Sabtu, 13 Agustus 2016

Bailoch Chapter 2: 1

Bailoch

Chapter 2

Sarah || Arthur || Edrick || Others
Mystery || Romance 
Pg 17






          Mobil sedan berwarna hitam tengah meroda membawaku ke suatu tempat. Entahlah, papa tidak mau mengatakannya. Tapi selang beberapa puluh menit aku mulai tahu papa akan membawaku kemana.
Jalan aspal ini, bebatuan ini, aroma rumput segar yang dihembuskan angin, aku masih mengingatnya. Mataku membulat. Ini, Bailoch ! Jantungku seketika berpacu. Tidak, aku tidak akan pernah mau kembali ke tempat ini lagi. Aku sudah mengatakannya. Keringat dingin keluar dari kedua telapak tanganku. Aku meminta papa untuk memutar balik mobilnya, tapi dia tak mendengarku sama sekali. Kami bertengkar di dalam mobil. Tangan papa sibuk menepis tanganku yang mencoba meraih stir mobil. Aku panik, berteriak tak karuan dengan ucapan yang terbata-bata. Ucapan papa ikut meninggi menyamai nada bicaraku. Dia mencoba menenangkanku sambil berusaha fokus menatap jalanan. Papa tidak mengerti, ada banyak hal yang tidak dia ketahui meski dia bilang semuanya sudah berlalu dan akan baik-baik saja. Dia mengira aku masih trauma, benar, aku trauma dengan segala pesona keindahan desa ini yang ternyata palsu. Tidak, bukan tentang Mr Rudolf dan ular raksasa peliharaannya itu. Tapi hal lain yang tidak pernah aku ceritakan pada papa.

          Aku yang saat itu duduk di kursi belakang terus menarik-narik lengan papa agar dia memutar mobilnya. Papa membentakku beberapa kali tapi aku tidak menghiraukannya. Mobil yang kami tumpangi mulai terpental ke kanan dan ke kiri, papa mulai kehilangan fokusnya, lalu hal yang tidak diinginkanpun terjadi.

               Brak !

       Papa kehilangan kendali dan menabrak sesuatu di depan kami. Mobil berhenti. Kami terdiam sejenak, aku mulai ketakutan, hingga kedua bibirku tak bisa tertutup rapat, wajah papa terlihat tegang, bulir-bulir keringat keluar dari pori-pori keningnya. Dia segera turun dari mobil dan memeriksa siapa yang baru saja kami tabrak. Tak lama, aku melihat papa tengah membopong seseorang dan membawanya masuk kedalam mobil, dan aku langsung berpura-pura tidur untuk menghindari amarah papa bahwa akulah yang telah menyebabkan semua ini terjadi.

           Papa bicara pada orang itu, dia terdengar sangat merasa bersalah, tapi tidak sedikitpun dia menyinggungku atas kecelakaan ini. Aku bisa mendengar sepertinya orang yang berada disampingku ini tidak apa-apa. Tadi sepintas aku melihatnya berjalan pincang, mungkin hanya kakinya saja yang terluka. Syukurlah, kupikir aku telah membunuh seseorang, dan dengan bodohnya setelah kesalahan yang kubuat aku malah berpura-pura tidur seperti seorang pengecut, mungkin kenyataannya memang seperti itu. Aku tidak berani untuk melihatnya, aku takut.

       Setelah aku merasa bahwa mobil telah berhenti melaju papa bicara padaku.

“Kau sudah bisa membuka matamu sekarang, Sarah.”

              Jadi dia tahu bahwa aku berpura-pura? Ya, baiklah, aku segera turun dari mobil, sepertinya aku sudah bisa mengakui kesalahanku sekarang.

              Deg.

         Tunggu. Apa ini sesuatu yang pernah kulihat? Ini, seperti sebuah rumah yang tidak asing bagiku. Marigold itu. Benar, ternyata aku masih ingat, ini adalah rumah Mr Rudolf. Tidak banyak berubah ternyata atau bahkan tidak sama sekali. Masih sama seperti dulu, berdinding kayu dan berpagar putih pucat. Kenapa papa membawaku kesini? Apa dia masih tidak mengerti? Papa menggenggam tanganku, mengajakku masuk kedalam, tapi aku menepis tangannya lalu berlari ke arah belakang rumah ini. Kusingkirkan sejenak pikiranku pada pak tua jahat itu, hanya ingin memastikan sesuatu yang begitu membuncah dipikiranku. Rasa penasarankupun terbayar, benar-benar tidak berubah. Hanya saja sekarang terlihat lebih rapi. Alat-alat berkebun yang biasanya tergeletak begitu saja di samping kandang sapi sekarang tersusun rapi di bawah sebuah saung kecil yang sepertinya merupakan bangunan baru di tempat ini, meskipun dibuat dari material yang sederhana. Dulu itu tidak ada. Apakah Mrs Rudolf yang melakukan semua ini? Mengingat bahwa dia adalah seorang janda yang tinggal sendiri, aku merasa kagum padanya.

“Moo..”

           Ah, aku tidak percaya ternyata Mrs Rudolf punya sapi lagi. Dari semuanya hanya inilah yang membuatku begitu terkejut. Aku bisa melihat mereka, bertiga, ayahnya, ibunya, dan yang kecil itu sudah pasti anaknya. Mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang bahagia yang tengah asyik menikmati makan siang dibawah terik matahari yang hangat sambil berbincang riang. Senyumanku tak bisa terbendung lagi, aku berlari kearah mereka dan langsung memeluk salah satu dari mereka, ini ayahnya aku yakin karena tubuhnyalah yang paling besar dibanding yang satunya. Entah sejak kapan aku begitu menyukai sapi. Rasanya seperti terhipnotis oleh bercak hitam dan putih dari bulunya. Menurutku ini cantik. Sapi ini terus menggeliat mencoba melepaskan tubuhnya dariku. Kumohon sapi, sebentar saja, aku ingin memelukmu lebih lama lagi.

“Hei !”

           Telingaku menangkap sebuah suara, siapa itu? Aku memutar tubuhku mencari sumber suara menyebalkan yang telah merusak kebahagiaanku. Aku menyipitkan alat penglihatanku. Disana aku melihat seseorang berjalan menghampiriku, orang itu memakai kemeja putih kebesaran berlengan panjang dengan celana cokelat pendek selutut. Rambutnya berwarna pirang agak kecokelatan yang dibiarkan tumbuh sepanjang tengkuk lehernya, bagian depannya hampir menutupi kedua mata dan telinganya. Orang itu berjalan tertatih, setelah beberapa saat aku mulai sadar mungkin dialah orang yang telah kami tabrak tadi. Dia mendekatiku, sekarang aku bisa melihatnya tanpa berakomodasi. Tubuhnya sedikit membungkuk karena postur tubuhnya yang lumayan tinggi bagiku. Dia berjalan dengan susah payah untuk berdiri dihadapanku. Setelah jarak kami cukup dekat, bisa aku lihat bahwa matanya berwarna cokelat keabuan, lebih dominan ke abu-abu ternyata. Cerah dan teduh. Aku tidak tahu siapa orang ini, wajahku telah dengan jelas menyiratkannya.

“Siapa kau?”

          Kami bicara bersamaan. Aku tidak berkata apapun lagi setelah itu, membiarkannya untuk bicara lebih dulu, tapi orang ini malah melakukan hal yang sama. Aku melipat tanganku di dada, masih menunggu, aku masih menunggunya bicara. Sedari tadi kami hanya saling memandang dengan wajah keheranan tanpa ada sebuah jawaban. 

“Umm, apa pria tadi itu ayahmu?”

        Ah, kupikir dia mau bilang apa. Dia terus menelisik wajahku seperti baru melihat orang Asia seumur hidupnya. Lalu tersenyum dan menggaruk kepalanya.

“Ya.”

“Tapi kalian...”

“Tidak mirip. Aku tahu.”

      Baiklah. Dia adalah orang kesekian dari kesekian kalinya yang menganggap aku dan papa tidak begitu mirip. Tentu saja. Tapi bukan berarti dia bukan papaku. Orang lain boleh saja mengira bahwa aku adalah anak tiri atau anak pungut. Aku tahu ini agak aneh untuk mereka lihat. Papa berkulit putih agak kemerahan, rambut pirang yang selalu wangi sampo, dan bertubuh tinggi seperti raksasa. Sedangkan mama berciri khas orang Asia. Dari situ aku bisa memastikan bahwa aku lebih condong berfisik seperti mamaku. Rambut hitam dan alis tebal serta kulit sawo matang yang eksotis. Tapi setidaknya aku memiliki hidung papaku. Itu sudah cukup.

“Kupikir kau pencuri. Rasanya tidak mungkin pencuri berpenampilan sepertimu.”

“Apa? Kau menuduhku pencuri?”

“Semua orang pasti menyangka seperti itu karena kau  membuat sapi-sapiku ketakutan.”

“Mereka sapi-sapimu?”

“Ya.”

         Pemuda itu menaikan kedua bahunya dengan sedikit anggukan. Aku memutar kepalaku melihat kearah sapi-sapi itu lalu kembali kearahnya. Jadi, dia adalah seorang penggembala rupanya. Penampilannya begitu standar, persis seperti anak desa kebanyakan. Rambutnya tampak tidak terawat dan bau matahari, tapi aroma tubuhnya wangi, seperti apel hijau. Aku heran kulitnya bisa tetap seputih ini jika dia adalah seorang penggembala yang biasa menghabiskan waktu di bawah sinar matahari. Aku tak henti memperhatikannya, memberi penilaian sendiri dan meracau di dalam kepalaku. Wajahnya tidak cocok dengan profesinya, tapi dia sangat standar, lihat saja cara berpakaiannya. Umm, dan kenapa dia terus memandangiku seperti itu?

“Umm, ada apa?”

            Sebelah alis mataku seketika tertarik keatas, mulai merasa risih dengan tatapannya, terlebih dia telah mengganggu waktuku dengan sapi-sapi ini. Kulihat samar semburat merah muda di kedua pipinya. Terlihat malu-malu hanya untuk menunjukkan sebuah senyuman, dia menahan senyumannya sendiri. Lalu dia mengulurkan tangan putihnya. Sebelah tangannya yang lain mengusap tengkuk lehernya.

“Namaku Arthur, kau?”

          Aku membalas jabat tangannya.

“Sarah.”

“Jadi... ternyata kalian yang telah menabrakku?”

        Aku segera menarik kembali tanganku. Perkataannya barusan terdengar begitu sarkastis, kata ‘menabrak’ terdengar sangat menyakitkan membuatku terlihat seperti seorang penjahat. Aku kehilangan kendali tubuhku dan bertingkah seperti orang gagap. Entah kenapa aku jadi seperti ini. 

“Sebenarnya... aku yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi. Kami bertengkar di dalam mobil dan aku berusaha mengambil alih kemudi sambil menarik-narik tangan ayahku. Lalu... semuanya terjadi...

...Maafkan aku, aku sangat menyesal.”

    Orang dihadapanku ini tersenyum, menimbulkan kesan heran bagiku. Bagaimana bisa dia tersenyum pada seseorang yang telah membuatnya terluka? Luka di lutut dan mata kaki sebelah kanannya yang terkelupas membuatku linu. Tapi orang ini malah tersenyum, seolah hal seperti itu bukanlah hal buruk. Itu membuatku bertanya-tanya, apakah dia normal?

“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja.”

“Apa kau tidak mau kami antar ke rumah sakit? Apa yang ada dikakimu itu?”

“Terimakasih. Sudah kubilang aku baik-baik saja. Ini beras yang ditumbuk dengan jahe agar lukaku tidak infeksi.”

“Syukurlah, semoga lukamu cepat sembuh.”

        Tangan ini reflek menyentuh bahunya, menepuk-nepuknya dengan pelan. Pria ini menatap tanganku dengan ekspresi gugup, lalu selangkah menjauh dariku. Mungkin aku telah membuatnya tidak nyaman.

“Umm, kau sedang ditunggu di dalam. Ayo kita kesana !”

       Aku hanya mengangguk. Kami berjalan perlahan, bukan, tapi dia, berjalan dengan sangat berhati-hati. Aku memperhatikannya dari belakang, apakah dia butuh bantuan? Oh ayolah, siapa orang yang tega melihat seorang yang tengah kesulitan melakukannya sendiri. Kakiku melangkah lebih cepat, menyeimbangkan jarak antara aku dan pria bongsor ini.

“Biar aku bantu.”

       Aku merangkul tangannya, mengalungkannya di leherku. Tapi dia berusaha mengelak.

“Ti..tidak, tidak, aku bisa berjalan sendiri.”

      Dia menarik tangannya, setiap ekspresi yang muncul dari wajahnya begitu nampak jelas. Dia malu, ya kurasa dia malu.

“Biarkan aku menebus kesalahanku padamu, ini hanya pertolongan kecil yang tak sepadan.”

    Dia menghentikan langkahnya, menatapku dengan sepasang mata abunya. Tak lama mata bulat itu berubah menjadi segaris tipis yang sedikit melengkung kebawah.

“Baiklah.”

        Dia mengulurkan tangannya, aku menariknya ke belakang kepalaku.

“Tidak, cukup genggam saja tanganku.”

“Ah, baiklah jika menurutmu ini membantu.”

        Jarak 35 kaki terasa sangat jauh, begitu pelan kami berjalan sehingga waktu berputar begitu lama. Apa yang bisa kulakukan? Aku tidak mungkin menyeretnya agar kami bisa segera sampai ke rumah. Tapi orang ini jika dilihat-lihat seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkannya, sesuatu yang sedang disembunyikan. Sesekali aku memergokinya berpaling kearahku lalu menunduk. Ada apa dengannya? Apa dia suka padaku? Ah, yang benar saja, tidak mungkin secepat itu. Aish, apa yang kupikirkan?

        Papa sedang berbincang dengan Mrs Rudolf saat kami masuk, mereka berdiri dari duduknya. Mrs Rudolf menghampiriku, raut sumringah menyambutku dengan hangat. Dia memelukku dan mencium keningku sambil mengusap rambutku. Paket lengkap, sudah cukup lama aku tidak merasakan kenyamanan ini.

“Oh, Sarah, kau sudah tumbuh sebesar ini. Aku sangat merindukanmu.”

“Aku juga merindukanmu, Mrs Rudolf. Bagaimana kabarmu?”

“Tuhan melindungiku.”

           Aku merasa tidak enak pada papa, aku takut dia marah padaku. Dengan ragu, aku melangkahkan kakiku. Agak mengendap dibelakang punggung Mrs Rudolf. Sial, aku sungguh kekanakan.

“Ayo duduklah.”

        Mrs Rudolf pergi ke dapur untuk membuat teh. Aku duduk di depan papa, tak berani menatap wajahnya. Dan Arthur duduk disampingku. Setelah Mrs Rudolf datang sambil membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan meletakannya dia atas meja, papa mulai mengawali pembicaraan.

“Saya akan menanggung semua pengobatan dan kebutuhannya, Mrs.”

“Tidak usah khawatir, Mr David, dia akan segera pulih. Terimakasih atas perhatian Anda.”

“Sebenarnya ini kesalahanku, Mrs Rudolf. Tolong maafkan aku. Sebagai penebusnya, Anda bisa menyuruhku melakukan apapun untukmu ataupun....”

          Aku memalingkan wajahku kearah seorang yang duduk disampingku. Mrs Rudolf tertawa pelan yang malah membuatku heran. 

“Dia Arthur, keponakanku. Jadi kalian belum berkenalan, ya?”

“Ah, kami sudah berkenalan. Aku hanya tidak tahu hubunganmu dengannya.”

“Kalau begitu, kau harus sering-sering berkunjung kesini agar Arthur tidak kesepian. Selama ini dia hanya berbicara pada sapi-sapinya saja.”

“Baiklah, aku akan sering datang.”

         Hahaha, sering datang? Tidak mungkin. Maaf, itu hanya basa basi saja.

“Jadi, sejak kapan keponakanmu pindah kesini? Dan aku lihat sepertinya desa ini sudah mulai ramai. Apa beberapa orang pindah kesini?”

              Papa mengangkat cangkir di hadapannya, meneguknya sekali lalu menaruhnya kembali. Setelah itu dia membuka kancing lengan kemeja lalu sedikit menariknya keatas dan memperhatikan jarum jam dari arlojinya.

“Arthur datang satu minggu setelah kematian suamiku. Ya, aku rasa beberapa orang mulai mengisi desa ini. Desa mereka terkena gusuran proyek pembangunan pabrik. Sekarang Bailoch menjadi agak ramai, aku bersyukur.”

“Dulu orang-orang meninggalkan desa ini karena mereka takut dengan monster, bukan? Lalu, bagaimana jika mereka tahu bahwa di desa ini ada sesosok makhluk yang mengerikan? Pasti mereka akan segera pergi dari sini.”

“Sarah, apa maksudmu?”

          Papa bertanya keheranan dengan alis yang berkerut, tentu saja karena dia tidak pernah tahu tentang hal ini. Yang dia tahu hanya Mr Rudolf orang yang jahat dan Bailoch yang mulai ramai sejak kematiannya.

“Papa tidak akan tahu apa-apa. Karena dari dulu papa tidak pernah mau mendengarkanku. Tapi aku yakin, Mrs Rudolf tahu semuanya.”

“S..Sarah..”

        Mrs rudolf tampak terkejut, jemari tangannya bertautan. Kantung matanya sedikit mengembung. Hari ini, hal yang tidak ingin aku ungkit keluar dari mulutku. Sebenarnya aku tidak bermaksud membuat Mrs Rudolf tersinggung, tapi nyatanya luka lama yang aku pendam belumlah kering. Wajah Mrs Rudolf tiba-tiba berubah sendu, jika aku terka sepertinya dia tengah membawa pikirannya kembali ke masa lalu. Memutar kejadian-kejadian entah itu baik ataupun buruk dengan mendiang suaminya yang jahat. Seharusnya dia juga mengingat kejadian saat aku diseret paksa untuk masuk ke basement rumah itu. Dia ada disana, berteriak sambil menangis berusaha mempertahankanku. Aku tahu dia tahu tentang rencana Mr Rudolf, dan aku juga tahu dia tahu bahwa sejak awal aku akan dijadikan tumbal. Aku juga masih ingat makan malam kami waktu itu, saat dia mencium keningku dan menginginkanku menjadi anaknya itu hanyalah sebuah basa basi busuk.

“S..Sarah, jadi kau belum memaafkan kami?”

“Seharusnya kalian masuk penjara. Tapi, aku tidak ingin, karena aku sangat menyayangimu. Aku tahu Anda adalah orang baik, tapi apa jadinya jika saat itu aku benar-benar mati?!”

          Mataku mulai panas, udara sekitar tiba-tiba menjadi sulit untuk kuhirup. Akhirnya tangisku pecah, begitupun Mrs Rudolf. Dia bangkit dan memelukku dengan erat. Sedangkan papa hanya tertunduk, dan Arthur, aku tak tahu apa yang dia lakukan.

“Aku memaafkanmu, Mrs Rudolf. Tolong jangan menangis lagi. Aku semakin sedih.”

           Wanita paruh baya ini melepas pelukannya dan mengusap air mata di pipiku sambil berusaha menghentikan air matanya yang terus mengalir.

“Aku tidak menangis, aku tidak akan menangis. Jadi kau harus berhenti menangis.”

          Aku hanya mengangguk. Setelah merasa lebih tenang kualihkan pandanganku pada pemuda yang duduk disampingku, yang sedari tadi tidak kudengar suaranya. Dia sedang memperhatikan kuku-kuku tangannya. Sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Arthur, apa kau sakit ?”

          Mrs Rudolf mengusap lembut bahu lelaki itu.

“Tidak, bi. Aku baik-baik saja.”

“Kalau kau tidak keberatan, ajaklah Sarah keluar, biarkan dia mencari udara segar.”

       Arthur mengangguk lalu berdiri, dia berusaha mencapai pintu dengan susah payah. Lalu papa ikut berdiri dan melarangnya untuk pergi.

“Tidak, Arthur butuh istirahat, Anda tidak perlu memaksanya pergi.”

“Aku tidak apa-apa. Hanya luka seperti ini aku tidak merasa sakit. Dan bukan berarti aku tidak bisa berjalan sama sekali.”

       Papa terdiam dan kembali duduk. Aku memperhatikan ekspresi wajah papa yang nampak murung. Tapi, biarlah papa disini, Mrs Rudolf pasti akan bicara sesuatu dengannya.

           Aku mulai bangkit dari tempat duduk dan menyusul Arthur keluar. Dia mengajakku, tidak, lebih tepatnya aku mengikutinya menuju ke sebuah padang yang terhampar luas di belakang rumah Mrs Rudolf. Dia terlihat letih, tapi aku ragu untuk membantunya setelah mendengar penolakannya tadi. Tapi aku juga tidak tega membiarkannya seperti itu karena ulahku. Langkah kakiku mulai menyeimbangkan dengan langkahnya sehingga kami berjalan berdampingan. Aku meraih tangannya, menggenggamnya, hanya menggenggamnya. Arthur tersentak dan menatap tanganku, dia berusaha melepasnya.

“Tidak, cukup genggam saja tanganku.”

           Wajahnya memerah lagi. Aku tahu dia malu, melihatnya membuatku ingin tersenyum, sikapnya terlalu polos meski badannya terlampau tinggi.

                 Kami berteduh dibawah pohon trembesi. Beberapa daunnya gugur menghujani kami, anginlah yang membuat suasana ini begitu manis. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat digembalakannya sapi-sapi sehingga aku bisa memperhatikan mereka dengan jelas. Tidak ada yang mengawali pembicaraan, suasana diantara kami sangat canggung. Aku tahu kami belum terlalu saling mengenal. Menurutku Arthur orang yang cukup pendiam. Dia menundukkan kepalanya, menaruh lengan diatas kedua lututnya. Aku bisa melihat luka Arthur dengan jelas dari jarak sedekat ini, mengerikan. Sebelumnya aku tidak pernah membayangkan akan terjadi hal buruk seperti ini, seharusnya aku bisa memperkirakan bahwa bertengkar di dalam mobil adalah tindakan kekanakan yang mampu menimbulkan bahaya.

“Kau, tidak ingin bicara sesuatu?”

          Arthur menoleh, tangannya yang dari tadi mencabuti rumput-rumput liar kini berhenti.

“Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan, tapi aku tidak ingin mengganggumu?”

“Kenapa kau berpikir begitu?”

“Kau sedang dalam kesedihan dan kau harus menghirup udara segar, aku tidak mau mengganggu.”

“Kalau kau berpikir aku sedang sedih seharusnya kau menghiburku, bukan mendiamkanku. Kau tahu, ini membuatku bosan dan merasa diabaikan.”

“Kalau begitu, boleh aku mengatakan satu hal?”

“Katakan saja apapun yang ingin kau katakan.”

“Kau cantik.”

           Bulu romaku seketika meremang. Tubuhku seperti membeku. Aku malu, benar-benar malu. Reflek, aku menyunggingkan senyuman, tersipu karena ucapannya yang spontan. Lucu saja, selama ini tidak pernah ada yang bilang aku cantik selain papaku sendiri. Ini membuatku menjadi salah tingkah sekaligus senang diwaktu bersamaan. Entah dia bicara jujur atau, sekali lagi, hanya basa basi saja.

“Kau lucu sekali. Ucapanmu membuatku terkejut.”

“Itulah yang ingin kukatakan.”

        Aku tertunduk, masih terasa aneh mendengar hal semacam itu. Ujung mataku mendapati Arthur sedang menatapku dan aku tidak yakin apakah penglihatanku melakukan tugasnya dengan benar sehingga membuatku memutar kepalaku dan memastikan apakah dia benar-benar sedang menatapku. Dan ternyata, iya. Rasanya tidak nyaman melakukan hal seperti ini. Menimbulkan sesuatu yang aneh didalam perutku. Tapi aku juga merasa senang memperhatikan iris matanya yang memiliki warna favoritku itu.

“Arthur..”

“Ya?”

“Ada apa?”

“Oh, tidak ada.”

             Dia mengerjapkan matanya dan berpaling. Lalu kami saling terdiam lagi untuk beberapa saat.

“Umm, sebenarnya ada apa antara kau dan bibiku. Kenapa kalian menangis? Dan kudengar kalian membicarakan tentang monster.”

   Aku menghembuskan nafas panjang. Sebenarnya dadaku masih terasa sesak jika harus mengingat hal itu.

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya pernah mengalami hal buruk, jadi hal itu aku sebut monster, bukan berarti benar-benar ada monster disini.”

“Sepertinya tadi kau menyebut tentang ‘sesosok’ makhluk yang mengerikan, bukan tentang ‘hal’ mengerikan yang kau anggap sebagai monster.”

“Um, sepertinya kau tidak menangkap maksud ucapanku dengan baik. Kau salah dengar.”

“Jadi dulu kau tinggal disini? Yang mana rumahmu?”

“Ah, um, sepertinya aku lupa. Mungkin rumahku sudah di gusur oleh pemilik barunya.”

“Aku rasa tidak mungkin kau lupa dengan tempat tinggalmu. Atau mungkin kau berusaha menutupinya dariku?”

          Benar, aku memang tidak lupa, tidak pernah lupa meski aku berusaha melupakannya. Tapi kumohon, aku ingin tak seorangpun mengusik hal ini lagi karena aku sudah berusaha mengubur semuanya dalam-dalam.

“Jadi itu semua sapi-sapimu? Siapa nama mereka?”

“Kau mengalihkan pembicaraan.”

“Arthur, ini adalah masalah pribadiku. Aku tidak ingin membahasnya. Kau akan semakin banyak bertanya tentang ini dan itu, dan...membuatku kembali teringat masa lalu. Aku hanya ingin melupakannya.”

         Pemuda itu tiba-tiba terdiam. Apa aku terlalu berlebihan? Aku tidak bermaksud membentaknya apalagi membuatnya tersinggung. Tapi aku harus melakukannya, demi melindungi rahasiaku.

“Ah, maafkan aku. Aku tidak bermaksud, kalau begitu aku tidak akan mengganggumu.”

          Dia benar-benar tidak bicara lagi ternyata, apa dia kira aku marah? Atau aku telah membuatnya marah?

“Kau marah?”

        Arthur menggeleng. Hanya menggelengkan kepala sedangkan tatapannya terarah kebawah. Lalu tanpa sengaja tangannya menyenggol luka di lututnya, membuatnya meringis. Melihatnya seperti itu aku turut merasa kesakitan, seperti luka itu ikut tumbuh di dalam dadaku. 

“Lukamu, apa sangat sakit?”

“Tidak.”

“Kau baik-baik saja?”

“Ya.”

“Apa kau ingin aku melakukan sesuatu? Katakanlah kalau kau menginginkan sesuatu agar aku tidak selalu dihantui rasa bersalah.”

“Tidak ada, terimakasih.”

       Ada apa dengannya? Apa ada yang salah dengan kata-kataku? Apa dia benar-benar tersinggung dengan ucapanku tadi?

“Baiklah, kalau begitu.”

    Pria ini sungguh membuatku bingung. Wajahnya terus tertunduk, tubuhnya sedikit membelakangiku, dan tangannya sibuk entah sedang apa. Mencabuti rumput mungkin. Sedari tadi hanya itu yang bisa kulihat.

“Sapi-sapi itu tumbuh dengan baik. Mereka terlihat bahagia.”

“Namanya Orie, Rossy, dan Max.”

“Max?”

“Ya, yang kecil itu namanya Max.”

“Um, nama yang bagus. Kau mengurusnya dengan sangat baik. Berjanjilah kau akan membagi dagingnya denganku jika kau...”

“Aku tidak akan pernah menyembelih ataupun menjual mereka.”

         Arthur memotong perkataanku dengan ketus. Apa dia sedang balas dendam? Baiklah, mungkin sekarang kita impas.

“M..maaf, aku hanya bercanda.”

               Kami terdiam lagi. Sepertinya semua yang aku katakan selalu membuatnya tersinggung. Jadi mungkin lebih baik aku tidak perlu bicara lagi, malah akan memperburuk suasana canggung ini.

“Ini, aku membuat sesuatu untukmu.”

       Arthur memegang sesuatu ditangannya. Sebuah rajutan sederhana dari rumput-rumput dan bunga liar, aku tidak yakin itu benda apa.

“Apa itu?”

“Kemarilah, akan aku pasangkan dikepalamu.”

“Jadi kau dari tadi sedang membuat ini? Terimakasih, ini bagus sekali.”

“Sangat cocok untukmu.”

      Ternyata Arthur membuat sebuah bando sederhana dari rumput-rumput disekitarnya. Sungguh, ini sangat kekanak-kanakan ! Aku sudah tidak bermain pencuri dan sang putri lagi sekarang. Usiaku 17 tahun, Arthur. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak ingin membuatnya kecewa. Dia tersenyum saat melihatku tersenyum.

“Kau mau memberi makan sapi?”

            Arthur berupaya berdiri dari tempatnya. Dia mengulurkan tangannya padaku.

“Kurasa mereka memang sedang makan.”

“Maksudku memberi makan langsung ke mulut mereka. Ayo, kita kesana !”

        Aku mengangguk. Bermain bersama sapi memang kesukaanku. Ternyata kami punya kesamaan, sama-sama gila karena selalu bicara pada sapi. Meski begitu, tak keberatan jika aku tetap gila karena menjadi gila lebih membuatku bahagia.
           
              Waktu terasa cepat berlalu, sinar jingga dari ujung barat mulai memancar di atas langit. Ini sudah sore, aku tahu. Tapi aku benar-benar tidak ingin hari ini berlalu. Seandainya saja papa tidak menyuruhku segera pulang atau jika besok sekolah libur, aku ingin tetap tinggal disini. Aku ingin tetap bersama sapi, dan Arthur, teman baruku.

                                     *   *   *


*1 kaki=0,3 m


See ya next time..
I'll be waiting for your comment, thankyou 😘

9 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Keren... cuma kata eta nu rek ditepikeun coz urang cuma reader dadakan nu resep baca gara-gara cerita maneh jadi urang mah teu ngarti masalah tentang tata cara penulisan yang baik dan benar nu urang nyaho mah cuma keren jeung teu keren :'D Semoga kelak maneh jadi penulis nu sukses fun :*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Teu nanaon jadi reader dadakan asal setia ,setia baca jeung komen 😁...
      Amiiinnn🙏

      Hapus
  3. Uuuu.. Karakter baruu...😍
    Next pun....😆

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Ow ratingna PG-17 oww. Aslina urg te terbiasa komen pondok, pake sunda deuih wkwk. Tapi mun urg komen seperti biasa, maneh pasti merasa aneh. Oh authornim~~~ Tenyaho rek komen naon, but i love Arthur muach muach. Chapter ini full of fluff, agak gak cocok dgn hatiku yg lagi patah patah, tapi untung masih dapet feels na. Btw, nu bagian si papa membuka kancing kemeja dan menariknya, rasanya agak ambigu, karna mungkin sebaiknya si papa membuka kancing 'lengan' kemeja. Urg shock, manya si papa muka kemeja buat liat jam xD next chappie ditunggu asap!!

    BalasHapus
  6. Hehehe urg syok ternyata gak ada kata 'lengan' jadi weh salah fokus T-T pdahal dina pikiran aya bayangan eta 😂. Pan sebelumna ge seharusnya beratting 17, tapi nu ayeuna gak ada konten berbahaya ko. 😁😁

    BalasHapus