Senin, 30 Januari 2017

'A' for Ai

Writing Project

A

TO

Z

F L A T F I C T I O N
###
.

1
.

‘A’ For Ai

By: Adhari
500 words


Ahh..

Ai.


Bukan hanya sebuah nama. Bukan juga sekedar lirik sebuah lagu populer Love and Truth milik Yui, penyanyi favoritnya. Sebuah kata dengan makna yang mendalam, cinta.

Earphone putih terpasang dikedua telinganya. Rambut hitam, lurus, nan tipis yang tumbuh didepan cuping telinganya yang lebar dibiarkan menjuntai bebas pada rahang ringkihnya. Bibirnya menggumam tipis, kepalanya mengangguk samar, tatapannya mengarah kedepan -dengan kelopak yang sedikit menurun- tapi tak memandang apapun. Jemari tangannya bertautan, saling menggaruk -bukan karena gatal, melainkan mengupasi kulit-kulit mati yang terasa kasar- tak sadar pada apa yang dilakukannya seolah jemari-jemari itu bekerja diluar perintah. Ai duduk melipat kedua pahanya ke samping, diatas lantai keramik putih pucat yang memantulkan bayangan dirinya -jika dilihat beberapa langkah dari tempatnya bersimpuh. Ai tidak memakai sepatunya, membiarkan rasa dingin dari keramik itu menyusup menembus kaos kaki tipisnya.

Perasaan segar selalu Ai rasakan belakangan ini. Perasaan itu rasanya seperti sedang bersandar pada sebuah pohon rindang dibawah panasnya terik matahari, lalu angin bertiup tipis-tipis menyentuh kulit lehernya, menerpa rambutnya ke udara. Seperti itu mungkin -meskipun kali ini sensasi yang dirasakan Ai lebih luar biasa.

Kakinya masih ia biarkan bersimpuh, meski harus ia akui bahwa rasa pegal dan kesemutan mulai membuatnya jengkel, atau marah. Tapi Ai masih tak bergeming dari situ, bahkan saat punggungnya kini terasa berat. Ai tersadar ketika ia menutup kedua matanya, menghirup aroma pahit sesuatu yang terbakar. Bahwa di tempat itu, di tempat ia bersimpuh, tak ada apapun selain dirinya dan earphone yang terus memutar lagu yang sama -mungkin sudah ratusan kali. Tak ada apapun yang hidup selain dirinya, juga tak ada yang mati kecuali kematian dirinya kelak.

Gadis itu tak pernah tidur sama sekali -lebih tepatnya ia tak dapat merasakan kantuk -bahkan mulas, atau migrain, atau bersin. Tidak, Ai tidak bisa melakukannya.
Perutnya terasa bergolak, teko akan mengeluarkan bunyi bising tanda mendidih jika saja ada yang tengah memanaskan air didalam perutnya -panas. Ini sudah kesekian kalinya Ai muntah, merasakan mual entah apa penyebabnya. Cairan muntah itu masih hangat -seperti becek bekas hujan- disekitar tempatnya bersimpuh. Bibirnya bergetar lagi setelah Ai menumpahkan semua isi perutnya keluar, hanya air. Meninggalkan bekas pahit dari ujung lidah sampai pangkal tenggorokannya, juga sedikit rasa masam -cairan asam lambung- dan pedas. 

Ai mendapati dirinya begitu menderita, terkungkung pada hati yang luka. Bahwa harusnya ialah yang berhak mendapatkan cinta. Sebab Ai adalah cinta, ia memiliki banyak cinta. Ai harus mendapatkannya apapun alasannya. 

Ai kini tersenyum, kerutan disekitar bibirnya makin tegas. Ai tertawa makin keras, menertawai dirinya yang telah jatuh pada jebakan yang mengatasnamakan dirinya. Ha, lucu.

Tangannya mulai bergerak di depan dada –mengapit kabel earphone yang kaku diantara telunjuk dan ibu jarinya. Menyusuri setiap untaian kabel itu –terus menurun kebawah- hingga ujung kabel itu menghentikan jemarinya. Ujung benda itu berwarna keperakan dengan tiga buah garis tipis berwarna hitam -yang lebih menjorok kedalam- mengitari permukaannya. Ai tersenyum lagi, ujung benda itu sedingin es. Artinya tak pernah ada sesuatu yang terpasang pada ujung benda yang terhubung ke earphonenya, tak ada lagu yang selama ini diputar. Ai hanya mendengar seolah Yui tengah memanggilnya. 

.
.
.

                                                           tap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar