Bailoch
Chapter 2
Sarah || Arthur || Edrick || Others
Mystery || Romance
Pg 17
Setelah meninggalkan Arthur aku yang berjalan menundukan kepala tak sadar ternyata papa tengah berdiri di depanku, papa menatapku dengan tatapan membingungkan, apakah karena pikiranku sedang kacau hari ini? aku juga tidak tahu apa papa melihat kejadian tadi atau tidak. Itu sangat memalukan, dan kuharap tidak. Aku berjalan bersama papa menjauh dari tempat itu dengan Arthur yang masih berdiri disana, tertinggal semakin jauh.
“Maafkan atas sikap papa tadi, ya.”
“Huh? Apa ini benar papa?”
“Kenapa? Apa karena papa tidak pernah meminta maaf atas kesalahan-kesalahan sebelumnya?”
“Tentu saja, papa tidak pernah melakukan itu.”
“Ya, papa sadar sekarang. Papa masih terlalu banyak kekurangan.” Papa merangkul bahuku dan mencium kepalaku.
“Bagus kalau papa menyadarinya.”
Meskipun papa tidak pernah mengizinkanku untuk pulang, aku tetap akan pergi dari sini, aku sudah cukup dewasa untuk memilih tujuan hidupku sendiri, seharusnya papa sadar dengan hal itu.
Perasaanku kini jadi lebih baik setelah papa meminta maaf. Papa bilang hari ini ada seseorang yang akan dia temui, rekan kerjanya, dan papa ingin mengenalkanku padanya. Seorang pria berperawakan agak gemuk tengah bermain golf disana. Style-nya sederhana, hanya memakai polo, celana berbahan katun, dan topi. Semuanya berwarna putih yang dipadukan dengan sebuah sabuk hitam yang melingkar di pinggang bulatnya sehingga nampak serasi. Pria itu tidak sendiri, ada seorang laki-laki dan perempuan yang turut bermain bersamanya. Tidak, lebih tepatnya mereka hanya menjadi penonton saja. Papa menghentikan laju mobil 20 kaki dari pusat permainan, lalu kami berjalan menghampiri mereka. Perkenalan yang cukup singkat dan mengejutkan, ternyata dua orang remaja seusiaku itu adalah Beau dan Niel. Bukankah ini kejutan yang menyenangkan? Pria gempal ini mungkin ayahnya. Apakah mereka bersaudara? Dua tahun mengenal mereka aku bahkan tak pernah tahu soal itu. Setelah dia memanggil keduanya untuk berkenalan denganku, hal yang sangat lucu adalah bahwa nyatanya kami tidak saling berkenalan maupun berjabat tangan. Apa karena kami sudah saling mengenal? Kurasa hal yang paling masuk akal adalah bahwa kami tidak pernah mau saling mengenal ! Papa dan.. ya kurasa pria ini memang ayah mereka, hanya tersenyum keheranan, pria itu menarik kedua alisnya keatas. Papa mengalungkan lengannya di pundakku, aku tahu pasti papa menyuruhku melakukan sesuatu, setidaknya agar tidak membuatnya malu di depan rekan kerjanya.
“Kami sudah saling mengenal.” Aku bicara sekenanya dengan sekilas senyuman.
Papa dan pria itu kemudian pergi setelah agak lama berbasa-basi, meninggalkan kami yang hanya saling berhadapan. Tatapan sinis itu tidak pernah lepas dari kedua mata perempuan naif itu. Oh, ternyata bertambah lagi satu julukan untuknya. Niel mulai bicara padaku setelah kelihatannya ada sesuatu yang ingin dia tanyakan.
“Oh, jadi kau ternyata anaknya Mr David?”
“Ya, seperti yang kau lihat.” Kedua lenganku terlipat di depan dada. Mataku ikut mengimbangi tatapan sinis mereka, mereka pikir aku tak bisa melakukan itu?
“Jangan bodoh, Niel. Dia hanyalah anak pungut.” Si naif itu memutar-mutar jari telunjuk pada rambut pirangnya yang kusut.
“Ya, kalian tidak begitu mirip.”
“Huh, terserah.”
“Oh, yang benar saja. Aku tidak percaya.” Bola mata lelaki itu naik turun memperhatikan seluruh bagian tubuhku, dan aku juga tak percaya bahwa mereka berdua sama menyebalkannya.
“Aku juga tidak percaya bahwa kalian ternyata bersaudara. Kalian bahkan tidak mirip sama sekali.”
“Tentu saja kami tidak mirip, dia hanya saudara tiriku.”
“Oh begitu.”
Aku membalikkan tubuhku dan pergi dari sana, kini kudengar mereka berbisik. Aku memutar tubuhku lagi, sekarang aku merasa menang.
“Aku ingat kau selalu mengataiku anak miskin. Apa aku bisa tertawa sekarang?”
Seharusnya mereka mengerti maksudku seandainya mereka mau menggunakan otak mereka untuk berpikir. Mr Walker, ayah mereka bekerja pada papa, bukankah sekarang mereka tahu tentang hal itu? Ah, tiba-tiba saja aku merasa seperti orang jahat, biarlah, sekali-kali aku harus balas dendam.
* * *
Hari ini sangat penuh dengan kejutan hingga berhasil mencampuradukan moodku, dan ini masih belum berakhir. Argh! ada apa sebenarnya dengan semua ini, aku tidak siap dengan segala bentuk perubahan yang datang dengan tiba-tiba! Lagi, lagi, dan lagi, sampai aku benar-benar lupa ini yang keberapakalinya dalam enam bulan terakhir ini papa membawaku ke Bailoch, dia bilang ada sesuatu yang harus kami selesaikan. Dan jika aku ingin pulang ke Indonesia, papa bilang aku harus melakukan satu syarat.
Wajah papa terlihat berbeda, tapi sesekali dia melempar senyumannya padaku dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Begitu aku bertanya mengenai syarat apa dan kenapa harus di Bailoch, papa hanya berkata seperti itu. Ini membuatku sedikit khawatir, ini pasti bukan hal yang biasa.
Sesampainya disana, di rumah Mrs Rudolf, ternyata ada mobil lain selain mobil papa dan aku mengenalnya. Langit tampak mendung hari ini, seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Kekhawatiranku mulai merangkak naik. Di dalam, sudah ada Mrs Rudolf dan pamanku, mereka menyambut kami dengan hangat. Paman nampak begitu terkejut oleh kedatanganku seolah dia belum pernah bertemu denganku selama ini. Dia memelukku, mengusap rambutku, dan basa-basi lain yang sebelumnya pernah dia ucapkan. Aku tahu, dia hanya berpura-pura dihadapan papa.
Papa, paman, dan Mrs Rudolf membicarakan sesuatu yang tidak kumengerti. Kupikir papa juga tidak mengerti tapi dia bahkan terlihat serius sekali. Dan aku terlihat bodoh disini. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan, berusaha mencari-cari sosok Arthur. Jika dia muncul, aku hanya tidak siap melihat seperti apa ekspresi wajahnya nanti. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan, jadi aku lebih memilih pergi dan sepertinya aku memang harus mengatakan sesuatu pada Arthur, kata maaf.
Benar saja, Arthur ada disana, di bawah pohon trembesi. Dia duduk melipat lututnya sambil bersandar pada batang pohon itu. Apakah tidak apa-apa kalau aku datang padanya seperti ini? Aku hanya takut Arthur membenciku karena kejadian tadi, tapi kurasa itulah alasanku berada disini. Setelah berada tepat di sampingnya aku cukup kecewa karena alih-alih bicara, dia bahkan tak melirikku. Matanya hanya terarah kedepan tanpa berfokus pada satu halpun.
“Arthur...”
Hening, satu-satunya suara yang terdengar bising hanyalah gemerisik dedaunan yang dihembuskan angin. Tak lama aku melihat lekukan urat dari kepalan tangannya, rahangnya ikut menegang, tatapannya teralih padaku seketika. Kurasa Arthur memang marah.
“Maafkan aku, karena telah terlalu lancang padamu.” Arthur menatap lekat kedua mataku.
Tidak, ada apa dengannya? Akulah yang harusnya meminta maaf karena telah membuatnya terluka. Arthur datang disaat yang tidak tepat, disaat pikiranku tengah kacau dengan sesuatu tentang Edrick, yang selalu memenuhi isi kepalaku tanpa tahu kenapa, dan karena sifat menyebalkan papa yang membuat akhir pekanku jadi berantakan. Sekarang, melihat sikapnya seperti ini aku benar-benar terlihat seperti orang jahat, yang dengan mudahnya menghancurkan hati seseorang lalu memaksa orang itu untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Aku menghembuskan nafas berat, tak yakin apakah dia masih mau mendengarku atau tidak.
“Sejak kecil aku sering berpindah-pindah sekolah karena pekerjaan papaku. Sampai orang tuaku bercerai aku masih sering pindah sekolah, kadang aku tinggal bersama mama dan kadang bersama papaku, itu membuatku sangat lelah. Orang-orang bilang aku beruntung karena aku bisa mendapat banyak teman, tapi apa kau tahu kenapa aku tidak menyukainya? Karena tidak ada seorangpun yang benar-benar menjadi temanku. Mereka menjadi teman saat kami masih saling bertemu, saat kami berada di kelas yang sama, tapi setelah aku pergi mereka kembali menjadi orang asing. Dengan mudahnya aku dilupakan...
...Arthur, aku takut kau juga seperti itu.” Untuk sekedar bernafaspun rasanya sulit, dadaku seperti bergemuruh, suaraku mulai bergetar.
“...Dulu teman lamaku pernah berkata, ‘teman adalah kekuatan’, aku selalu mengingat kata-kata itu. Sekarang aku mendapati tubuhku mulai melemah, seperti ada sesuatu yang hilang, entah kemana perginya. Dan aku tahu apa itu...
... Jadi, maukah kau menjadi alasan bagiku untuk tetap kuat?” Aku menenggelamkan wajahku diatas lutut. Ah, kenapa aku seperti ini, terlalu terbawa emosi sampai muncul cegukan karena menahan air mataku.
“Kenapa kau menangis?”
Aku mengangkat kepalaku, bahkan sekarang nada bicaranya terdengar lain. Apakah Arthur sama sekali tidak peduli atau berpura-pura tidak peduli? Dia membuang muka, sekali lagi, dengan tatapan kosong.
“Aku tidak bisa melihatmu seperti itu, jadi hentikanlah...
...Aku selalu merasa seperti orang jahat jika melihatmu menangis, meskipun aku tak melakukan apapun tapi jika melihatmu seperti itu...kau tahu, aku juga ikut sakit...." Arthur menundukan kepala, kali ini dia memperhatikan buku-buku jari tangannya.
"...Aurora itu, akulah satu-satunya orang yang bisa melihatnya.”
Tunggu, aku seperti pernah mendengar kata-kata Arthur, itu pernah diucapkan Mrs Rudolf disaat aku menginap di rumahnya karena papa tak datang menjemputku sore itu. Iya, sepertinya aku mulai ingat. Waktu itu setelah Mrs Rudolf membangunkanku karena tak sengaja tertidur di sofa, setelah Arthur pergi dari sana, Mrs Rudolf mengatakan sesuatu, setengah berbisik;
“Sarah, Arthur adalah orang yang istimewa, bukankah kau juga merasakan itu?...” Mrs Rudolf menarik pipiku sehingga wajah kami menjadi berhadapan. Dia menatapku lekat, tak membiarkan pandanganku teralih.
“...Kau tahu apa itu aurora? Itu adalah pancaran warna dari diri setiap orang. Dan kau beruntung.”
Iya, Mrs Rudolf berkata seperti itu. Lalu sepertinya dia juga mengatakan bahwa aku punya sebuah aurora yang sangat terang, dan orang yang mampu melihatnya hanyalah Mr Rudolf dan Arthur. Bagiku mungkin mereka memiliki semacam indra keenam. Meski aku tidak begitu mengerti dengan kelebihan mereka tersebut.
Pikiranku kembali pada sosok Arthur yang kini menatapku.
“Sarah, jika aku mengatakan satu rahasiaku padamu apakah kau akan tetap menganggapku sebagai teman? Apa kau tidak akan menarik kata-katamu bahwa kau memintaku untuk membuatmu tetap kuat?”
* * *
Rumah ini terasa sedikit bergoncang, kami semua menyadarinya. Suara gemuruh angin terdengar begitu kuat, beberapa benda di atas meja ikut bergetar. Angin itu masuk lewat celah-celah ventilasi dan menyentuh seisi rumah ini. Tiba-tiba Arthur muncul dari arah pintu belakang.
“Sapi-sapinya mati.”
Papa, paman, dan Mrs Rudolf bangkit dan bergegas pergi keluar. Aku juga turut mengekor. Kurasa sebentar lagi aku akan mengulang semuanya. Aku benci ini. Semuanya sama seperti waktu itu. Saat angin besar tiba-tiba menggulung dan ternak-ternak yang mati mendadak dengan bekas luka itu, aku tahu semua ini akan terulang lagi.
Ya, sapi-sapi itu mati! darah segar masih mengalir dari luka di leher mereka. Ini adalah sebuah ancaman. Aku menggenggam erat tangan papa. Sekarang sudah dimulai.
“Sekarang, papa bisa melihatnya sendiri. Apa papa masih mau mengelak lagi?”
Papa hanya diam saja, terpaku pada bangkai itu. Lalu sejenak kemudian dia mengusap rambutku.
“Setidaknya sekarang papa disini bersamamu.”
Jantungku terpompa lebih cepat dan semakin cepat. Semua orang menatapku, lalu paman menarik tanganku dengan kuat.
“Sudah tidak ada waktu lagi.”
Paman membawaku ke ruang rahasia itu. Papa mengikuti kami dari belakang beserta Mrs Rudolf. Mereka mengira bahwa aku belum mengetahui tempat ini. Paman menjelaskan begitu banyak tentang ruangan ini sambil terus menggenggam tanganku. Yang ingin aku tanyakan adalah, apa yang akan mereka lakukan padaku?
Mrs Rudolf membuka pintu kaca itu dengan sebuah password. Lalu kami masuk kesana. Mrs Rudolf tidak bicara apapun, hanya sibuk menyiapkan ini dan itu dari sebuah kotak besar, juga dari tempat seperti etalase. Alat yang dia siapkan nampak ngeri. Dari dulu aku benci jarum suntik. Paman menyuruhku untuk berbaring, lalu dia memasang sebuah sabuk yang menyilang dari bahu sampai pinggangku, ditanganku juga terpasang pengunci. Papa hanya terus berkata semuanya akan baik-baik saja. Aku masih menggenggam tangannya, papa tidak boleh meninggalkanku. Paman menghampiri Mrs Rudolf, dari sini aku bisa melihat paman sedang memasukan sebuah cairan kedalam suntikan. Firasatku mulai tidak enak.
“Papa, apa yang akan mereka lakukan padaku? Kenapa aku diperlakukan seperti ini?”
“Tenang, Sarah, jangan takut, papa ada disini.”
“Tolong jawab aku.”
Pamanku mulai berbalik dan menghampiriku, wajahnya nampak serius.
“Kenapa kau begitu sulit bicara, David. Katakan saja.”
Papa menundukan kepalanya, dia mencium tanganku. Setetes air hangat menyentuh punggung tanganku. Bibirnya bergetar, tak pernah kulihat papa dengan raut seperti itu.
“Papamu sudah tahu semuanya, Sarah. Sekarang, jika kau ingin lepas dari incaran mutan itu, kau harus melakukan satu hal.”
“Apa kau yakin semua akan berjalan baik?”
Papa nampak sangat khawatir dengan keadaanku. Dia bahkan menangis, hal yang tidak pernah aku lihat selama ini. Meski papa bilang semuanya akan baik-baik saja, nyatanya papa sendiri terlihat ragu. Selama ini aku hanya melihat ketidak acuhan papa padaku. Tanpa aku tahu bahwa ternyata diam-diam papa mengetahui semuanya. Tapi aku selalu melihat papa diam saja saat aku sedang dilanda ketakutan dan kesulitan, kupikir papa memang tidak peduli padaku.
“Ingat, kau yang memintaku untuk melakukan ini. Aku hanya berusaha semampuku.” Paman sudah berada tepat di sampingku, sebuah suntikan dengan jarum yang panjang siap menancap di tubuhku.
“Bagaimana dengan resikonya?”
“Kita tidak akan tahu kalau tidak mencobanya.”
“Tolong, jangan buat Sarah menderita.”
Jadi maksudnya aku akan dijadikan bahan percobaan, begitu? Lalu bagaimana kalau gagal, apa aku akan berakhir seperti Edrick? Paman menyuruh papa untuk sedikit menjauh, dia sudah siap melakukannya. Ketika papa mulai melepaskan genggamannya dariku, aku merasa lemah. Aku sangat takut, mataku memicing begitu jarum suntik ini mulai menembus kulitku, gesekan antara kulitku dengan jarum itu terasa linu hingga kesadaranku perlahan memudar. Samar-samar aku melihat sebuah senyuman dari bibir paman.
“Sekarang, kau bisa memanggilku kakek.”
Lalu semuanya gelap. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu. Bahkan ucapan terakhir paman aku tidak mengerti.
* * *
Dimana ini? Aku memutar mataku ke seluruh yang bisa kulihat. Disana ada Mrs Rudolf yang menemaniku, dia melempar senyuman tipis, lalu menuntunku keluar dari ruangan kaca itu. Aneh, aku tidak merasakan apapun saat terbangun. Dia mendudukanku dan segera memberiku minuman hangat. Tidak ada siapapun di ruangan ini selain kami berdua. Aku mulai teringat sesuatu.
“Mrs Rudolf, boleh aku tanya sesuatu?”
“Ya, Sarah, apa itu?”
“Apa yang kalian lakukan padaku?”
Senyum Mrs Rudolf sedikit memudar, dia terlihat memikirkan jawaban untukku. Tak lama Mrs Rudolf mulai menceritakan semuanya, perlahan. Dia bilang bahwa sampai saat ini, mereka belum berhasil menemukan cara untuk mengubah mutan itu kembali menjadi manusia. Bahkan membunuhnya sekalipun tidak akan mudah. Setelah menyalib mutan itu di sebuah pemakaman, semuanya menjadi lebih tenang. Mrs Rudolf berpikir bahwa semuanya sudah berakhir.
Namun, berbeda setelah kedatanganku ke tempat ini. Suatu malam, Mr Rudolf melihat sesuatu melesat masuk ke dalam kastil itu. Tanpa disangka, ternyata dia mendapati papaku tengah tergeletak di lantai. Dia segera menelepon ambulance, tapi polisi malah ikut memeriksa kejadian ini. Mr Rudolf tahu bahwa masalah ini bukanlah hal yang bisa diselesaikan dengan hukum. Dia berusaha agar semua kejadian ini tidak bisa diselidiki sedikitpun oleh polisi, akhirnya dia mengarang cerita.
Mr dan Mrs Rudolf tahu ada yang tidak biasa dari diriku. Mr Rudolf berkata padanya bahwa aku terlihat begitu terang, sampai aroma darahku tak bisa teralihkan dengan darah apapun. Dan itu juga membuat ular yang mereka simpan di ruang basement kastil itu menjadi sangat agresif. Ular itu menjadi tak pernah kenyang dengan darah lain setelah mencium aroma darahku yang lebih segar. Jika itu tak dihentikan, maka ular itu akan bangkit untuk menyerang siapapun. Mr Rudolf mulai khawatir lalu akhirnya berpikir bahwa mungkin satu-satunya jalan adalah dengan mengorbankanku pada ular itu, akan menghentikan semuanya seperti semula. Ular itu tenang dan mutan itupun menghilang.
Mrs Rudolf bilang bahwa dia sangat bersyukur bahwa aku masih selamat. Aku mengatakan padanya bahwa mutan itulah yang telah menyelamatkanku.
“Mrs Rudolf, sebenarnya ada satu hal yang masih membuatku bingung. Gigitan mutan itu tidak membunuhku. Bagaimana itu bisa terjadi?”
“Itulah yang sedang kami cari tahu. Dan satu-satunya kemungkinan adalah karena gen campuranmu.”
“Maksud Anda?”
Mrs Rudolf menjelaskan lagi. Saat mereka mengetahui bahwa selama ini keadaanku terlihat baik-baik saja, mereka berpikir bahwa pasti ada sesuatu yang menyebabkan itu terjadi, karena selama ini tak mungkin mutan itu tak pernah sedikitpun meneguk darahku. Mr Rudolf menghubungi paman dan mendiskusikan hal itu, bersama papa yang juga turut andil di sela-sela kesibukannya. Mereka sering pergi ke rumah paman dan mencari tahu tentang semua ini, bahwa ada seseorang yang tidak mati setelah terkena racun itu. Maka dari itu, mereka benar-benar berusaha mencari tahunya. Mereka khawatir jika mutan itu terus menghisap darahku, tubuhku akan kehilangan ‘sesuatu’ yang selama ini membuatku kebal, dan darahku akan membuatnya menjadi lebih ganas. Sayangnya sebelum menemukan jawaban yang pasti, Mr Rudolf telah lebih dulu pergi meninggalkan dunia ini. Padahal, menurut Mrs Rudolf, dia adalah satu-satunya yang bisa merasakan pergerakan mutan itu dengan sebuah aurora yang dapat dilihatnya. Cerah, jika mutan itu tak nampak sebagai mutan, gelap jika dia mulai menunjukan sisi ganasnya. Itulah sebabnya, jika awan mulai berubah keabuan dan angin yang tiba-tiba bertiup kencang, mutan lapar itu pasti akan menunjukan wujudnya.
Setelah sekian lama mencari jawaban, satu-satunya kemungkinan adalah karena gen campuran yang mereka bilang tadi. Itulah yang harus mereka lakukan, mengubah susunan DNA-ku dengan cara menghilangkan salah satu gen antara gen papa atau mamaku.
“Jadi itu yang kalian lakukan padaku? Bukankah itu malah akan membuatku mati setelah mutan itu menggigitku lagi?”
“Tidak, Sarah. Dr Alex menambahkan sebuah serum untuk menghilangkan aroma darahmu dari penciuman mutan itu.”
“Lalu gen siapa yang mereka hilangkan? Mama atau papaku? Apa yang akan terjadi setelah itu?”
Mrs Rudolf hanya terdiam, tidak menjawab pertanyaan terakhirku. Dia hanya mengusap pelan pundakku, lalu mengalihkan pembicaraan dan menyuruhku secara halus untuk meninggalkan tempat ini. Untuk pertanyaanku yang satu itu, kurasa aku akan mengetahuinya sebentar lagi.
Aku sudah mencapai anak tangga yang terakhir ketika aku mendengar suara dari ruang tengah. Aku mendorong perlahan daun pintu dan mengintip mereka dari sini agar aku bisa mendengar pembicaraan mereka.
“Sejauh mana hubunganmu dengannya?” Paman nampak tengah bicara pada Arthur. Dia membetulkan posisi kacamatanya yang melorot dan menghentak-entakkan satu kakinya yang menumpang.
“Cukup dekat. Kami sering pergi bersama.”
“Apa kau yakin itu adalah dia?”
“Huh, terlalu mudah untuk tidak mengetahuinya. Aroma darahnya cukup kuat. Sejak pertama melihatnya, aku sudah tahu bahwa dialah mutan itu.”
“Hmm...Bagaimana sikapnya pada Sarah selama ini?” Sebuah cerutu dia masukan kedalam mulutnya hingga suaranya hanya terdengar mengguman. Arthur mengalihkan pandangannya dari paman.
“Dia benar-benar terlihat seperti manusia biasa. Sikapnya sangat normal pada semua orang, termasuk pada Sarah. Setiap saat dia selalu mengawasinya dengan mata itu.”
Mereka sedang membicarakan Edrick. Aku merasa tertipu bahwa ternyata Arthur telah mengetahui sejak lama bahwa mutan itu adalah Edrick. Untuk apa dia menyembunyikannya dariku.
“Mutan itu akan semakin lemah jika dia tak mendapatkan darah Sarah, kurasa ini memang keputusan yang tepat. Perlahan, dia akan mati.”
“Hmm..” Paman hanya mengangguk.
Kenapa sekarang keadaannya seolah terbalik? Aku melihat Arthur yang lain dari sebelumnya, dan Edrick, aku tidak mau dia terluka. Aku memutuskan untuk keluar dari sini, membuka pintu ini lebar-lebar dan menampakkan diriku dihadapan mereka.
“Sarah, kemarilah. Bagaimana keadaanmu, apa kau merasakan sesuatu?” Paman membetulkan posisi duduknya, dia megibaskan tangannya agar aku menghampirinya.
Kakiku melangkah perlahan menuju kesana, tapi tertahan beberapa langkah setelah merasa bahwa aku tidak perlu duduk bersama mereka, dan papa tak ada disana. Selain tubuhku yang sedikit lemas, memang tidak ada lagi yang kurasakan.
“Aku baik-baik saja.”
Pamanku tersenyum. Mungkin dia berpikir bahwa dia telah berhasil melakukannya tanpa efek samping. Aku hanya ragu bahwa sebenarnya semua itu belum dimulai. Dia menyuruh Arthur untuk membawaku keluar dan menghirup udara segar. Tapi nampaknya Arthur sedikit malas, dia menghembuskan nafas berat sebelum bangkit dari sofa. Dia bahkan tak mau menatapku.
Angin itu sudah berhenti, cuacanya kembali cerah. Sama seperti sebelumnya, Arthur tidak berjalan bersamaku, aku hanya mengikutinya dari belakang. Langkahnya yang lebar dan cepat membuatku semakin jauh tertinggal. Akhirnya aku menghentikan langkah. Aku tidak percaya, ternyata ini lebih buruk dari yang kukira. Hal seperti ini pasti akan terjadi dan inilah yang kutakutkan, tapi aku tidak menyangka akan secepat ini. Kau tahu, Arthur, aku tidak suka ada perubahan yang membuatku terlihat menyedihkan dan membuatmu terlihat buruk di mataku.
“Kau pembohong, Arthur.” Aku mengguman sendiri.
* * *
Tenggorokanku kering, baru saja aku bermimpi buruk, tapi aku tidak bisa mengingat apa itu. Sepertinya aku merasa sedikit demam, selalu seperti ini jika terlalu lama berada di Bailoch, mungkin karena anginnya. Aku hanya butuh air. Sepertinya aku juga lapar, badanku lemas seperti kurang makan. Ah, untuk bangun dari tempat tidur saja aku merasa tidak sanggup. Aku berjalan dengan menyeret kedua kakiku, yang penting aku segera tiba di dapur, haus sekali. Aku langsung mengambil gelas dan membuka lemari es, tapi tiba-tiba gelas itu jatuh dari tanganku.
Ada sebuah kompresan di dahiku. Aku melihat papa sedang bersender di kursi di samping tempat tidurku, dia tengah memijit pelipisnya. Kenapa aku jadi demam? Badanku terasa nyeri untuk bergerak. Papa membuka matanya setelah melihatku terbangun.
“Sarah, katakan apa yang kau rasakan saat ini?”
“Um, demam.”
“Ya, mungkin ini efek sampingnya. Sekarang panasmu sudah menurun.” Papa menempelkan punggung tangannya di dahiku.
Baiklah, tidak apa-apa mungkin ini efek dari obat itu. Aku hanya harus bertahan, mungkin hanya demam satu atau dua hari saja.
Tidak seperti dugaanku, tiga hari kemudian aku masih terbaring di kasurku. Semakin hari tubuhku semakin terasa nyeri, terutama dibagian leher dan telapak tanganku. Rasanya panas, seperti ditusuk dan dibakar. Aku ingin bangun dari tempat tidur, tapi tubuhku benar-benar lemas dan sakit. Jika tidak dipaksa aku tidak akan bisa bergerak. Mungkin aku akan lumpuh. Tidak, jangan. Aku bangkit dan berjalan dengan terpaksa ke depan cermin, kulihat tubuhku semakin kurus. Jari-jari tanganku keriput, pipiku tambah tirus, bibirku pecah-pecah sepucat kulit wajahku, dan rambutku benar-benar kusut. Aku butuh perawatan ke salon secepatnya. Benar aku tidak apa-apa? Kata papa sakitku paling hanya dua hari saja. Apakah tidak sebaiknya aku dirawat di rumah sakit? Kelihatannya sakitku parah.
Dua hari kembali berlalu. Kini untuk membuka mulutku saja aku tidak sanggup. Setiap melihatku papa bahkan terlihat miris. Aku tahu di dalam hatinya pasti papa merasa risau. Lalu aku harus bagaimana? Aku bahkan tidak memikirkan apa hal yang akan aku lakukan setelah ini, tidak ada rencana. Aku hanya pasrah, dengan harapan bahwa aku pasti sembuh sebentar lagi.
Aku benar-benar tidak bisa bicara pada papa. Aku seperti bisu. Berkali-kali sakit di sekujur tubuhku menyerang, dan aku hanya bisa menahannya. Setiap kali aku mengerang sampai mengeluarkan air mata, papa nampak kebingungan. Setelah itu pasti papa mengambil handphone-nya dan menghubungi seseorang, kurasa itu paman atau Mrs Rudolf. Tapi pembicaraan mereka tak pernah terdengar olehku. Papa selalu pergi keluar kamar saat bicara.
Suatu hari, entah hari apa, paman datang menjengukku. Setelah lebih dari seminggu berbaring aku lupa hitungan tanggal dan hari. Aku merasa takut, takut kalau ternyata tindakan paman untuk menolongku ternyata tidak berhasil. Ini sudah lebih dari seminggu dan aku semakin kesakitan. Pamanku membuka kopernya, didalamnya berisi beberapa suntikan dan cairan aneh yang menjijikan. Bau khas obat sangat menyiksa penciumanku.
Sesaat sebelum cairan itu dia suntikkan kedalam tubuhku, tampak sedikit perdebatan diantara mereka. Tidak seperti papa yang terlihat panik, paman lebih terlihat santai dan cenderung masa bodoh. Aku hanya bisa memandang saja, bicara ataupun mendengar sudah terlalu sulit untuk kulakukan. Aku tahu, pasti papa hanya pasrah menerima semua rencana paman, meskipun belum ada kejelasan dari rencananya itu. Sebenarnya, kalaupun aku mati itu pasti akan membuatku tenang daripada hidup dengan rasa sakit seperti ini yang tidak ada kejelasan kapan aku akan sembuh. Sakit karena penyakitpun bukan, apa benar bisa disembuhkan?
Paman mencubit-cubit tanganku sebelum dia mengoleskan alkohol, tidak terasa sakit. Tapi begitu jarum suntik itu menembus kulitku, barulah aku merasakan sakit yang sangat menyiksa.
“Arrggghhhh...aaarrgghhh, papa ...papa.. hentikan ! aarrghh...”
Aku menjerit sekuatnya dengan suara yang serak, sekeras yang aku bisa. Tubuhku berontak. Papa menghampiri paman dan berdebat disana. Papa menenangkan tubuhku yang mengejang, dia meneriaki paman sampai lekukan urat lehernya menonjol dipermukaan. Tiba-tiba semua yang ada didepanku nampak berputar-putar, dan suara-suara disekitarkupun menghilang. Aku mulai masuk kedalam mimpi buruk.
* * *
Aku terbangun dari mimpiku setelah rasa sakit yang kudapat dari mimpi itu mengikutiku ke dunia nyata. Aku sangat terkejut dengan bekas luka disekujur tubuhku, lama aku memandanginya. Luka ini seperti luka lama yang muncul kembali. Luka dibagian lenganku, kedua telapak tangan, jari telunjuk, juga dibagian pipi sebelah kiri, aku ingat ini adalah bekas cakaran Marshie. Aku menyentuhnya, sedikit perih. Bahkan luka dibagian leherku ini masih basah dan sangat nyeri. Aku hanya memandangi lukaku dengan perasaan bingung.
Saat papa dan paman masuk ke kamarku, paman langsung mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung mantelnya. Itu satu siung bawang putih. Dia mengupasnya dengan kuku-kuku tangannya yang keriput dan gemetar.
“Syukurlah kau sudah siuman. Sekarang bagaimana perasaanmu?” Papa mengusap kepalaku dan menyeka keringat dari keningku.
“Aku haus.”
Papa lalu memberikan segelas air yang langsung kutengguk sampai habis. Rasanya sudah sangat lama aku tidak minum air. Pamanku tersenyum, dalam kondisiku yang seperti ini senyumannya hanya menambah rasa sakitku saja.
“Apa paman menggunakan bawang putih untuk mencegah makhluk itu datang kesini?” Aku bertanya dengan heran karena tangan paman masih asik mengupasi kulit bawang itu.
“Hahaha, konyol sekali. Dia itu mutan, bukan vampire. Mutan tidak takut pada bawang putih. Dan vampire, itu hanya mitos.”
Aku menutup hidung dan mulutku. Aku benci bau ini. Apa yang akan paman lakukan dengan bawang itu?
“Bawang putih memiliki zat analgesik untuk meredakan rasa nyeri. Ini, makanlah.”
“Apa?” Aku dan papa bicara bersamaan.
“Tapi Sarah itu alergi bawang putih. Dia pernah masuk rumah sakit gara-gara tidak sengaja makan nasi goreng.”
“Nasi goreng? Oh ya, benarkah? Hmm.”
Apa-apan ini?! Kenapa aku harus makan bawang putih, apa paman ingin aku mati? Dari semua tanaman umbi yang ada dimuka bumi, kenapa harus bawang putih?
“Baiklah, aku akan memikirkan cara lain. Untuk sementara ini tahanlah rasa sakit itu.” Paman langsung melempar bawang-bawang itu ke tempat sampah, setelah merapikan setelan pakaiannya dia bergegas pergi.
Beberapa hari kemudian, paman kembali dan menyuntikku lagi. Beberapa kali aku mengerang kesakitan dan tak mampu melakukan apapun selain menahannya. Aku kuat, aku tahu aku kuat, apalagi papa selalu berada disampingku. Aku hanya tidak habis pikir, untuk menghilangkan bau darahku dari incaran mutan itu, apakah harus sesakit ini?
Kondisiku sebenarnya lambat laun mulai membaik. Hanya saja, setiap aku merasa lebih baik, tiba-tiba timbul rasa sakit yang lain. Sekarang ini setelah aku merasa agak membaik dari luka-lukaku setelah suntikkan terakhir dari paman, muncul masalah lain lagi. Kulitku mulai memerah, gatal, lalu panas. Dalam sehari, kulit bagian epidermisku mulai menghitam seperti bekas terbakar, tapi tidak melepuh, hanya muncul ruam-ruam kemerahan yang sangat gatal. Paman bilang, jangan digaruk. Papa sepertinya mengenali gejala dari kondisiku ini, dia bertanya pada paman kenapa aku begitu terlihat menderita dan memilukan.
“Yang terakhir ini adalah obat untuk meredakan rasa sakitmu dan mempercepat keringnya luka itu. Karena jika luka-lukamu terus basah, bau darahmu yang belum hilang secara menyeluruh akan memancing mutan itu untuk datang kesini. Jadi bertahanlah.”
“Kenapa gejalanya terlihat sama seperti alerginya?”
“Hmm, entahlah, aku hanya membuat obat dari ekstraks Allium sativum.” Paman terkekeh sambil mengangkat kedua bahunya.
“Apa kau bilang? Itu sama saja!” Papa membentaknya.
Sungguh, dia sudah gila. Sepertinya dia senang melihatku menderita. Papa menarik tanganku yang tengah kugaruk dan memeriksanya. Ya, ini memang alergi karena bawang putih.
“Menurutku gatal lebih baik daripada dia kesakitan. Jika kau ingin Sarah benar-benar sembuh, sudah sewajarnya ada hal yang harus dikorbankan. Ya sudah, aku pergi dulu. Jangan hubungi aku jika kondisinya tidak terlalu mendesak. Hubungi aku jika rasa sakitnya masih muncul.”
Paman mendengus sambil merapikan kopernya. Selalu seperti itu, terburu-buru pergi sebelum aku atau papa meminta penjelasan lebih lanjut. Sepertinya dia menghindar.
Plisss show your reaction, your emotion, and something in your heart.><
Sepertinyaaa.. ada kisah nyata ttg teman..๐ข jleb gittu..
BalasHapusGa bisa komentar. Kepala lgi pening
Itu juga dianggap komentar ko syal ๐
Hapussudah kuduga arthur mengetahui sesuatu pas dulu dia menceritakan "definisi" tentang aurora pada sarah.
BalasHapusasdfghjkl...keren fun, makin penasaran dah...
Semakin kesini makin aneh nyak ๐
HapusCobaa... sakali2 mah... foto arthur cobaa... lamun teu kabeh pemain๐
BalasHapusKe bisi bogoh๐
HapusBetul betul betul. Mun teh nda nempo si arthur ke bisi bogoh, mana brondong lagi haha
HapusArthur yg itu mah dia gak bogoheun, tipenya yg berkumis tipis ceunah ๐
Hapusgak kok.. malah makin seru fun. pamannya itu sebenernya kakenya bukan? kalo ia berarti si edrick sebenernya udah tua dia bangkit dari kerangken di salib pas sarah datang ke bailoch, tapi pas sarah sekolah di sekolahan itu kenapa edrick sudah sekolah disana jadi anak popoler pula?? apa mutan itu sebenernya bukan edrick. dia hanya pinjam raga edrick saja??
BalasHapusSemoga di eps berikutnya bisa menjawab itu yak๐
HapusSemakin kesini makin complicated, urg te bisa mengingat detail2 penting nu pernah dijelasken sebelumna, yaluhan... Tapi feels na makin sini makin dapet dan nyesssss anet. Satu persatu rahasia muncul ke permukaan tapi bukannya selesai malah menuju cliffhanger, ditambah si edrick te muncul2. Kemanakah dia? Kkk
BalasHapusHehe, Edrick masih di backstage XD
Hapus