Rabu, 12 Oktober 2016

Boy's Balloons

                              image


Hello, who are you?

Ini kebetulan yang menarik ketika seorang yang baru saja terlintas dipikiranku mendadak masuk tertangkap lensa mataku.

Sekali lagi, disaat aku terdiam tanpa bersuara bahkan seucap bisikpun tentang masa depanku yang begitu suram, terlintas sesosok pemuda yang tak kuketahui namanya memaksaku untuk berpikir ulang tentang kemudahan hidup dan tameng yang selama ini melindungiku. Jika dibandingkan dengannya aku bahkan kalah jauh sekali.

Ini bukan tentang seorang anak di lampu merah dengan pakaian lusuh dan kurus dengan puppy eyes-nya yang berhasil mengoyak perasaan, juga bukan tentang nenek tua yang kehilangan penglihatannya sambil dituntun seorang wanita paruh baya yang memegangi tangan si nenek. Bukan. Mereka adalah pengemis yang menjatuhkan dirinya pada posisi serendah-rendahnya sebagai manusia dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sulit.

Hal seperti itu juga tak pernah luput dari pikiranku bahwa bisa saja suatu saat aku berada diposisi itu, tidak menutup kemungkinan bahwa roda kehidupan selalu berputar dan membolak-balikan siapa saja yang hidup di dunia ini. Tapi menjadi seorang pengemis, aku sungguh tidak ingin itu terjadi.

Aku tengah melipat kedua lenganku sambil memegang tali tas selempangku, terhanyut dengan pikiran-pikiran mengganggu dan itu-itu saja, apa lagi selain tentang nasib masa depanku. Diatas sebuah sepeda motor yang tengah melaju, jalanan berlubangpun tak berhasil mengalihkan perhatianku, tidak sampai kejadian ini menamparku dua kali.

Minggu pertama, aku tak pernah dengan sengaja memperhatikan orang-orang yang melintas disekitarku dengan kesibukannya masing-masing, tentang apa yang mereka kerjakan aku tidak pernah peduli. Tapi kali ini, dan tanpa sengaja seseorang berhasil merebut tiga detik perhatianku seutuhnya. Seorang tukang balon.

Aku tidak mengerti, aku benar-benar bingung, hal apa yang Tuhan coba tunjukan padaku. Kala itu, hatiku seolah tertohok cukup nyeri. Sebenarnya ini cukup sederhana juga biasa saja, hanya seorang tukang balon. Yang berbeda adalah, ekspresi pemuda itu. Ya pemuda, dia seorang lelaki muda, jika kutebak umurnya mungkin tidak akan lebih dari dua tiga atau dua empat. Apa yang dia lakukan dengan balon-balon itu? Pertanyaan pertama seketika terlontar tanpa suara. Dia lelaki muda berwajah lugu, berjalan berlawanan arah denganku. Beberapa balon helium beraneka bentuk karakter terkepal erat ditangan kirinya. Tiga detikpun telah berlalu.

Hening, denyut jantungku menggema sampai ke telinga. Suasana hatiku yang memang sedang tidak stabil membuat kaca mataku berembun, aku benci jika ada air selain hujan melunturkan bedak bayi di wajahku. Ini curang, bagaimana mungkin aku semudah itu terluka.

Minggu kedua, jalan rusak itu telah membuat tubuhku terguncang begitu juga dengan perasaanku. Guncangan itu membuatku teringat pada seseorang, 'ah, di jalan ini..' begitu pikirku, tak sampai bibirku terkatup sosok itu berjalan dengan santainya menembus terik pagi pukul sembilan. Kebetulan paling manis yang pernah kualami. Lelaki itu, dengan langkah yang sama dan style yang biasa saja telah mencuri perhatianku lagi. Hanya kaos berwarna hitam dan jeans selutut yang terlihat longgar menyambut harinya pagi itu. Aku bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas saat itu. Hidungnya mancung, alisnya yang tebal bertaut meninggalkan kerutan didahinya. Matanyapun menyipit menerobos silaunya pagi itu. Poni tipis dari rambutnya yang hitam dan agak ikal mempermanis penampilan sederhananya. Tubuhnya tinggi kurus, kulitnya tidaklah hitam ataupun putih, tapi berkat sinar matahari yang hangat itu kulitnya nampak bercahaya, seperti malaikat penyambut pagi yang meneduhkan hati. 'Hei, apa yang kau lakukan dengan balon-balon itu?' Aku mengulang pertanyaan yang sama didalam hatiku, mengingat bahwa tak pernah kutemui balon-balon penarik perhatian anak-anak terkepal ditangan kekar seorang pemuda yang menjadi satu-satunya harapan untuk bertahan. Lihat, dia tidak seberuntung lelaki lain yang setiap paginya mengenakan pakain seragam dan bertunggang kuda besi. Dia tidak cocok, wajah lugu itu menyiratkan bahwa itu bukanlah yang dia inginkan namun keadaan tak memberinya pilihan lain. Hei, kau tak harus melakukan itu. Tapi jika kupikir tidak ada salahnya menjadi seorang penjual balon, karena rezeki itu datang dari sisi manapun yang Tuhan kehendaki. Apalagi jika harus dibandingkan dengan diriku yang sama sekali tak ada apa-apanya. Aku hanya memenuhi kepalaku dengan mimpi tanpa ada aksi untuk memperjuangkannya. Dengan alasan bahwa aku ingin melakukan apa yang kuinginkan, malah membuatku tertinggal dengan yang lain yang sudah mulai memeras keringat dari handuk basah mereka.

Beberapa kutipan yang membuatku bertahan pada pilihan yang menurutku salah melunturkan semangat awalku yang menggebu ketika mencoba untuk fokus hanya pada satu hal yang menjadi tujuanku, menulis dan terus menulis. Tapi ini sungguh sulit, aku mulai goyah sebelum mendapat kepuasan. 

“Kesalahan terbesar yang dapat dilakukan seseorang adalah tidak berusaha mencapai kesuksesan dengan cara mengerjakan apa yang betul-betul ia senangi.”-Malcolm Forbes. Hal yang kusenangi adalah hal yang sia-sia, apa benar begitu? Melihat pemuda itu yang berhasil mengetuk hatiku, aku harus sadar bahwa berjuang adalah satu-satunya cara sebelum ditenggelamkan dunia, meskipun tidak mengerjakan apa yang benar-benar disenangi. “Carilah pekerjaan yang betul-betul Anda senangi, maka seumur hidup Anda tidak perlu lagi menyebutnya bekerja.”-Confucius. Kurasa dunia kita yang sekarang tidaklah sama dengan dunia mereka, para motivator terdahulu. Jika harus mencari pekerjaan yang sesuai dengan apa yang kita inginkan, kita akan mati kelaparan, bukan begitu? Bukankah manusia sekarang berlomba untuk mencari bekal tua sebanyak-banyaknya?
Ah, pemuda penjual balon, kita tidak mungkin bertaruh tentang siapa yang akan sukses suatu saat nanti. Kau yang berjuang keras memenuhi kebutuhan meski tidak melakukan pekerjaan yang kau senangi, atau aku yang hanya ingin melakukan pekerjaan yang aku senangi dengan sedikit sekali keringat. Siapa yang bisa menebak?

Satu hal yang harus kita tahu, semua manusia yang hidup pasti memiliki mimpi, dan mimpi hanya didapat ketika kita tertidur, tapi kita harus terbangun untuk mewujudkannya. Mari kita lanjutkan hidup kita masing-masing, semoga beruntung.

Untukmu pemuda penjual balon, mungkinkah minggu berikutnya aku menemukanmu lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar