Bailoch
Chapter 2
Sarah || Arthur || Edrick || Others
Mystery || Romance
Pg 17
![]() |
image |
Aku tak percaya, aku sendirian. Aku masih tetap disini menunggu dia kembali. Namun, hari-hari telah berlalu dan dia tak pernah lagi datang. Aku tidak akan berpaling, aku tidak akan melewatkan satu detikpun menjauh dari tempat ini, sampai kudengar suara pintu terbuka dan menampakan seseorang yang sangat kusayangi datang memelukku. Aku yakin, dia pasti datang suatu saat nanti.
Aku tidak ingin mengingat kapan tepatnya itu terjadi. Yang jelas, aku tetap memungkirinya. Entah jika suatu saat pikiranku mulai berontak dan menamparku untuk sadar bahwa semuanya sudah berlalu. Ya, pikiranku berkata untuk melupakannya tapi hatiku berkata, aku tidak bisa. Bahkan senyuman itu masih terbayang dengan jelas.
Aku hanya tidak mau membenarkan kondisi ini, bahwa aku sendirian. Tak ada hal yang lebih buruk dari yang harus kuakui bahwa ternyata dia meninggalkanku. Entah telah berapa banyak air mata dan waktu yang kuhabiskan untuk memanggil namanya, tapi dia tak pernah kembali. Aku sangat kehilangan.
Sore itu, begitu aku sadar dari mimpi-mimpiku, seseorang menarikku dari sana. Begitu cepat sampai aku tak menyadarinya, bahkan tempat dimana aku berada saat itu. Ada yang tidak biasa darinya, ekspresi paling menyedihkan yang pernah dia tunjukkan padaku. Dia terlihat seperti seekor anak anjing yang terlantar. Dengan mata sayu, kelopak mata yang agak meredup, dan garis ujung matanya yang tidak menunjukan kebengisan. Ruangan itu begitu gelap, cahaya yang tipis hanya menerangi sebagian tubuhnya, wajahnyalah yang begitu jelas kulihat dengan raut seperti itu. Dibelakangku tembok membentang dengan kokoh, aku meraba-raba hanya pada bagian yang bisa kuraba dengan ujung jemariku, hingga tak tahu dimana letak ujung benteng ini berakhir. Yang kupikirkan adalah, aku tidak akan bisa kabur dengan cepat. Yang kurasakan hanya bingung, bercampur rasa takut jika semuanya masih belum berakhir. Akulah yang dia inginkan, akhir riwayatkulah yang akan menjadi akhir kisah ini. Itulah kepuasan baginya dan semua ini akan berakhir dengan kemenangannya. Tapi aku tak lagi menjadi aku di bulan kemarin, apakah niatnya masih tetap sama?
Aku seakan mati rasa, setelah merasa terlahir kembali aku tak ingat alasan apa yang membuatku bertahan pada satu keyakinan bodoh itu, kukira aku mencintainya. Dada ini telah penuh dengan kebencian, dan semua rasa yang pernah hadir untuknya telah seluruhnya lenyap tanpa sisa. Sampai aku tahu bahwa cinta takkan pernah menyakiti, tapi dia telah menyakitiku begitu banyak. Telah mengambil semua kebahagiaan dan sesuatu paling berharga dalam hidupku.
“Sarah...Jika aku bertanya satu hal padamu, apa kau akan menjawabnya dengan jujur?” Pria itu selangkah mendekat.
“...”
“Apa kau akan menjawabnya?” Dia memberi penekanan pada setiap ucapannya dengan nada agak membentak. Satu langkah dia mendekat lagi.
“...” Aku telah kehabisan kata-kata bahkan sebelum dia bicara. Aku ingat kejadian siang itu. Kekacauan itu, dialah penyebabnya.
“Aku ingin bertanya... Apa kau benci padaku?”
“Kau...apa yang terjadi dengan mereka?”
“Katakan !”
“Jawab pertanyaanku !”
Kami saling berteriak, sama-sama memegang ego yang memuncak hingga emosi yang terpendam tertumpahkan bersama air mata. Aku tahu kenapa dia bicara seperti itu, pasti sesuatu yang buruk telah terjadi pada mereka.
“Sarah..” Pria itu meraih pundakku.
“Jangan sebut namaku !” Aku menampik kedua tangannya.
“Aku hanya berusaha menyelamatkanmu.”
‘Menyelamatkan’? Huh, apa itu yang dia sebut menyelamatkan? Dengan melukai keluargaku, apa itu bisa disebut menyelamatkan? Kakiku yang bergetar telah kehilangan kekuatannya, tubuhku ambruk dengan wajah mengerikan yang kutenggelamkan diantara kedua lututku.
“Aku pasti terlihat sangat buruk dimatamu, meski bukan itu yang kumaksud tapi bagaimanapun aku menjelaskannya kau akan selalu menilaiku salah. Tidak, mungkin saja benar. Aku memang jahat, aku selalu lepas kendali begitu sosokku berubah jadi mengerikan. Aku monster pembunuh, seperti itu juga yang kulakukan pada keluargaku, membunuh mereka demi memenuhi rasa hausku...
...Sampai sekarangpun aku selalu ingin melakukannya pada siapa saja yang mencoba menghalangiku untuk mendapatkanmu. Siapapun...
...Aku melakukannya karena kau tak melihat mereka seperti yang kulihat pada hari menyedihkan itu. Mereka seolah melindungimu, aku benci. Dan yang lebih menyedihkan lagi, tak ada rasa penyesalan setelahnya, mungkin karena ini adalah dendam masa laluku...
...Aku hanya mencoba menyelamatkanmu... Maafkan aku...” Edrick meraih tanganku, aku mendongak. Dia memberikan sebuah pisau yang sedari tadi digenggamnya, yang kupikir akan dia gunakan untuk membunuhku.
“...Biarkan aku menebus kesalahanku. Nyawa harus dibayar dengan nyawa.”
Sungguh, jika aku tahu dia akan mengatakan hal itu, aku akan lebih dulu menutup telingaku dan berpura-pura tak mendengar semuanya. Jika aku tahu semua ini akan terjadi, lebih baik aku saja yang mati, jangan papa. Sungguh, aku benar-benar tidak sanggup mendengarnya, aku belum siap untuk ditinggal pergi, takkan pernah. Aku takkan bisa hidup tanpanya. Papa, papa meninggalkanku. Dia pergi. Papa meninggal. Papa sudah pergi. Seketika ingatan itu menarikku pada hari-hari yang telah kami lewati bersama, tanpa satu senyumanpun luput dari wajah malaikatnya. Satu-satunya orang yang dengan tegas mengatakan akan melakukan apapun demi aku, hingga membuat nyawanya seakan tak berarti. Saat punggung itu berlalu, satu senyuman itu benar-benar menjadi hal terakhir yang aku lihat. Seharusnya papa pergi bersamaku waktu itu. Dadaku terasa sesak dengan jantung yang terus bergemuruh. Antara benci, marah, dan sedih, semuanya meledak didalam dadaku. Setidaknya, Edrick harus benar-benar terlihat jahat untuk menjadi orang jahat. Dia harus benar-benar jahat agar terlihat seperti orang jahat. Dan sekarang aku sudah meyakininya.
Aku menggenggam pisau itu dengan erat sampai tanganku bergetar, entah karena genggamanku yang terlalu kuat atau aku ketakutan untuk memikirkan hal buruk itu. Aku berdiri menghadap padanya dengan penuh keyakinan. Kini, aku harus melakukan sesuatu dengan pisau ini. Benar, nyawa harus dibayar dengan nyawa. Hanya dengan cara itulah kesalahannya bisa terbayar. Dengan begitu hidupku akan tenang, dan aku tidak akan dikejar rasa takut lagi. Dengan begitu, kematian papa tidak akan sia-sia. Dia harus mati.
Aku terlonjak begitu merasakan sesuatu yang lembut menyapu kedua kakiku, hingga pisau itu terjatuh dari genggamanku. Dia mengeong dan sesekali menjilat jari-jari kakiku. Aku mengingat suara lembut itu, entah darimana dia datang. Kucing itu mengusapkan pipinya pada betisku, padahal sebelumnya Marshie sangat galak dan bersikap aneh. Kemudian dia berjalan kearah Edrick dan melakukan hal yang sama seperti yang kucing itu lakukan padaku. Sepertinya Marshie mengenalnya juga, dia takkan melakukan hal itu pada orang asing bahkan pada papa sekalipun. Mungkin saja Marshie memang mengenalnya. Atau jangan-jangan...
Edrick meraih kucing itu dan menggendongnya didada sebelah kiri. Dia mengelus bulu lembut Marshie hingga kucing itu mendengkur dan terpejam dalam pelukannya. Apa Marshie adalah miliknya?
Edrick menurunkan kucing itu. Dia menghampiriku dan mengambil pisau itu kembali, lalu dia ulurkan padaku. Wajahnya yang pucat hanya terlihat sayu seperti kehilangan harapan hidup, lalu bagaimana dengan Marshie? Apa dia pikir aku sekejam itu? Aku bukan seorang pembunuh sepertinya. Jika dia mati Marshie akan sendirian, sama sepertiku. Tak ada seorangpun yang mau hidup sendiri di dunia ini. Edrick dan Marshie sama-sama menatapku dengan wajah memilukan. Keadaan ini jadi seolah terbalik, akulah yang terlihat jahat dan Edricklah yang menderita. Seolah kami sedang menunggu detik-detik eksekuti mati. Tatapan Marshie seolah menyiratkan untuk tidak melakukan itu pada tuannya, Marshie seolah memohon dengan mata bulat seperti seorang anak yang lugu. Aku menerima pisau itu lalu melemparnya tanpa peduli arah.
Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak akan melakukan perbuatan keji itu. Kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan. Aku tidak akan membalas apa yang telah dia lakukan pada mereka, atau aku akan terlihat sama buruknya dengan orang itu. Ini yang terakhir, semoga setelah ini aku bisa lebih tegas dalam mengambil sebuah keputusan. Aku tidak akan memaafkannya.
Aku terus menatap Marshie hingga membuat Edrick memalingkan wajahnya dan menatap kucing itu juga.
“Dialah yang telah membuatku terlepas dari salib yang membelengguku selama tujuh belas tahun ini.” Edrick tertunduk, terlihat bulir-bulir kristal berjatuhan dari kedua matanya.
“Aku tak pernah menyesali apapun, sepertinya aku memang terlahir tanpa perasaan. Tapi berbeda dengan yang kurasakan padamu. Aku lebih memilih mati ditanganmu daripada tak pernah punya kesempatan untuk melihat bagaimana waktu berputar. Karena dari situ aku merasa benar-benar hidup dengan sedikit darah yang telah kucuri darimu. Kau membuatku hidup meski dengan begitu menyedihkan.” Edrick mengusap kedua matanya. Nafasnya pendek dan cepat, seperti menahan sesuatu yang tertimbun didalam dadanya.
Aku tahu, hidup seperti itu pasti menyakitkan. Aku tak boleh terbawa emosi dan menyalahkannya secara sepihak bahwa dialah yang bersalah. Dia takkan sejahat ini jika pada awalnya eksperimen bodoh itu tak pernah terjadi. Edrick seperti memiliki dua kepribadian yang berlainan dalam dirinya. Satu sisi, dia tak ingin melukai orang lain, tapi sisi lainnya dipenuhi dengan dendam dan kebencian yang selalu ingin dia luapkan. Dia seorang manusia yang pada dasarnya memiliki hati nurani dan kasih sayang, tapi separuh raganya adalah mutan yang siap membunuh siapa saja yang menjadi sasarannya. Kedua sifat itu pasti sulit dikendalikan. Dan itu buruk, sangat buruk.
“Aku hanya ingin meminta satu hal darimu. Menghilanglah dari hidupku. Kau tidak perlu mati untuk menebus kesalahanmu, cukup dengan tidak menampakkan wajahmu dihadapanku lagi.”
* * *
Hal yang lebih buruk terjadi ketika aku berusaha menghubungi satu-satunya anggota keluargaku yang masih tersisa, mama. Aku menunggu sampai panggilan videoku diangkat oleh seseorang yang ingin kulihat, ternyata seorang anak berumur sekitar dua belas tahun yang menerimanya. Sepertinya itu adik tiriku. Dia tidak terlahir dari rahim mama, dan wajahnya juga terlihat biasa saja. Yang kutahu semua tentangnya hanya biasa-biasa saja, tak terlalu pintar, cantik, atau punya bakat yang luar biasa. Aku juga tak tahu kenapa mama begitu menyayanginya melebihi aku, anak kandungnya sendiri. Anak sepertinya pasti punya sesuatu yang istimewa yang mampu menarik perhatian dan mencuri kebahagiaan orang lain. Dia adalah anak dari sahabat mamaku sewaktu mereka bekerja ditempat yang sama. Setelah mama dan sahabatnya itu bercerai, mereka menikah.
“Halo, siapa, ya?” Gadis itu menatapku agak heran.
“Aku ingin bicara dengan mama, tolong berikan handphone-nya.”
“Baik, tunggu, ya.” Gadis itu berlalu.
Aku menunggu seseorang yang kutuju sambil terus memandangi atap rumah yang sudah tidak kutinggali selama enam tahun itu. Adik tiriku pasti meninggalkannya diatas meja. Tidak lama mama datang, dia tidak mengatakan apa-apa setelah melihatku. Hanya ada raut penasaran di wajahnya.
“Maaf, Ada keperluan apa, ya?” Mama mengamati wajahku sampai muncul gerakan kecil dari bibirnya.
Deg !
Kenapa mama bicara seperti itu? Ada apa dengannya sampai terlihat begitu heran melihatku? Apa ada yang salah dengan... Sebentar, apa ini karena....
“M...mama, ini aku. Kau tidak mengenaliku?” Bibirku mulai bergetar.
“Maaf, sepertinya kau salah orang.” Mama mengangkat bahunya. Dia terlihat ingin mengakhiri pembicaraan ini secepat mungkin.
“Tidak. Ini aku, ma, Ayusarah. Aku putrimu.” Aku menggigit bibir bawahku dan menahan sesuatu agar tak pecah saat itu, tangisku.
Mama nampak terkejut sambil mengerutkan alisnya. Dia mengamatiku sekali lagi, tatapannya tertahan pada kedua mataku. Dia menatapku lekat sampai tak berkedip untuk beberapa saat. Papa bilang, aku memiliki mata mama. Meski warna rambut dan kulitku telah berubah, mataku tetap miliknya. Kuharap mama mampu melihatnya dari sana, aku tetap Sarah seperti apapun bentuk fisik dan kondisiku saat ini.
“Maaf, nak. Aku tidak memiliki anak bernama Ayusarah. Aku tidak mengenalmu, maaf.” Mama menggeleng dan tersenyum tipis sebelum benar-benar menutup pembicaraan kami.
Aku tidak pernah menyangka akan jadi seperti ini. Semua ini pasti karena serum itu, cairan menjijikan yang pernah kakek suntikan padaku. Mama tidak mengenaliku karena sekarang fisikku sudah berubah. Tapi aku tidak tahu kenapa semua ingatannya tentangku juga ikut menghilang. Ini sungguh menyakitkan.
Sekarang aku benar-benar sendirian, aku tak punya keluarga. Aku terdampar, terlantar di sebuah negara asing yang tak mempedulikanku. Kini aku tidak punya siapa-siapa lagi. Kenapa semua orang pergi meninggalkanku?
Aku menenggelamkan wajahku pada bagian sisi sofa yang lebih tinggi. Aku terus berpikir kenapa mama tak mau mengakuiku sebagai putrinya lagi, apakah dia begitu benci padaku? Mama tidak mengenaliku, dan lagi mama tidak pernah tahu apa yang terjadi padaku disini. Mereka telah memutuskan untuk mengubah susunan DNA campuranku dan menghilangkan DNA mama dari tubuhku. Apa itu artinya mama tak pernah mengingat bahwa mama pernah melahirkanku ataupun menikah dengan papa? Apakah konsekuensinya seburuk ini? Papa tak pernah memberitahuku soal itu. Mereka tak memberiku kesempatan untuk memilih. Seharusnya saat itu aku menolak semuanya.
Aku ingin kembali, aku ingin menarik kejadian itu dan mengubah alur ini. Saat itu seharusnya aku tidak mengiyakan rencana papa untuk mengubah diriku menjadi seperti ini. Jikapun aku harus mati ditangan Edrick, itu akan lebih baik daripada aku kehilangan semua yang kumiliki di dunia ini.
Aku mengubah posisi tubuhku menatap langit-langit. Cairan hangat ini tak hentinya keluar meski telah berusaha kuhentikan. Suara bel yang terus berbunyi tak pernah kuhiraukan. Aku sudah tak ada gairah untuk hidup. Semuanya sudah berakhir.
Sekarang ini seharusnya hidupku menjadi lebih tenang dengan kepergian Edrick. Aku hanya penasaran apakah dia benar-benar pergi atau hanya berusaha tak muncul dihadapanku. Jika dia menghilang dengan kondisi seperti itu kira-kira bagaimana reaksi keluarga angkatnya? Terutama kekasihnya yang baik hati yang sangat mencintainya itu. Pasti dia juga merasa hampa sepertiku. Atau mungkin sekarang ini dia sedang tak hentinya menangisi kepergian lelaki pujaannya itu. Ah, sama sepertiku. Bedanya, lelaki yang kutangisi jauh lebih berharga.
Aku tiba-tiba teringat dengan hari itu, sesaat setelah pembicaraanku dengan Niel di kantin sekolah berakhir, Beau melabrakku setelah dia menguping pembicaraan kami karena aku dianggap terlalu ikut campur dalam urusan keluarganya. Tapi disisi lain, dia malah mengatakan sesuatu yang seharusnya juga menjadi rahasia.
Beau menyeretku ke toilet, dia memakiku sepuasnya disana. Aku sama sekali tak menanggapinya, bukan karena tak berani, tapi dengan sengaja agar dia terpancing untuk mengatakan rahasia itu.
“Niel pasti mengatakan sesuatu tentang darah saat dia masuk ke kamar Edrick malam itu, benar ‘kan?” Matanya melotot dan rahang yang sedikit terangkat untuk menantangku.
“Benar.” Aku hanya memasang wajah datar sebagai tanda bahwa aku tak pernah gentar terhadap apapun yang dia lakukan padaku.
“Kau tahu kenapa aku membencimu? Aku tak tahan karena setiap malam Edrick selalu menyebut namamu dan bukan namaku, padahal aku telah menyerahkan semua yang kumiliki hanya untuknya.” Beau menghentak-hentakkan telunjuknya di bahuku.
“Kau salah, Niel bilang, Edrick hanya menyebut kata fuil (darah) bukan namaku.” Aku melipat kedua lenganku. Gadis itu berdecak setelah berpaling sekilas.
“Telinganya pasti terganggu, dia pulang sangat larut dengan bau alkohol dari mulutnya. Aku yang dengan jelas mendengar semuanya bahwa Edrick mengatakan Sarah’s fola (darah sarah) sambil terbata-bata. Kau pikir apa yang kurasakan saat itu? Kau pasti pernah melakukan sesuatu dengannya, iya ‘kan?!” Beau menarik rahangku. Entah kekuatan dari mana aku bisa menampiknya.
“Kalau iya, lalu apa urusanmu?” Aku merapikan pakaianku dan pergi dari sana.
Untung saja, aku punya kesempatan untuk melarikan diri sebelum satu tamparan yang mungkin saja terjadi mendarat di wajahku. Sepertinya memang benar apa kata Beau. Pasti nada bicara Edrick malam itu sama seperti yang diucapkan Niel, tapi dia salah persepsi. Edrick sepertinya sedang merasa haus akan darahku hingga terbawa mengigau.
Sejak awal ini kesalahanku yang tak pernah berpikir panjang dalam mengambil sebuah keputusan, begitu dalam keadaan terdesak aku selalu melupakan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja lebih buruk dari apa yang kuhadapi saat itu. Aku lebih percaya pada kakek yang memang tak pernah memberikan kepastian.
* * *
Aku bangkit menuju pintu utama apartemenku dengan bekas-bekas kepedihan yang masih tersisa. Suara bel itu semakin lama semakin mengganggu, dan aku baru sadar betapa mengganggunya suara itu. Aku berjalan dengan lunglai, masih tak percaya bahwa aku harus menghadapi semua ini sendirian. Sepertinya sudah lebih dari seminggu aku mengurung diri, bekas gelas-gelas kotor telah menumpuk di wastafel, dan sampah snack yang berserakan dilantai dipenuhi semut-semut merah. Mereka sering menggigitku, seperti berusaha menyadarkanku untuk bertindak, tapi gigitan itu masih tidak sesakit deritaku kehilangan semua orang yang kusayangi. Tapi setelah melihat apa yang ada di balik pintu ini, sepertinya aku salah.
“Sudah berapa lama kau disana?” Aku mendapati seorang pria berdiri bersandar pada tembok di samping pintu apartemenku, dia mengenakan topi hitam dengan wajah tertunduk dan satu kaki yang dia tempelkan pada tembok itu.
“Tak peduli seberapa lama aku menunggu, aku tidak akan meninggalkanmu.” Dia memutar kepalanya kearahku.
“Apakah tidak ada petugas keamanan yang mengusirmu?” Aku masih memegang gagang pintu, tak sepenuhnya keluar dari zona nyamanku.
“Meski aku mendapat kecaman, aku tetap kembali untukmu.” Pria itu mulai mendekat dan menatapku tanpa sedikitpun berpaling.
Aku tersenyum. Sekarang aku senang jika prasangkaku ternyata salah, itulah yang kuharapkan. Ini adalah senyuman pertamaku setelah hari-hari kelam itu berlalu. Dan aku senang karena dialah alasannya. Hatiku terasa hangat, seolah tiba pada sebuah dermaga tempat seharusnya aku berlabuh, seperti telah menemukan sebuah rumah yang lebih layak untuk dihuni.
“Sudah saatnya.” Pria itu memegang kedua tanganku.
Aku mengangguk. Dia menggenggam erat tanganku, dan membawaku pergi menuju suatu tempat yang damai, jauh dari rasa sakit dan masa lalu yang pedih. Itu akan menjadi tempat pelarian terbaik dari semua kenangan burukku di sebuah desa indah bernama Bailoch dan dari sebuah gedung pencakar langit yang selalu menghadirkan bayangan papa. Kami akan memulai semuanya dari awal.
* * *
Akan kupastikan, semuanya benar-benar sudah berakhir. Edrick tak pernah lagi mengganggu hidupku, dia menghilang. Dia telah pergi dengan membawa rasa bersalah itu bersamanya. Tapi dari semua kejadian ini, kini aku mengerti makna dari sebuah kehidupan. Bahwa tak pernah ada masalah yang tak dapat diatasi. Dan aku sudah menyelesaikannya. Semua itu berawal dari padang rumput dan berakhir pula disana. Kenangan itu, biarlah aku menyimpannya sendiri, di suatu tempat tersembunyi di dalam ingatanku.
Lagipula, aku suka hidupku yang sekarang, aku sangat suka tempat ini. Aku bisa memandangi air danau yang tenang seharian dengan nyanyian-nyanyian burung yang merdu. Kami akan menghabiskan waktu bersama, saling menguatkan, saling percaya, dan saling melindungi. Tidak akan ada lagi masalah yang datang tanpa bisa kami hadapi. Kami telah menjadi satu, karena separuh hidupnya telah dia pertaruhkan untukku, dan separuh nafas yang telah dia hembuskan untuk hidupku takkan kubiarkan berakhir dengan sia-sia. Jika seseorang berkata cinta pertama paling sulit dilupa, itu benar. Tapi cinta pertama tidak akan bertahan lama. Bagiku tak masalah akan jadi cinta keberapa, karena siapapun yang bisa membuat cinta itu tetap menyala dialah yang bertakhta.
Setelah berada ditempat ini tak hentinya senyuman terlukis di wajahku. Tak pernah ada lagi kepedihan yang kurasakan. Arthur menghampiriku ketika aku tengah sibuk dengan pikiran indahku tentang masa depan. Dia memberikan secarik kertas lusuh yang telah sobek sebagian. Aku membukanya, membacanya penuh penghayatan, dan kini aku mengerti. Mrs Rudolf benar, tak ada obat yang paling ampuh selain keyakinan dari dalam hati. Dan Arthur adalah penyembuh segala rasa sakitku, itu berarti aku telah mempercayakan seluruh hidupku hanya untuknya.
Setelah berada ditempat ini tak hentinya senyuman terlukis di wajahku. Tak pernah ada lagi kepedihan yang kurasakan. Arthur menghampiriku ketika aku tengah sibuk dengan pikiran indahku tentang masa depan. Dia memberikan secarik kertas lusuh yang telah sobek sebagian. Aku membukanya, membacanya penuh penghayatan, dan kini aku mengerti. Mrs Rudolf benar, tak ada obat yang paling ampuh selain keyakinan dari dalam hati. Dan Arthur adalah penyembuh segala rasa sakitku, itu berarti aku telah mempercayakan seluruh hidupku hanya untuknya.
Arthur mengusap rambutku dan menyelipkannya kebelakang telingaku. Di dalam kedua mata kelabunya itu, hanya ada pantulan diriku dan sepertinya tempatku memang disana.
“Arthur, rahasia apa yang kau sembunyikan dariku sampai kau khawatir aku takkan mau menjadi temanmu lagi?”
Waktu itu, satu-satunya hal yang kutakutkan adalah kehilangan seseorang yang telah menjadi bagian yang begitu berarti di hidupku. Maka dari itu, aku tak mau mengorbankan hubungan pertemanan demi sebuah hubungan yang mungkin akan berakhir, dan aku sangat tidak menginginkan itu. Tapi sekarang aku justru mengharapkan hubungan yang lebih dari sekedar teman, karena diapun sudah tahu bagaimana perasaanku. Mungkin saat itu Arthur juga takut bahwa aku akan membencinya karena sebuah perasaan yang dia katakan padaku. Tapi sekarang tak lagi. Dia bisa katakan semuanya padaku.
“Satu-satunya rahasiaku adalah... aku mencintaimu.” Arthur menarik wajahku mendekat.
Hanya dengan menutup mata, maka semua perasaan dapat tersampaikan tanpa perlu berkata-kata. Arthur seperti permen yang selalu ingin kunikmati, seperti waktu yang berputar tanpa habis. Rasa manis diujung lidahku kuharap takkan pernah berakhir seperti kisahku bersama Arthur.
Ahhhh, Bailoch sudah berakhir sampai disini. Semoga puas dengan endingnya ππ
Ahhhh, Bailoch sudah berakhir sampai disini. Semoga puas dengan endingnya ππ
Aduuuhhh... sebenernyaa... kecewa kenapa mesti endingππ
BalasHapusAda beberapa yg bikin gagal fokus... harus baca dari episode2 sebelumnya nih.. biar faham lagiπ
Hehe, masih kurang nangkepkah dibagian darah sarah itu? ππ
Hapus