Writing Project
A
TO
Z
F L A T F I C T I O N
###
.
4
.
‘D’ For Dream
By: Adhari
Kadangkala aku merasa sedih tanpa alasan
Kadangkala aku bahagia sebab terlalu banyak alasan
Seperti merasa lelah walau raga tak bergerak
Letih saja, tertekan tanpa penyebab
Sedih saja tapi tak pernah ada air mata, waktunya belum tepat
Ada kesedihan lain yang mungkin suatu saat pantas untuk ditangisi, selama masih bisa dibendung ya dibendung saja.
Padahal takutnya -sebab terlalu takut terluka- tak ada lagi hati, tak ada perasaan lagi di dalam dada
Ada sesuatu, aku tahu sepertinya begitu
Aku ingin sesuatu, tidak sulit tapi rumit
Malam begini biasanya tak pernah mampu tertidur, tak hanya bercakap pada tembokku, satu-satunya makhluk hidup yang terjaga hanya serangga kecil pencuri darahku.
Bukan tak mau berbincang pada rabbku, sungguh banyak sangat aku habiskan waktu untuk itu, malu
Tiap malam aku terjaga, keruh kepala mengaduk segala prasangka.
Kasabuta belum lelah lepas dari telinga, begitu menohok dari kepala hingga ke dada -bukan itu intinya-
Sungguh sebenarnya mimpi itu dekat, untuk mudah menggapainya bermimpilah yang ringan-ringan saja, kita harus tahu seberapa besar kemampuan kita dulu. Setelah itu bolehlah bermimpi setinggi mungkin, percaya sebesar mungkin pada diri yang tahu diri.
Nah, itulah problemaku.
Tak ada kata-kata mutiara sebab 'aku' hanya anak desa bukan pengembara. Tak tahu apa itu jalan raya, tak tahu apa itu kota.
Pernah bercakap pada pantulan diriku di cermin, aku mau jadi apa? Lagi-lagi itu.
Kau perlu berkaca untuk memahami siapa dirimu, tapi jangan terlalu lama berkaca sebab akan nampak banyak kekuranganmu, akhirnya timbul keinginan untuk vermak wajah, lupa bersyukur.
Sebab pada jam segini ingin sekali kuberbincang pada seseorang yang benar-benar peduli, yang ingin berusaha memahami, yang dengan tulus menyayangi. Mendengarkan segala keluh kesah tanpa niat menggurui. Ingin yang begitu, butuh yang begitu, namun tiada.
Lelah jemari menulis, mencoret, menekan-nekan tombol bisu lagi bodoh di depan wajah-seharian-. Inginnya bicara, namun tiada telinga. Hidup seperti inipun lelah, kau pikir senangkah?
Pernahkah kita melihat seekor burung sendirian di dalam sangkar? Menghabiskan waktu seharian hanya makan dan mengasah cakar. Perhatikanlah raut wajahnya, nampakkah raut kesedihan padanya? Burung itu bermata sayu, tubuhnya berisi, lapisan lemak diperutnya melambir tapi dia lembek tak bertenaga. Tiap pagi hingga sore hari, dia hanya melompat-lompat, menggigiti bulunya sambil sesekali bersuara. Apa yang ia makan tak pernah lebih banyak dari apa yang ia keluarkan. Sampai malam telah tiba, ia tidur pulas dan bangun dikeesokan paginya. Begitu saja, terus berulang-ulang. Kau pikir bahagia?
Tentu saja iya, memangnya untuk apa bersusah payah mencari makan di dunia luar yang liar yang penuh bahaya sedang kau telah mendapatkan segalanya didalam sini. Inilah yang disebut 'rumah', aman dan tentulah nyaman. Hingga mati dalam ketenangan.
Apa ada sebuah resiko? Tidak ada, tidak akan ada yang membuatmu terluka jika kau adalah seekor burung peliharaan. Persetan dengan kebebasan yang menjanjikan petualangan seru. Bahaya, banyak duri dan jurang. Begitu ucap si tuan. Bilapun si tuan memberiku tempo untuk keluar dari sana, aku tak punya daya, tak mampu menggunakan sayap ini sebagaimana mestinya. Sudah lupa caranya untuk terbang, takut terjatuh. Sebab tiap malam bisikan itu selalu muncul, aku takkan mampu bertahan diluar sendirian.
Burung itu hanya bosan, menatap pemandangan yang sama dari balik jeruji. Menatap rembulan sebagai tempat mengadu bagi para perindu. Jika boleh meminta teman satupun cukup, asalkan ia adalah yang benar-benar peduli, yang ingin berusaha memahami, yang dengan tulus menyayangi. Mendengarkan segala keluh kesah tanpa niat menggurui. Ia tak perlu kebebasan jika ia terpenjara bersama yang mampu mendengar segala keluh kesahnya di malam hari, yang mau menjadi telinga dalam percakapan malam sebelum tidur, 'pillow talk'. Pasti menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar