Selasa, 16 Agustus 2016

Bailoch chapter 2: 2

Bailoch 
 Chapter 2 

 Sarah || Arthur || Edrick || Others 
Mystery || Romance
            Pg 17             





* * *

“Pa, maafkan aku.”

“Sudahlah. Tidak perlu dibahas lagi. Kau sudah mengakuinya.”

“Umm, Aku berpikir bahwa sepertinya menyenangkan kalau punya hewan peliharaan. Bolehkah?”

“Kau mau pelihara apa?”

“Sapi.”

        Papa menghembuskan nafas panjang, lalu tersenyum padaku. Jemari tangannya tak lepas pada sebuah lingkaran yang menjadi kemudi pada sebuah kendaraan yang kami tumpangi. Papa hanya menggelengkan kepala begitu mendengar permintaanku yang sepertinya begitu sulit diterima. Seandainya papa berkata iya, kedengarannya seperti hal yang mustahil. Tapi aku menginginkannya. Sungguh.

“Kau boleh pelihara anjing atau kucing jenis apapun yang kau mau. Kamarmu tidak akan muat kalau kau pelihara sapi.”

        Apa yang baru saja aku bilang, papa pasti menolak.

“Sapinya bisa aku tinggal di rumah Mrs Rudolf. Akan kubiarkan Arthur merawatnya.”

“Kau bisa merepotkan orang, Sarah. Arthur punya banyak pekerjaan yang harus diurus.”

        Aku melipat tangan di depan dada sambil mendengus. Aku harus mencari cara agar papa menuruti permintaanku yang satu itu. Ini cukup sulit, papa sangat keras kepala. Sekali dia bilang tidak, pasti itu sulit ditolak.

“Menurutku mungkin tak masalah jika harus ditambah satu sapi lagi. Tidak akan menambah beban yang berat. Aku juga pasti akan membantu.”

     Ah, apa yang baru saja kukatakan? Tidak, sepertinya ada yang salah. Aku menyentuh bibir bawahku. Kenapa aku bisa bicara seperti itu?

          Sejenak aku lupa tentang kejadian masa lalu. Sejenak aku terhipnotis lagi oleh pesona Bailoch. Ketika mobil kami sedikit bergoncang setelah melewati tikungan, aku mulai tersadar ternyata ini hanya tipuan Bailoch yang memancingku untuk mengulang ingatanku pada kejadian itu. Tiba-tiba aku teringat pada Edrick. Entah Edrick yang sekarang atau Edrick yang tidak kukenal. Entah aku khawatir atau justru merindukannya. Kuharap anggapan yang kedua hanyalah sekilas pemikiran yang salah.

        Tiba-tiba papa menghentikan mobil secara mendadak. Dia menepuk jidatnya sambil merutuk. Tentu saja, kami sama-sama terlonjak, panik dengan apa yang baru saja terjadi. Hari ini kami dua kali mendapat kesialan.

“Ada apa? Apa kita menabrak orang lagi?”

“Coba kita lihat.”

        Kali ini aku ikut turun dari mobil untuk melihat secara langsung apa yang terjadi. Ternyata bukan orang yang kami tabrak melainkan seekor kucing berbulu putih lebat yang sebagian hitam disalah satu matanya. Kucing itu tergeletak dibawah mobil tapi tanpa bekas darah. Setelah menatapku kucing itu berusaha berdiri keluar dari kolong dengan tertatih. Kurasa kakinya patah.

“Kebetulan sekali disaat kau menginginkan peliharaan.”

“Tidak, kucing ini pasti punya majikan.”

“Ayo kita bawa ke dalam.”

“Tidak, pa. Kita harus memulangkannya.”

“Kita tidak tahu dimana rumah pemiliknya. Kita bawa dulu ke dokter setelah itu baru kita pulangkan.”

“Pasti pemiliknya akan mencari kucing ini.”

“Justru itu kita pasti bisa tahu siapa pemiliknya.”

         Akhirnya aku membawa kucing ini ke dalam mobil, menidurkannya di pangkuanku. Kasian sekali, kucing semanis ini harus menjadi korban kecerobohan kami. Kucing ini nampak tenang saat aku mengelus-elusnya. Bulunya yang bersih dan lembut menandakan bahwa kucing ini adalah kucing yang selalu mendapat perawatan. Aku jadi berpikir untuk memberi nama kucing ini sementara waktu sebelum memulangkannya, karena tidak mungkin aku akan selalu memanggilnya pusy. Umm, kukira karena bulunya yang lebat dan lembut aku bisa menamainya Marshmallow. Itu sangat cocok.

        Papa membangunkanku ketika kami telah tiba di klinik hewan. Aku tak sadar telah tertidur sedari tadi. Kami memeriksakan kondisi kucing ini dan untungnya Marhsmallow baik-baik saja. Kakinya tidak patah, hanya keseleo. Syukurlah, dia akan segera sembuh dalam beberapa hari.

* * *

        Momokochi-ku sudah penuh, padahal hari ini banyak hal yang ingin aku ceritakan. Meskipun aku punya laptop untuk menulis tapi menulis dengan tangan lebih memuaskan, ada sensasi yang berbeda antara menulis dengan bolpoint dengan hanya menekan-nekan tombol saja. Aku membuka kembali lembaran kisah-kisahku di masa lalu. Jika aku ada diposisi orang lain sudah pasti aku tidak akan percaya dengan isi diary ini. Sangat mustahil. Lagipula ini di kota yang padat penduduk, tidak mungkin hal seperti ini pernah dialami oleh mereka. Aku yakin tak satupun orang mengalami hal yang sama denganku. Mereka terlalu sibuk bekerja, tidak peduli dengan hal-hal yang terjadi di sekitar mereka. Hanya fokus pada monitor, sehingga jika terjadi suatu hal yang diluar nalar, mereka hanya akan menganggap hal itu sebagai lelucon. Mereka mana percaya dengan hantu, apalagi pada monster seperti yang pernah kuceritakan pada Miss Ryn, satu-satunya orang asing yang pernah kuberi tahu rahasiaku. Papa saja tidak mempercayaiku. 

Tak ada pilihan lain bagiku selain percaya pada diriku sendiri tentang apa yang terjadi dan aku saksikan. Hidup di sebuah kota yang ramai tapi aku merasa sendiri, sama saja seperti hidup di gua. Tak ada tempat untuk berbagi, tak ada bahu untuk bersandar saat tangis terurai, tak ada sepasang telinga yang mau menampung cerita-cerita konyol ini. Hanya kupendam sendiri.

Papa sedang merapikan dasi dan jasnya sebelum memulai pekerjaannya di desa. Setelah merasa sempurna dengan penampilannya, papa menatap sekilas pada jam di tangannya. Sudah waktunya berangkat, pasti begitu pikirnya dalam hati. Proyek lapangan golf itu, masih ingat? Sampai saat ini masih belum rampung juga ternyata. Padahal hanya membuat sebuah lapangan, apa susahnya? Sementara itu aku sedang memasukkan buku-buku sambil memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal. Momokochi-ku sudah penuh, kurasa aku tidak perlu membawanya lagi. Sepulang sekolah aku akan membeli yang baru. Yang ini sudah menjadi memori, aku tidak perlu menyentuhnya lagi.

“Kapan kita akan memulangkan Marshmallow?”

Aku melirik kucingku, tidak, kucing orang yang sedang bermain dengan bola karet yang mengeluarkan suara decitan. Lalu aku menatap papa yang juga memperhatikan Marshmallow. Dia tersenyum hingga membuat kedua matanya hampir menghilang. Tentu saja. Siapa yang tahan melihat gelagat kucing ini? Sangat menggemaskan!

“Dia terlihat betah disini. Lihatlah, Marshmallowmu sangat lucu, apa kau mau melepaskannya?”

“Kalau aku menuruti keinginanku tentu saja aku tidak mau. Tapi aku juga tidak tega memisahkan Marshie dengan pemiliknya. Ini sudah satu minggu, pa. Mereka pasti merasa kehilangan.”

“Jadi, kau sungguh ingin memulangkan kucing itu? Ke Bailoch? Apa kau yakin tidak akan berontak lagi?”

Aku terdiam. Memulangkan Marshie artinya aku harus kembali ke Bailoch, apa aku yakin ingin kembali ke tempat ilusi itu?

“Tidak apa-apa. Kali ini aku akan bersikap tenang. Aku juga ingin menjenguk Arthur.”

“Oh, ngomong-ngomong, papa harus segera berangkat.”

Papa melirik arlojinya sekali lagi dan bergegas mengambil koper dan beberapa gulungan kertas di kamar.

“Jadi, kapan kita akan ke sana?”

“Nanti saja hari minggu.”
        Enam hari lagi, aku harus menunggu sampai enam hari lagi. Terlalu lama buatku. Melihat Marshie dengan sikap polosnya membuatku gemas. Aku hanya tidak ingin merasa berat saat benar-benar harus melepasnya nanti. Karena semakin hari aku takut semakin menyayangi kucing ini.

“Marshie, tetaplah disini. Tunggu sampai aku pulang, ya, lalu kita bermain bersama.”

“Meooww..”

       Marshie menatapku dengan sepasang mata bulatnya yang jernih. Perlahan-lahan aku menutup daun pintu sambil terus memandanginya yang menunjukkan ekspresi kesedihan.

* * *

     Sudah hampir satu tahun aku tinggal di apartemen ini. Menurutku semenjak kami pindah, hidupku menjadi sangat menyenangkan. Setiap malam aku bisa tertidur dengan lelap tanpa gangguan. Tak ada bau-bauan aneh, dan tak ada yang menyelinap masuk ke kamarku di tengah malam. Aku suka keadaanku yang sekarang. Yang jelas, aku merasa lebih aman. Akses kemanapun mudah dan cepat, termasuk ke sekolah. Cukup menggunakan sepeda untuk pergi kesana, 15 menit kemudian aku sudah sampai. Semenjak pindah ke kota, julukan ‘Sarah si anak desa'pun menghilang, berubah menjadi ‘Sarah si penyendiri yang kesepian’. Haha, tidak, yang terakhir itu hanya berasal dari dalam kepalaku.

        Suasana kelas yang sekarang setidaknya lebih baik bagiku. Teman-temanku yang sekarang lebih terbuka dan cukup tenang, tidak seheboh seperti kelas sebelumnya. Ya, meskipun aku tahu sebenarnya dulu mereka tidak bersikap seperti ini padaku. Mereka sama sebelum mereka menyadari kelebihanku. Dan yang paling aku syukuri adalah, aku tidak sekelas dengan Beau si biang gosip itu dan pria kesayangannya, Edrick. Aku terpisah dari Edrick, tapi tidak apa karena kami masih bisa bertemu dan berdiskusi. Meskipun seperti yang pernah aku bilang bahwa selama ini sikapnya selalu baik-baik saja, tapi aku tetap ragu. Keraguan ini tetap tidak hilang meskipun Edrick tidak pernah menunjukkan keanehan lagi padaku. Akupun tidak pernah menunjukkan keraguanku dengan menanyakan keadaannya atau hal-hal lain yang bersifat pribadi secara langsung. Setidaknya aku yakin bahwa kami berteman. Ya, kami cuma berteman, jadi aku tahu batasan-batasan dalam pertemanan.

   Sebelum bel masuk berbunyi, Edrick menghampiriku ke kelas. Beberapa teman-temanku tersenyum, beberapa menunjukkan senyum sinis dan meledekku. Mataku terarah pada beberapa suara yang berasal di balik pintu, sepertinya ada tiga orang yang tengah mengintip kedalam kelasku, salah satunya sudah pasti Beau, si menyebalkan. Selain tukang gosip dia juga si menor yang centil. Menjijikan. Dengan tatapan sinisnya yang khas dia melotot kearahku. Mengisyaratkan sesuatu, tapi ah, masa bodoh dengan perempuan gila itu. Aku memalingkan wajahku darinya, membalas kesinisan yang dia tunjukkan padaku. Aku hanya ingin fokus pada seorang yang sedang tertuju padaku saat ini.

“Umm, apa kau ada waktu untukku saat jam istirahat?”

        Pria itu menarik ujung bibirnya keatas. Dia menaruh tangannya di meja sebagai penahan tubuhnya yang condong kearahku. Seharusnya dia tidak bicara sepelan ini, telingaku agak sedikit terganggu. Bukan berarti aku memiliki masalah dalam pendengaran, aku hanya turut penasaran apa saja yang orang lain katakan saat melihat kami seperti ini.

“Huh, kenapa?”

“Ayo kita ke perpustakaan, ada buku yang ingin kubahas denganmu.”

“Baiklah, 15 menit sebelum masuk.”

“Ok, aku akan menunggumu disana. Sekarang aku harus pergi.”

        Aku mengamati punggungnya yang berlalu, menyisakan aroma tubuhnya yang khas, antara sabun mandi, gel rambut, dan sedikit bau darah yang samar-samar. Itupun jika aku tidak salah mendeskripsikannya. Aroma itu sudah menjadi bagian dari keseharianku saat bersamanya. Menurutku setiap hari aroma itu menjadi lebih kuat. Sehingga aku bisa tahu jika pria itu akan menghampiriku. Sosoknya yang sekarang ini justru membuatku semakin sulit mengingat makhluk yang pernah menyakitiku dulu. Benar-benar seperti dua orang yang berbeda dalam satu raga. Dulu sebelum aku mengalami kejadian buruk itu, aku begitu mengaguminya. Tapi seharusnya Edrick yang sekaranglah yang pantas untuk aku sukai. Sikapnya yang baik dan pesonanya yang tetap tidak pudar dimataku selalu memberi kesan tersendiri. Tapi entah kenapa aku selalu takut hal buruk terjadi lagi padaku.

        Pada jam istirahat aku memutuskan untuk pergi ke kantin bersama Dena, teman satu kelas yang menunjukkan sikap paling ramah padaku. Dia cantik, rambutnya yang panjang pirang keemasan selalu dibiarkan terurai. Dari tengah ke bawah bagian rambutnya di cat berwarna pink. Dia anak yang aktif, pakaiannya bergaya sporty dan selalu colourful. Meski memiliki tindik kecil di hidungnya, sikapnya jauh dari kata ‘nakal’ seperti kebanyakan orang kota. Badannya yang jangkung berisi selalu membuatku iri.

        Ada kegaduhan kecil saat kami memasuki area kantin. Aku penasaran apa yang tengah terjadi disana. Mungkinkah ada pembullyan lagi? Setahuku semenjak aku melaporkan beberapa kasus pembullyan, tidak pernah lagi kulihat kejadian-kejadian yang tidak mengenakan terjadi di sekolah ini. Aku mendekat ke arah kerumunan itu karena terbawa rasa ingin tahu. Tapi Dena menarik tanganku.

“Sarah, pasti itu hanya pesta penyambutan anak baru.”

        Sambil mengunyah permen karet yang sejak jam pelajaran belum dibuang, Dena menyeretku untuk mencari tempat duduk. Seperti kebanyakan orang di sekitar sini, dia tidak peduli.

“Pesta penyambutan? Aku baru tahu ada pesta seperti itu.”

          Kami mulai menjauhi kerumuan itu.

“Mereka anak-anak kelas sebelah. Aku tahu dari Stery bahwa di kelas mereka kedatangan anak baru. Kau seperti tidak tahu kelakuan anak sebelah saja.”

“Tapi aku curiga...”

         Perempuan itu memutar bola matanya sambil terus mengunyah, meniup permen karetnya menjadi sebuah gelembung besar yang kemudian pecah menghambur kesekitar mulutnya, lalu memakannya lagi, mengunyahnya lagi, menjijikan. Kepalaku mencari-cari celah dari balik badannya yang menghalangiku. Mataku menyipit agar pandanganku bisa membawa informasi yang tepat ke dalam kepalaku.

“Sudahlah, jangan berpikir tentang pembullyan lagi.”

        Dena menarik tanganku untuk duduk di bangku yang kosong, dia segera memesan makanan. Tapi, aku tidak bisa berhenti menatap kerumunan orang itu. Mereka berisik, mengganggu, dan tidak sopan. Beberapa dari mereka duduk diatas meja karena tidak mendapat bangku. Dari sela-sela orang yang ada disana aku lihat ada seseorang yang sepertinya pusat dari acara itu. Dia memunggungiku, kelihatannya hanya dia yang tidak menikmati ‘pesta’ itu. Beberapa orang  malah terlihat meledeknya.

“Hei, Sarah aku sudah memesankan makanan untukmu. Ayo, makanlah. Apakah hal itu terlihat begitu penting bagimu?”

       Aku bahkan tak sadar kapan makanan ini datang. Dena memutar kepalanya, menyelaraskan pandangannya denganku. Menatapnya selirik lalu berdecak, decakan tidak peduli. Mungkin dia pikir hal itu tidak begitu menarik. Tapi bagiku iya. Ada sesuatu yang mendorongku untuk melihat hal itu lebih dekat. Setelah cukup lama mengamati, orang yang membuatku penasaran itu berdiri, sepertinya akan pergi dari sana. Beberapa orang menarik-narik tangannya dan akhirnya dia duduk kembali. Tiba-tiba Dena menggebrak meja membuat tubuhku melonjak dengan sendirinya. Astaga, orang ini.

“Hei ! Sadarlah, Sarah. Ada apa denganmu? Kau seperti tidak pernah melihat pesta kecil-kecilan saja. Biarkan mereka mengurusi urusan mereka, kita tidak perlu ikut campur karena kita tidak diundang, mengerti?”

“Aku hanya sedikit penasaran dengan seseorang yang ada disana.”

      Dena kembali memutar kepalanya, tapi seseorang yang mencuri perhatianku tadi sudah tidak berada di tempatnya. Begitu cepat orang itu luput dari pandanganku.

“Memangnya siapa yang kau maksud?”

“Tidak, bukan siapa-siapa.”

      Aku langsung membuang muka sambil menggeleng. Ini tidak penting. Ada apa denganku?

“Cepat habiskan makananmu, aku sudah membayarnya. Jangan sia-siakan uangku.”

“Kau mentraktirku? Terimakasih, cantik.”

        Gadis dihadapanku ini tersenyum sambil mencibir ucapanku. Dia mengulang ucapanku dengan memajukan bibir bawahnya seperti bebek. Sungguh, jelek sekali. Disela-sela senyumku dia bertanya;

“Jadi, apa kau punya pacar?”

“Huh, aku?”

“Iya, Sarah, memangnya kau pikir ada siapa lagi disini?”

“Tidak.”

“Ah, jangan bohong. Kau terlihat sangat dekat dengan Edrick. Beberapa orang juga bilang begitu. Apa kau punya hubungan khusus dengannya?”

“Jadi kau lebih percaya pada gosip daripada narasumbernya?”

“Ya... karena pikiranku mungkin sama dengan mereka.”

“Terserah kau saja. Itu hanya gosip tahun lalu, lucu sekali masih ada orang yang membicarakannya.”

“Sepertinya dia memang menyukaimu. Setiap hari dia datang ke kelas kita hanya untuk bicara padamu. Walaupun cuma sebentar.”

       Aku mulai kehilangan selera, sendok yang kupegang langsung kutangkupkan. Aku tidak ingin menganggap ini serius karena aku tidak mau berharap. Jujur saja, sebenarnya aku senang mendengarnya. Tapi, ah, memangnya siapa aku?
Dena melahap makanannya sambil memandangiku dengan serius. Oh, yang benar saja, apa dia sedang mengetes reaksiku? 

“Kau pikir hanya aku orang yang dihampirinya setiap hari? Beau, Lucas, Niel, Jason si tengil itu, apa perlu aku sebut semuanya?”

“Maksudku, terlihat berbeda saat menatapmu.”

        Itu tidak benar. Tolong jangan katakan hal yang malah membuatku hilang kendali. Aku sudah tidak menyukainya sekarang. Aku tahu sesuatu yang tidak diketahui siapapun, jadi hanya akulah yang tahu perasaanku sendiri. Senyuman Dena terlihat menggelikan. Dia pikir aku akan percaya?

“Sudahlah, kau tidak perlu ikut campur. Oh, aku harus pergi. Sampai jumpa di kelas.”

“Ct, dasar kau.”

        Dena hanya menghiburku. Ya, aku cukup terhibur, sedikit. Bahwa dia juga mengakui kedekatanku dengan Edrick. Hal itu sudah berlangsung lama, dan masih tetap sama sampai sekarang. Aku tidak pernah sedikitpun berpikir bahwa Edrick akan menyukaiku. Yang kutahu Beau sangat tergila-gila padanya. Beberapa kali aku melihat mereka pulang bersama. Dan saat melihat kejadian itu aku biasa saja. Tidak ada sesuatu yang membuat jantungku berkontraksi. Seharusnya gosip itu untuk mereka berdua. Mereka memang sudah terlihat dekat sejak ditahun pertama. Ya, mereka cocok. Seperti pangeran dan putri menor, hahaha. Ah, bicara apa aku? 

Bug!

Aw! Ada sesuatu yang menubrukku, tubuhku hampir saja limbung membuat kepalaku pening seketika. Disaat aku sedang sibuk dengan pikiranku malah ada saja hal yang membuatku sial.

“Sarah?”

“Eh, Arthur? Kau sejak kapan sekolah disini? Apa yang terjadi padamu, kenapa pakaianmu basah?”

        Iya, aku tidak salah lihat bahwa ini memang Arthur. Dia terlihat panik dan terburu-buru, penampilannya sangat kacau.

“A..Aku..Aku ingin ke toilet.”

“Tunggu, Arthur, apa yang terjadi?”

        Ketika kakiku melangkah untuk mengejarnya, seseorang menarik lenganku.

“Sarah, kau lama sekali. Ayo kita masuk !”

“Tunggu, aku ingin...”

“Bukankah kau sedang ada urusan denganku?”

“Edrick, maaf lain kali saja. Aku harus menemui temanku.”

        Pria ini malah mempererat genggamannya, yang semakin lama membuatku kesakitan. Aku menatapnya dengan kedua ujung mataku. Dia hanya terlihat datar, tanpa reaksi dan ekspresi.

“Edrick, tolong lepaskan.”

“Tidak.”

“Ada apa denganmu? Kau mau meremukkan tanganku?”

“Jadi anak baru itu temanmu? Darimana kau mengenalnya?”

“Sejak kapan kau mulai mencampuri urusanku?”

        Aku menghempaskan genggamannya dariku dan segera berlari mengejar Arthur. Berharap aku memang tidak salah melihatnya disini. Saat aku berada di depan pintu toilet laki-laki, kebetulan sekali orang yang aku cari baru saja keluar. Dan benar itu Arthur.

“Hei, kau baik-baik saja?”

“Sarah, kenapa kau ada disini?”

“Ya, karena ini sekolahku.”

“Maksudku, kenapa kau berdiri dihadapanku?”

       Wajahnya masih terlihat kebingungan. Dia tidak berhenti menggaruk jemari tangannya.

“Jawablah dulu pertanyaanku.”

“Aku tidak apa-apa.”

      Aku menariknya dari depan pintu toilet, karena kami pasti menghalangi jalan. Kami berjalan perlahan-lahan sambil membicarakan apa yang ingin aku dengar darinya. Sambil mencari barangkali ada bangku agar kami bisa lebih nyaman bicara.

         Jadi, Arthur anak kelas sebelah yang Dena bicarakan tadi. Pesta penyambutan anak baru pasti untuknya. Berani sekali mereka melakukan tindakan itu. Tapi selagi tidak terjadi apa-apa pada Arthur aku tidak bisa melaporkannya pada Kepala Sekolah, harus ada bukti minimal luka memar. Yang mereka lakukan pada Arthur adalah penyiksaan psikis, tidak ada bukti dari perbuatan itu. Meskipun itu juga termasuk tindakan pembullyan. 

“Bicaralah padaku. Ceritakan semuanya. Aku akan berdiri dipihakmu.”

“Um, aku rasa mereka tidak menyukaiku. Saat mereka tahu aku berasal dari Desa, mereka seperti tidak memberiku ruang disamping mereka. Apakah bagi mereka menjadi anak desa itu buruk?”

“Jadi itu sebabnya mereka membuatmu seperti ini? Tidak, tidak ada yang salah dengan menjadi anak desa, bukan salah darimana kau berasal. Mereka menebaknya dari gayamu, cara berpakaianmu. Mereka menilai stylemu. Mereka memilih siapa yang pantas dan tidak untuk dijadikan teman.”

“Memangnya ada yang salah dengan pakaianku?”

        Arthur menarik kemejanya di depan dada, dia sedang mengoreksi bagian yang terlihat salah dari dirinya. Mulai dari kemejanya, celana, sampai sepatu. Sebenanya tidak ada yang salah, bagiku seperti apapun penampilan seseorang tidak berdampak pada sifat yang keluar dari diri mereka. Kualitas diri tidak diukur dari seberapa mahal barang-barang yang kau pakai. Tapi orang-orang disini menilainya begitu.

“Ayo, kita duduk disana !”

      Arthur mengangguk, mengikuti kemana langkahku pergi. Aku memperhatikannya dengan seksama. Ada sesuatu yang harus diubah dari penampilannya. Aku rasa sumber masalah terbesarnya ada pada rambutnya. Inilah yang membuat penampilannya menjadi kuno. Rambutnya sangat berantakan, kelihatannya tidak pernah disisir. Bagian depannya sangat aneh, antara berponi tapi kepanjangan. Melihatnya saja sangat risih. Aku menempelkan tanganku, mengangkat rambut di keningnya keatas. Menurutku jika dia mencukur sedikit pada bagian ini akan terlihat lebih rapi. Dia bisa menonjolkan bagian yang paling menarik dari dirinya. Hmm, alisnya cukup tebal juga.

“Nah, sepertinya kau harus bercukur. Matamu bagus.”

        Arthur hanya diam saja. Mata kami bertemu saat itu, dia sedang menelisik kedalam mataku. Tentu saja hal itu membuatku merasakan hal seperti waktu itu, risih. Semburat itu muncul lagi dikedua ppinya.

“Hei, wajahmu memerah.”

“Aku sedang menahan nafas.”

“Huh?”

“Tolong jauhkan wajahmu dariku.”

       Dia menampik tanganku dari keningnya. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali, sampai keadaannya menjadi lebih stabil.

“Jangan lakukan hal seperti itu lagi. Kau harus bisa menjaga jarak dariku.”

“Memangnya apa yang kulakukan? Aku hanya mencoba memberi tahu apa yang semestinya kau lakukan.”

“Kita baru bertemu dua kali, bukan? Aku khawatir ini akan berdampak buruk.”

“Apa maksudmu?”

“Aku butuh jarak darimu.”

       Jarak apa maksudnya? Bicara apa dia ini? Kalau dia tidak suka padaku cukup bilang saja, mudah. Tidak perlu membuatku terlihat seperti orang bodoh yang tidak mengerti ucapannya. Bertengkar di tempat seperti ini, bukankah memalukan?

“Baik, aku akan pergi. Semoga kau beruntung.”

         Aku memutar badanku dengan kesal. Padahal aku berniat baik, ingin membantunya agar dia bisa diterima dilingkungan teman-taman barunya. Tidak sepertiku. Tega sekali orang itu. Kecewa? Tolong jangan tanyakan itu, karena jawabannya iya !

 “Sarah.”

Arthur menarik tanganku.

“Apa aku cukup pantas untuk menjadi temanmu?”

Aku menampik tangannya dan berlalu. 

* * *



Aduuhh, kurang greget ya..mian ^^ sebagai ucapan maaf hari ini aku posting dua eps untuk kalian reader tercinta 😁😁 semoga penantian kalian terbayarkan hari ini, makasih sudah menunggu..

Gak sengaja nemu Marshie di google, kira-kira penampakan Marshie kayak begitu ya.^^

2 komentar:

  1. arthur, sarah, edrick akan ada kisah apa diantara mereka? jadi penasaran.

    BalasHapus