Minggu, 21 Agustus 2016

Bailoch chapter 2: 10

Bailoch

Chapter 2

Sarah || Arthur || Edrick || Others
Mystery || Romance
Pg 17





Sepulangnya kami dari ladang Mr O’cornwell aku melihat sebuah mobil mewah terparkir di depan rumah Mrs Rudolf. Aku tidak tahu itu mobil siapa, sampai saat kami tiba barulah aku mengetahui siapa pemiliknya. Rasanya ini agak aneh, aku mengenal pria itu, tapi wajahnya kini sedikit lain, lebih tua dari yang kubayangkan. Semua rambut di kepalanya sudah berwarna putih, begitu juga kumis tebal yang menutupi philtrumnya.
Setelah sekian lama tidak bertemu, kenapa kami bertemu disini? Dan kenapa dia bisa ada disini? Pamanku. Mrs Rudolf sedang bicara bersamanya, sebuah duffle coat biru navy tersampir di bahu sofa, disampingnya ada sebuah koper hitam yang berwarna senada dengan sepatu oxford berbahan kulit yang mengkilap. Paman bersender di sofa dengan menumpangkan kaki, di tangannya ada sebuah cerutu yang mengepul. Begitu melihatnya aku hanya mematung di depan pintu, karena aku bingung reaksi apa yang harus aku tunjukan.

Kami tidak pernah bertemu selama aku dan papa pindah kesini. Mungkin pamanku sedikit terlupakan meskipun sekali-kali ada keinginan untuk menemuinya. Padahal dia satu-satunya saudara kami dan pamanku hanya tinggal di negara sebelah saja, cukup dekat. Dengan alasan sibuk, sampai sekarang papa belum pernah mengajakku menemuinya. Tak kusangka sekarang kami sudah bertemu tanpa perlu naik pesawat. Tidak seperti dugaanku, ternyata paman mengenaliku dengan cepat. Begitu melihatku paman langsung berdiri. Dia melepas kaca matanya dan menatapku dengan mata yang membulat, mulutnya langsung terbuka seperti tak sabar ingin bicara sesuatu. Begitu paman tersenyum, kerutan-kerutan di bagian kening, ujung mata dan pipinya nampak sangat jelas, seolah menggambarkan usianya yang telah lanjut. Paman menghampiriku dan memelukku, dia menanyakan kabarku sambil memegang kedua pipiku. Beberapa kali juga paman mengusap rambutku hingga kepalaku terasa panas. Mrs Rudolf menyuruh Arthur melakukan sesuatu sesaat setelah kami tiba, sehingga Arthur tidak ikut duduk dan berbincang bersama kami. Paman kemudian menyuruhku untuk duduk disampingnya. Aku merasa aneh dan curiga dengan kedatangannya, pasti ada sesuatu. Bibirku mulai lelah memasang senyuman tidak tulus seperti ini, aku ingin segera menanyakan maksud kedatangannya kesini. Pamanku sedikit memberi jeda sebelum melanjutkan ucapannya yang terputus karena kedatanganku dan Arthur tadi. Aku menatap Mrs Rudolf yang nampak santai, tidak terlihat seperti ada masalah disini, atau mungkin mereka menyembunyikannya? Sulit untuk menangkap ekspresi dan gestur Mrs Rudolf karena pembawaannya yang tenang. Tak butuh waktu lama paman langsung menceritakan kedatangannya, bahwa dia akan menjual rumah tuanya itu, jadi dia menyempatkan diri untuk berkunjung kesini. Dari yang bisa kutebak dari sorot matanya, aku yakin ada sesuatu, beberapa kali dia menyentuh hidungnya. Setelah tidak begitu lama basa-basi, paman bangkit dan mengajakku untuk berjalan-jalan. Aku mengiyakan. Perasaanku ternyata tidak sesenang seperti yang pernah kubayangkan, ini biasa saja.

Pamanku berdiri memandangi sebuah bangunan tua bekas rumahnya dahulu. Dia menggumam sendiri. Aku sudah merasa tidak tenang dan ingin cepat pergi, mengingat kenangan lama bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Aku mengusap kedua lenganku karena auranya terasa sangat dingin, kepalaku tak hentinya mengamati sekelilingku, takut jika tiba-tiba ada sesuatu yang tidak diharapkan terekam lensa mataku.

Kami terus berjalan mengarah ke sebuah bukit yang berdiri di samping desa Bailoch, yang pemandangannya lebih menakjubkan lagi dari tanah datar berpadang. Saat matahari terbit, cahaya kemilaunya akan menaburi wajahmu dengan kehangatan yang menggelitik. Warna langit menjadi sedikit kemerahan, atau seperti abu-abu muda yang dalam sekejap akan menghilang lalu tergantikan dengan warna biru yang cerah. Seiring berdirinya sang mentari, cahaya menyilaukan itu akan membuat matamu terpejam, lalu kau akan merasakan sensasi luar biasa setelah berhasil melihat matahari terbit sempurna dengan gagahnya. Aku pernah merasakan itu bersama Arthur, setelah dia memaksaku untuk bangun di pagi buta hanya untuk menyaksikan matahari terbit. Meski sedikit malas, tapi rasa kantukku telah terbayarkan. Tapi saat ini, berjalan bersama pamanku, meskipun bukan di pagi hari, semua keindahan itu tak muncul sama sekali.

Aku hanya mengekor dibelakang pamanku. Biarlah dia yang menentukan tujuan kemana dia ingin pergi. Tanpa kusadari, ternyata kami menuju sebuah pemakaman tua yang pernah aku lewati saat mencari Marshie. Kami terus berjalan memasuki area pemakaman lebih dalam lagi. Bau-bauan aneh dan suara hewan-hewan seolah menyambut kedatangan kami. Mungkin aku bisa menyembunyikan rasa takutku, tapi respon tubuhku sulit untuk kukendalikan. Sepanjang perjalanan ini paman bahkan tak bicara padaku.

Kami berhenti setelah nampak sebuah pohon besar dan tua membentengi langkah kaki kami. Pohon itu berlumut diseluruh bagiannya, dahannya begitu kekar dan tebal melekuk ke segala arah, akarnya menyembul dari permukaan tanah saking besarnya. Tempat ini cukup gelap, cahaya mataharipun tidak bisa masuk lewat celah-celah dedaunannya yang rimbun. Dan di sekelilingku, nisan-nisan kusam menghiasi tanah lembab ini. Sunyi. Suaraku seperti tenggelam dalam bisingnya suara burung gagak.

Paman menggumam lagi, entah apa yang dia katakan, sepertinya dia tidak sedang mengajakku bicara, melainkan hanya pada dirinya sendiri. Kedua tangannya tertaut dibelakang tubuhnya yang membungkuk, tak lama segaris senyum tersimpul di wajahnya, bahunya terlihat bergoncang ketika sebuah tawa keluar dari celah bibirnya, dia tertawa.

“Bukankah selama ini papamu tidak mempercayai ceritamu?”

“Huh?”

“Dia berbohong. Kau pasti mengira bahwa papamu selalu sibuk untuk bekerja dan tidak memiliki waktu untukmu. Sebenarnya dia sangat mencemaskanmu.”

“Um, maksud paman?”

Dia hanya tersenyum. Aku masih tidak mengerti apa maksudnya. Dan tempat ini aku juga tidak tahu. Sepertinya paman sengaja tidak memberitahuku agar aku bisa menebaknya sendiri.

“Mutan itu... Sejauh apa tindakannya padamu?”

“Ah...”

“Tidak usah ragu. Aku percaya semua ceritamu, Sarah.”

Paman baru saja menyinggung soal Edrick, ternyata dia tahu. Seharusnya aku mengatakan semua hal yang selama ini membebani pikiranku, tapi aku tidak begitu percaya padanya, entah kenapa. Seharusnya paman bisa kuandalkan untuk membuat Edrick kembali jadi manusia biasa, tapi sepertinya itu tidak mungkin karena pamanku bukan orang yang cukup baik untuk melakukannya. Aku tidak ingin Edrick jadi lebih terluka karenanya. Pamanku tersenyum lagi sambil mengusap pundakku. Dia kembali berjalan mendekat kearah pohon itu, dia memutari sambil terus memandanginya. Aku menghampirinya saat paman menghilang dari balik pohon itu. Dia menatap sesuatu yang ada disana dengan serius. Sebuah salib. 

“Dulu, tempat ini kami buat untuk menahan mutan itu. Dia makhluk yang buas. Bahkan keluarganya sendiri dia bunuh demi mendapatkan seteguk darah. Seluruh warga desa saat itu sangat ketakutan...

...Aku tahu, ini kesalahanku. Aku sudah berusaha sekeras mungkin untuk menghentikannya tapi aku tidak sanggup. Selain mengurungnya disini aku tidak tahu apalagi yang harus kulakukan, meskipun aku tahu hal ini hanya bertahan sementara. Itulah sebabnya kenapa aku pergi dari sini. Hahaha...”

Kurasa pamanku sudah gila, kenapa dia malah tertawa atas kesalahannya sendiri? Dan lagi, dia salah, Edrick tidaklah membunuh keluarganya, dia bukan seorang pembunuh. Aku tahu Edrick memang jahat, tapi tidak sejahat dirinya.

“...Kau tahu, Sarah, sebenarnya aku tidak pernah menduga hal ini akan terjadi. Sepertinya dia terbangun setelah mencium darahmu begitu kau datang ke desa ini.”

Pamanku masih terus memandangi sebuah salib usang bekas tempat mengekang Edrick. Ukurannya besar dan terbuat dari kayu. Sedikit ngeri membayangkan seperti apa kejadian waktu itu.

Pamanku bersikap sangat tenang, sedangkan jantungku naik turun tak karuan mendengar kisah itu. Lalu, kalau sudah begini apa yang harus kulakukan? Bahkan paman tidak bilang dia akan menolongku. Apa dia tidak ingin melakukan sesuatu, setidaknya bertanggung jawab atas semua perbuatannya.  Aku ingin bertanya banyak hal, tentang lukaku yang seketika hilang saat terkena air liur mutan itu, tentang aurora, tentang semuanya. Bahkan penjelasan mengenai mengapa mereka melakukan hal ini. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing, semua yang ada dihadapanku berputar-putar, begitu banyak pertanyaan yang tak sabar ingin keluar dari mulutku, tapi akhirnya aku malah tidak mengatakan satu katapun.

Pamanku langsung mengantarku pulang sore itu. Bahkan aku tidak sempat mengatakan selamat tinggal pada Arthur. Sebelum hari semakin gelap, kami harus segera pergi atau tidak sama sekali. Itu sebabnya kami sangat terburu-buru. Setelah sampai di apartemen, paman mengatakan untuk tidak menceritakan bahwa kami sudah bertemu di Bailoch pada papa. Dan aku tak tahu kenapa aku harus melakukan hal itu.

Mengingat kejadian kami siang tadi, aku yakin niat paman datang kesana bukanlah untuk menjual rumahnya, melainkan merencanakan sesuatu yang ada kaitannya dengan Edrick. Aku malah jadi mengkhawatirkannya. Saat paman menanyakan soal Edrick, entah kenapa aku tidak ingin memberitahunya sama sekali. Aku juga tidak mengerti, kenapa aku seolah membelanya dari paman.

* * *

Aku mulai ragu kemana papa pergi selama ini. Aku mulai memikirkan ucapan pamanku bahwa papa sebenarnya berbohong. Apa dia benar-benar bekerja atau adakah hal lain yang dia lakukan di luar sana yang tidak kuketahui? 

Malam-malam sekitar pukul setengah dua, aku mendengar suara pintu terbuka, ternyata papa sudah pulang. Aku mengintipnya dari celah pintu kamarku yang sedikit kubuka. Kulihat papa langsung bersender di sofa dan memijat pelipisnya, nampak kelelahan. Lalu dia pergi ke dapur untuk membuat minuman hangat. Melihatnya aku merasa kasihan. Memangnya selama dia mengenakan jas dan dasi yang begitu rapi selain pergi bekerja lalu kemana?

Aku keluar dari kamar dan menghampirinya, papa tersenyum. Aku memeluknya dengan erat. Seandainya papa bisa membaca perasaanku, aku hanya ingin mengatakan, papa tolong jangan bohongi aku.

“Kau pasti sangat kesepian. Apa saja yang kau lakukan selama papa pergi, apa kau pergi ke pesta lagi bersama temanmu?”

Aku menggeleng.

“Hmm..Kau tidak pergi ke Bailoch, kan?”

“Memangnya kenapa?”

“Um, papa pikir kau tidak akan pernah mau datang lagi kesana. Bukan begitu?”

“Tentu saja tidak. Um, maksudku iya, aku tidak pergi kesana. Sungguh.”

Papa menyuruhku untuk segera tidur. Mulai besok papa libur, dia mengajakku pergi ke suatu tempat yang pernah dia janjikan dulu. Bahkan aku sudah melupakannya. Sudah kubilang, papa sangat baik dalam membuat janji, tapi begitu buruk untuk menepatinya. Aku tidak bisa terlalu berharap.

Entahlah, kenapa akhir-akhir ini aku seperti tidak ada gairah untuk hidup. Aku ingin tersenyum, ingin tertawa tapi rasanya sulit, tidak ada alasan untuk melakukan itu. Ah, padahal orang-orang bilang bahagia itu sederhana, bagiku terlalu rumit. Sudahlah, ini hanya hal sederhana, malah akan semakin besar kalau aku membesar-besarkannya. Pasti akan ada jawaban dibalik semua masalah ini.

Papa mengatakan bahwa aku pasti akan menyukai tempat itu, proyeknya kini telah selesai. Sebenarnya papa bilang dia ingin mengajakku ke acara peresmiannya tapi dia pikir aku tidak akan menyukai keramaian. Mungkin sekarang waktunya telah dirasa tepat untuk membawaku ke sana. Ada sesuatu yang spesial yang ingin papa tunjukan padaku.

“Yah, setelah sekian lama akhirnya kita bisa jalan-jalan.”

“Hmm..”

“Kau senang?”

“Iya.”

Kami tak terlalu banyak bicara di mobil, sudah kubilang aku merasa hampa, dan papa hanya membiarkanku terduduk sendiri dalam kehampaan, padahal aku mengharapkannya untuk menghiburku atau setidaknya membicarakan hal yang kusukai, tapi ternyata papa sama sekali tak bisa membaca perasaanku. Dari sini saja, angin langsung menyambutku dengan lembut, membuat rambutku berhasil menari kegirangan. Papa mengajakku untuk menaiki mobil golf. Papa tahu aku lebih menyukai berkendara daripada jalan kaki, sebenarnya bukan begitu. Aku suka naik mobil golf karena aku tidak terlalu suka bermain bolanya, jadi itu hanya alasanku untuk menghindar.

Beberapa orang kulihat sedang begitu asyik bermain, peralatan golf mereka sangat lengkap dan... sepertinya mahal. Aku tidak begitu paham tentang permainan ini, hanya sedikit heran kenapa beberapa orang justru sangat menyukainya. Disana ada juga beberapa anak seusiaku. Aku memperhatikan salah seorang dari mereka yang sedang bersiap memukul bola, dari pukulannya saja sudah terlihat bahwa dia masih amatir. Bola itu melambung tinggi sehingga orang-orang disekitar turut mendongakkan kepala ke arah lambungan bola itu yang semakin menghilang. Lalu mereka tertawa. Begitu serukah? Bukan, kupikir bukan hanya soal permainannya, tapi rasa kekeluargaan yang begitu hangat mengalahkan kehangatan cuaca siang ini yang tak bisa disandingkan dengan apapun. Sungguh beruntung. 

Mobil ini masih melaju semakin jauh dari keramaian. Aku tak bisa nenebak kira-kira berapa luas tempat ini, yang jelas aku cukup menikmatinya. Ini bukan sekedar sebuah lapangan, bukit dan danau yang terlihat alami sungguh menjadikan tempat ini sebagai salah satu tempat terindah yang pernah kulihat. Aku senang. 
“Kita sudah sampai.”
“Kita akan bermain golf?”

“Tidak. Papa hanya ingin menunjukkan tempat ini padamu. Ayo ke sebelah sana.”
Sedari tadi papa terus mengumbar senyumannya, seolah tak sabar ingin melihat seperti apa reaksiku. Jadi, inikah tempat spesial yang papa maksud? Sungguh indah. Papa membawaku ke sebuah rumah pohon yang sengaja dia buat untukku. Rumahnya kecil dan tidak terlalu tinggi. Ada dua ruangan disana dan salah satunya memiliki sebuah jendela yang menghadap langsung ke arah danau. Kalau kau naik ke atas sini kau bisa melihat semuanya, air danau yang jernih maupun hutan kenari yang di dalamnya terdapat ratusan tupai yang lucu. Papa membuatkan semua ini untukku, tapi tunggu.. untuk apa? Kebahagiaankupun seketika berakhir.

“Bagaimana, kau suka? Kau selalu meminta dibuatkan rumah pohon sewaktu kau kecil. Apa kau ingat?”

“Iya, tentu saja. Terimakasih telah melakukan semua ini untukku. Bukannya aku tidak menghargai ini, tapi... untuk apa semua ini? Aku sudah tidak menginginkannya.”             

“Bukankah kau selalu ingin melukis di tempat seperti ini? Ini akan menjadi tempatmu sekarang, lakukanlah apapun yang kau inginkan disini, kau bisa mengerjakan tugas, membaca, atau yang lainnya.”

Aku tertunduk, mencoba menembus pikiranku sendiri. Aku tidak percaya papa akan mengatakan hal itu, sungguh, ini memuatku sangat kecewa. Lalu aku memutar tubuhku menghadap pada pria jangkung itu yang sama sekali tak menunjukkan rasa empatinya, dia terus tersenyum seperti malaikat tak berdosa. Ekspresi papa selalu seperti itu, kenapa?
“Pa, apa papa sudah lupa?”
“Tentang?”
“Janji papa padaku. Papa tidak lupa, kan?”

“Ah, Sarah, papa pikir.. um.. kau bisa kuliah di St Andrews...”

“Tapi papa sudah janji. Dulu papa bilang kita harus bertahan disini sampai pekerjaan papa selesai, lalu berubah sampai aku menyelesaikan sekolahku. Dan sekarang kenapa papa berubah pikiran lagi? Papa sudah janji membiarkan aku pulang setelah lulus sekolah. Kenapa papa selalu mengingkarinya?”

“Um, Sarah, dengarkan papa...”

“Tidak ! Selama ini aku berpikir bahwa apa yang papa lakukan adalah demi kebaikanku. Tapi papa tidak pernah mengerti. Apa papa tahu bagaimana keadaanku sekarang? Apa papa masih tidak mau peduli dan mempercayai ceritaku? Lalu sebenarnya untuk apa aku hidup?!...

...Pa, tolong, sekali saja dengarkan aku, aku butuh perlindunganmu. Aku takut, aku sudah tidak sanggup lagi.”

Aku mencoba mengeluarkan seluruh perasaanku padanya entah dia akan mengerti atau tidak, kalaupun aku harus berteriak, aku akan melakukannya. Mungkin kata-kataku memang sulit untuk dimengerti, tapi setidaknya aku ingin papa mendengar segala rasa penatku. Sulit sekali membuat papa mempercayai bahwa mutan itu benar-benar ada. Papa terlalu keras kepala.

Papa memelukku dengan erat tanpa berkata apa-apa. Kata maaf yang aku harapkan bahkan tidak terucap. Oh, kenapa semua ini begitu menyebalkan. Aku melepaskan diriku dan menghindar darinya. Aku ingin sendiri. Ternyata di dunia ini tak ada seorangpun yang peduli padaku. Beruntungnya mereka yang setiap saat bisa tertawa bersama keluarga mereka. Aku bahkan tak punya keluarga.

Sedikit hiburan bagiku bahwa tempat ini memang menyenangkan. Bodoh namanya kalau tidak mau mengakui bahwa tempat ini sungguh indah. Meskipun panas, tapi udaranya sejuk. Aku menoleh ke belakang, barangkali papa mengejarku, tapi ternyata tidak. Mungkin papa masih terlalu muda untuk menjadi seorang ayah, dia belum cukup dewasa dan selalu bertindak sesuka hatinya. Egois. Papa berkali-kali membuatku kecewa, dia berjanji hanya untuk mengingkarinya. Aku lelah.

Ada seseorang disana sepertinya sedang menatapku, tapi orang itu hanya berdiri saja. Siapa dia? Aku menghentikan kakiku dan menatapnya dari kejauhan, hanya samar-samar yang bisa kulihat. Lalu orang itu mulai mendekat hingga berhenti beberapa langkah didepanku. Aku selangkah mendekat untuk menanyakan kenapa dia berada disini, tapi ucapanku tidak lebih cepat dari sepasang lengannya yang tiba-tiba merengkuh tubuhku, menenggelamkan diriku dalam pelukannya. 

“Hei !”
Aku berusaha berontak, melepaskan dekapan ini dan mendorong tubuhnya. Ini sungguh.... Apa yang dia lakukan? Jantungku seperti akan melompat keluar, dan aku tidak mau kalau dia sampai merasakan degupan ini karena...aku begitu gugup. Disaat seperti ini kenapa...
“Sebentar saja. Aku ingin memelukmu lebih lama lagi...
...Apa kau bisa mendengarnya? Selalu seperti ini saat bersamamu. Apa kau tahu betapa menyiksanya perasaan ini?

...Sarah, aku berusaha menyelam jauh kedalam hatimu. Saat aku melihat cahaya itu, aku merasa sangat senang. Semuanya ingin kuraih setelah terasa begitu dekat. Dan kupikir aku bisa kembali, ternyata aku telah menyelam terlalu dalam dan tersesat disana.”

Tubuhku membeku seperti boneka manekin, otot-otot ini begitu kaku bahkan bibirku tetap terkatup meski ingin mengucapkan sesuatu, aku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Degup jantungnya tak karuan seperti menggedor-gedor genderang telinganku. Degup jantung kami sama kacaunya saat ini. Kenapa, kenapa Arthur mengatakan itu padaku? Aku tidak pernah merasa seperti ini, kaget, kecewa, canggung, dan perasaan geli didalam perutku yang terasa aneh. Aku bingung, aku tidak pernah bisa mengerti untuk hal semacam ini. Mungkin lebih tepatnya, untuk saat ini aku tidak mau mengerti. Aku mendorong tubuhnya menjauh, sekarang aku cukup leluasa untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. 

Arthur menangkupkan kedua tangannya di pundakku dengan sedikit goncangan. Entah apa yang kurasakan saat ini, aku hanya tidak ingin hubungan kami menjadi berubah. Aku sudah merasa nyaman seperti ini, tak ingin jika suatu saat datang waktu dimana kita akan saling membenci dan menjauh. Bukankah jika kita berteman semuanya akan berjalan normal dan biasa saja? Aku tidak ingin ada yang berubah, karena akan begitu sulit untuk menyesuaikan diri dengan keadaan asing itu.

“Kau bahkan tidak tahu apa itu cinta, Arthur. Orang sepertimu mudah sekali jatuh cinta.”

“Jadi kau pikir aku tidak serius?”

“Apa yang kau harapkan dariku?”

“Aku menginginkanmu menjadi bagian dalam hidupku. Sarah, aku...”

“Aku tidak bisa.”

Tersirat raut kecewa di wajah putihnya yang sekarang sedikit pucat. Bibir tipisnya sedikit bergetar, kantung matanya memerah, dan kedua pupilnya yang terlihat membesar, tidak seharusnya memantulkan bayangan wajahku. Ada sedikit rasa bersalah melihatnya kecewa karenaku. Dan aroma itu, sepertinya masih melekat ditubuhku, ini akan membuat dadaku terasa lebih sesak. Kau tahu Arthur, ada sebuah debaran yang menyakitkan didalam sini yang tidak kumengerti. Jika ini adalah isyarat bahwa aku harus mengambil sebuah tindakan maka itulah jawabanku, kuharap aku tidak memilih langkah yang salah. 
“Kenapa? A...Apa aku tidak berarti bagimu?”
Aku menatap kedua mata kelabunya, entah berapa lama kami telah menghabiskan waktu melakukan hal seperti ini. Aku berusaha memasuki celah iris matanya yang bening dan menghanyutkan itu, masuk kedalam salah satu bagian dirinya agar aku bisa menemukan sesuatu yang membuatku yakin terhadap satu hal, namun nyatanya sulit untuk menemukan keberadaan itu. Jika semuanya harus kukembalikan pada diriku sendiri dan bertanya pada hatiku, hanya ada satu jawaban yang begitu membuatku sakit.
“Entahlah, Arthur. Kau...abu-abu.”
Aku memutar tubuhku setelah melepas kedua tangannya dari pundakku. Bahkan begitu sulit untuk mempercayai diriku sendiri dan bagaimana perasaanku padanya. Aku sendiri bingung seperti apa Arthur dimataku, cukup berarti atau tidak sama sekali. Yang bisa kulihat hanya itu, satu-satunya warna yang nampak dari dirinya.




Hoooowww? Maafin kalo kurang dapet feelnya >< maklum belom berpengalaman hehe...


7 komentar:

  1. Owwww.. bikin baper๐Ÿ˜‚

    Tambah penasaran sama paman.. gilaa.

    Feelnya dpet ko... menurutku๐Ÿ˜‰

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thankseu!! ๐Ÿ˜˜ Si paman masih nyimpen rahasia, tunggu aja ampe nyembul ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜

      Hapus
  2. *cough cough* hmm Arthur... kenapa tiba2 dia ada disana dan bikin adegan drama yg bikin dugeun dugeun? Haduh mungkin kurang fokus bacanya, pas kata 'Arthur' disebut, wajah vernon terus terbayang terus jadi terhipnotis betapa aduhai nya dia pas adegan semi-drama sama Sarah. Salfok salfok, di chapter ini gak fokus sama cerita malah jadi fangirling si arthur. Ah why ;;;-;;; btw yg berdiri disana siapa? Edrick?? feels nya dapet kok. Iya, level Angst nya nambah tapi misteri nya agak surut. Why tah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Misterinya belom muncul. Duh gagal paham sama orang yg berdiri disono, kalo dibaca lebih jeli itu Arthur ko..
      Silahkan, reader berhak berfantasi ria.. XD

      Hapus
  3. Sekedar saran..
    Mending mun boga carita. Nyoba kirim ke penerbit. Lamun teu di tarima baru di pos di blog.
    Sayang lamun skill maneh tidak dikembangkan. Emang pasti hnteu mudah. Tapi apa salahna dicoba pun.
    Sebagai pemula. Cara menulis maneh gs laik ko. Urg ngomong kieu hnte berlebihan urg rasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saran ti batur sebelum ke penerbit coba dulu pamerin ke temen, trus minta masukan. Itung" belajar dan nambah jam terbang cenah syal ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚

      Hapus
    2. Ouh heem...
      Eta mah pndapat urg doang pun..๐Ÿ˜†

      Mangga wae eta mah.. da maneh nu ngjalankeun.๐Ÿ˜‰

      Hapus