup menjijikan. Tadi aku merengek, seperti bayi. Sekarang aku merajuk ingin pulang. Kamarku jauh lebih baik.

         Niel tersenyum padaku. Seperti menunjukan bahwa inilah pesta kami. Membaur atau pergilah sebelum terlambat. 

“Hei, teman-teman, lihatlah siapa yang kubawa?”

       Dia berteriak yang sepertinya tidak lebih keras dari musik disco yang sedang diputar. Orang-orang sama sekali tidak terusik, itu buktinya. Pria itu mengangkat kedua bahu dan menatapku sekilas lalu pergi berlalu. Dia pergi ke sudut ruangan dimana para pemuda lain berkumpul. Mereka tengah duduk di sebuah sofa yang membentuk setengah lingkaran, di depan sofa itu ada sebuah meja berisi beberapa botol minuman dan, asbak. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku melangkahkan kakiku perlahan, pikiranku kacau, membaur atau pergi secepatnya. Tapi yang kulakukan malah melangkah semakin dalam menuju kerumunan orang yang tengah menikmati dentuman musik keras ini. Aku hanya merasa tertarik, bukan dengan musik ini tapi dengan sesuatu yang membuat badanku terdorong untuk menghampiri mereka. Samar-samar, dari balik bahu gadis-gadis dengan dres tanpa lengan dan penerangan seadanya ini aku merasa melihat seseorang yang membuatku tertarik. Yang membuatku akan menyesali pandanganku sendiri jika yang kupikirkan adalah benar seperti yang kulihat. Edrick dan Beau.... Ah aku tidak sanggup.

         Ada perasaan aneh yang tidak bisa di jelaskan. Semuanya bercampur aduk di dalam perutku dan sedikit rasa sesak di dadaku. Tubuhku memutar dengan kasar, dan tiba-tiba sesuatu jatuh dan tubuhku ambruk diatas benda itu. Yang kurasa hanya sakit, tapi masih tidak sesakit dari yang ada di dalam sini.

“Argh !”

         Aku melihat tanganku mengeluarkan cairan berwarna merah. Aku hanya terpaku memperhatikannya yang mulai menetes ke lantai. Aku bahkan tak bisa berkedip karena begitu terkesima. Seseorang merutukiku.

“Hei, Oh ternyata kau. Kau ini selalu membawa masalah. Apa kau itu pembawa sial?!”

         Aku juga tidak menyangka bahwa kesialan akan terjadi padaku hari ini, disaat seperti ini. Air mataku hampir saja jatuh saat tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Dia mengeluarkan sebuah kain dari dalam sakunya dan membalut luka pada telapak tanganku. Tapi, masih ada luka lain di jariku. Aku mulai merasa khawatir, orang ini terpaku disana memperhatikan darah yang semakin banyak keluar. Aku tidak ingin sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi, aku takut. Rasa takutku mulai menjalar ke seluruh tubuh. Orang yang ada di hadapanku ini mulai memasukan jariku kedalam mulutnya. Seketika aku langsung menariknya. 

“Jangan, jangan lakukan itu.”

    Edrick mengangkat kepalanya, entah pandanganku yang salah atau mungkin karena terkena cahaya lampu tapi aku melihat matanya mengkilap. Semuanya mengingatkanku kembali pada kejadian itu. Pikiranku mulai berpikir buruk. Tidak, seharusnya itu tidak mungkin. Aku selalu merasa takut akan hal itu. Dan sekarang aku takut menatap wajahnya. Aku takut dia berubah.

“Sarah, kau disini?”

   Suatu suara berhasil mengalihkan pandanganku. Dan itu membuatku bersyukur, untung saja ada yang mengakhiri keadaan memalukan ini.

“Kau, Arthur?”

         Arthur membawaku ke tempat lain, ke sebuah balkon. Disana udara segar bisa leluasa masuk ke dalam paru-paruku yang sesak. Juga sinar bulan yang lebih terang membuat mataku bisa bekerja lebih baik.

“Tanganmu tidak apa-apa?”

“Ya, jangan pedulikan luka kecil ini.”

“Kau butuh obat.”

“Tidak perlu. Lupakan saja, aku tidak akan mati.”

“Kau ini....
....Um, Sarah, bagaimana penampilanku sekarang?”

       Arthur tersenyum sambil membetulkan kerah kemejanya yang terlihat sedikit basah. Sungguh, aku hampir tidak mengenalinya sekarang. Setelah satu minggu tak pernah bertemu dengannya secara langsung seperti ini aku cukup kagum dengan peningkatannya. Hal ini rupanya cukup membantuku untuk mengenyahkan pikiranku dari kejadian tadi. Kuharap aku tidak akan mengingatnya lagi.

“Jauh lebih baik dari sebelumnya. Sudah kubilang kau perlu memotong rambutmu itu.” 

“Ya, sekarang aku merasa lebih tampan.”

        Dia terkekeh. Aku rasa sikapnya sekarang jadi agak lain dari biasanya. Pandangan matanya tidak tertuju padaku saat dia bicara, kelopaknya agak turun dan terlihat pucat. 

“Kau aneh, apa kau minum? Kau seperti orang mabuk.”

“Tidak, aku tidak mabuk. Aku memang seperti ini.”

“Tidak mungkin. Aku yakin kau mabuk, Arthur.”

“Berhentilah melipat tanganmu, Sarah. Sikapmu seperti orang yang membatasi diri.”

      Secara tidak sengaja aku memang selalu menyilangkan tangan di depan dada saat bicara dengan siapapun. Aku tidak pernah memperhitungkan bahwa akan ada orang yang menyadari bahwa sikapku membuat ketidaknyamanan. Entah apa artinya itu. Tapi saat ini aku tidak sedang melakukannya.

“Kenapa kau ini? Apa ada yang salah dengan sikapku?”

“Kau bersalah. Haha.”

       Sudah kuduga dia mabuk. Bicaranya melantur. Arthur tiba-tiba mendorong tubuhku ke besi balkon, membuatku tersentak karena tingginya yang hanya sebatas pinggang kukira aku akan jatuh.

“Kau itu terlalu sombong, pantas saja kau tidak punya teman. Memangnya siapa yang mau berteman dengan orang sepertimu? Kau egois. Mungkin kau itu memang pintar dan disukai para guru. Mereka selalu membicarakanmu di kelasku. Itu membuatku kesal. Sungguh, berhentilah bersikap seperti itu.”

       Arthur bicara sambil menghentakkan jari telunjuknya di depan wajahku. Kata-katanya sungguh membuatku tersinggung. Sebenarnya apa yang ada dipikirannya? Dia tiba-tiba bicara seperti itu padaku. Lalu pria ini tertunduk. Mungkin selama ini ada sesuatu yang dia pendam, jadi saat ini dia benar-benar mengatakannya padaku secara blak-blakan. Tapi benarkah aku seperti itu?

        Arthur mengangkat kepalanya kembali. Dia tersenyum. Seperti merasa puas telah menyakiti perasaanku. Terimakasih Arthur, aku sudah pernah bilang, bukan, katakanlah apapun yang ingin kau katakan.

“Tapi kau cantik. Kau benar-benar cantik malam ini.”

        Dia mengusap pipiku lalu menarik tengkukku. Semuanya begitu tiba-tiba tanpa sempat menyadari apa yang akan dilakukan pria ini. Perlahan wajahnya mendekat kearahku dan matanya mulai terpejam. Untungnya, aku segera sadar pada pikiranku dan mendorong Arthur menjauh dari tubuhku. Sebelum berlalu aku menatap wajah polosnya yang tak lagi sama. Dan itu seperti bukan Arthur yang pernah kukenal. Aku sungguh kecewa. Berani sekali dia melakukan itu padaku. Kupikir dia orang yang baik dan sopan. Ternyata seperti ini kelakuannya.

       Pikiranku benar-benar kacau. Aku segera melarikan diri dari tempat itu. Semua kejadian ini, aku membencinya dari awal aku datang. Sudah kubilang, ini bukan duniaku. Hal buruk selalu terjadi padaku saat aku mencoba untuk mencari suasana baru. Tapi bukan yang seperti ini. Aku sadar, aku benar-benar harus menghindar dari keramaian. Itulah sumber masalahku.

* * *

Jangan bosen dulu ya, bagian yang seru masih menunggu...
See ya 😁

4 komentar:

  1. ada apa dengan arthur??, euh harus nunggu 3 hari, makin penasaran dengan kelanjutannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mudah"an bisa publish lebih cepet deh ya..😁

      Hapus
  2. Plissss... jangan artur...
    Gue brharap penuh sama eloo..😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan, Sarah kan masih polos, hehe 😂😂

      Hapus